Kitab ushul fikih mulai dikarang dalam bentuk literatur oleh founding father madzhab syafi’iyah, imam as-Syafi’i (204 H) dengan judul ar-Risalah.[1] Generasi setelahnya kurang begitu menggairahkan untuk lebih meramaikan perdebatan usul fikih. Setelah kemunculan karya imam as-Syafi’i, generasi setelahnya seperti Ibn al-Qatthan (359 H) mengisi wacana usul fikih berbentuk komentar ar-Risalah, mengutipnya, dan menganulir pendapat yang berseberangan dengan sang imam as-Syafi’i.[2]
Masa antara imam as-Syafi’I sampai tahun empat ratusan muncul beberapa karya ulama mainstrean mutakallimin. Diantaranya,
a) Abu Al-‘Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij (306 H). Beliau termasuk tokoh besar dalam madzh
kitabklasik255
ab syafi’iyah. Karangan ushul fikihnya ar-rodd ‘la idn dawud fi ibthol al-qiyas.
b) Abu Bakar Muhammad Bin Ibrahim Bin Mundzir (306 H) dengan karya kitab itsbat al-qiyas dan ikhtilaf an-nas fi al-asma’ wa al-ahkam wa al-khosh wa al-‘amm.
c) Abu Bakar as-Shoirofi (330 H). Dia dianggap orang paling alim dengan ilmu ushul setelah as-Syafi’i. dia mempunyai karangan yang tidak dimilki yang lain, diantaranya syarah ar-Risalah, al-bayan fi dalalil al-a’lam ‘ala ushul al-ahkam, dan kitab al-ijma’.
d) Al-Qadli Abu Al-Farj al-Maliki (331 H) memiliki karangan al-luma’
e) Muhammad bin Sa’id as-Syafi’I al-Khowarizmi (343 H0 dengan karangan ushul fikih al-Hidayah
f) Bakar bin Muhammad Bin Al-‘Ala Al-Qusyairy al-Maliki (344 H) dengan karangan usuhul fikih kitab al-qiyas, kitab ushul al-fiqh, ma’khodz al-ushul
g) Abu al-Walid an-Nisaburi (349 H) dengan karya syarah risalah al-imam as-syafi’i
h) Abu Hamid Ahmad Bin Basyar Bin Hamid (362 H) dengan al-isyraf ‘al al-ushul.
i) Abu Bakar al-Qoffal as-Syasyi (365 H) dengan karya syarah ar-Risalah dan kitab ushul fikih (tanpa nama)
j) Abu Bakar al-Abhari al-Maliki (375 H) karya kitab ushul fikih (tanpa nama) dan ijma’ ahli al-madinah
k) Abu Bakar al-Jauzaqi (388 H) as- Syaibani (388 H) dengan karya syarah ar-Risalah
Pada masa ini para ulama ushul fikih membuat karangan ushul fikih dengan meneitikberatkan terhadap satu bahasan tertentu. Bahkan ada yang hanya membuat catatan kecil. Pada masa ini perkembangan ushul fikih hanya berkisar pada penjelasan ushul fikih sebelumnya yang dirasa sulit dipahami. Belum ada pembaharuan model ushul fikih baru.
Baru setelah itu muncul dua sosok pembaharu yang menduduki posisi hakim, Qadli Al-Baqillani (403 H) dan Qadli Abdul Jabbar (415 H). Dua tokoh ini punya kontribusi cukup besar untuk membentukan karakter khusus dalam karangan kitab usul fikih. Qadli Al-Baqillani ahli fikih madzhab maliki mempunyai kitab yang berjudul At-Taqrib Wa Al-Irsyad fi tartibi thuruq al-ijtihad.[3] Kitab ini diringkas dengan nama al-Irsyad al-Mutawassith dan al-irsyad as-syaghir. Menurut Ibn As-Subuki, kitab at-taqrib wa al-irsyad merupakan kitab yang komplit. Ibn As-Subuki pernah melihat kitab itu tinggal empat jilid saja. Salah pendapat, kitab itu berjumlah sampai dengan 12 jilid. Imam al-Haramin sebagai muridnya meringkas kitab gurunya dengan nama at-talkhis. Imam al-Juwaini atau al-Haramain (478 H) pernah berguru kepada beliau. Tidak sia-sia, di tangan al-Haramain, pembahasan usul fikih menjadi lain.Tidak seperti kitab ar-Risalah, karya al-Haramain melibatkan perdebatan ideologis yang mempunyai konsekuensi besar terhadap usul fikih. Al-Haramain mempunyai tiga karangan dalam ilmu usul fikih,
Pertama: matan mukhtashar. Kitab ini lebih terkenal dengan sebutan al-waraqat. Banyak sekali para pelajar tingkat dasar mengkaji kitab al-waraqot. Kitab ini punya daya pikat yang cukup luar biasa, sehingga banyak ulama setelahnya memberikan komentar [baca:syarah]. Sebut saja syarah al-Jalal al-Mahalli (864 H). Syarah ini diberikan catatan pinggir [baca:Hasyiyah] oleh ad-Dimyathi (1117 H) dan al-Khatib al-Jawi (1326 H) dengan nama Hasiyah An-Nafahat. Ulama’ yang memberikan komentar lagi di antaranya, Tajuddin al-Farkah as-Syafi’I (690 H),ibn Taymiyah, al-Mardini (871 H) dengan judul kitab al-Anjum az-Zahirat, ibn imam al-Kamiliyah (874 H), ibn Qawan al-Kailani (889 H) dengan judul kitab at-Tahqiqat syarah al-waraqat, al-Hattab dengan judul Qurroh Al-Ain,Ghayah al-Ma’mul karya ar-Ramli (957 H),
Sebagian ulama lain membuat nazam al-waraqat. Al-Umrithi (988 H), ulama’ yang pertama kali membuat bait nazam al-waraqat dengan judul Tashil At-Thuruqat. Nazam ini kemudian diberi komentar oleh Abdul Hamid (1335 H) dengan judul Lathaif Al-Isyarat. Muhammad Al-Maghribi (1340 H) juga memberikan sumbangsih terhadap karya al-Haramain. Beliau membaitkan al-waraqat sampai 99 bait, dengan nama sullam al-wushul ila ad-dloruri min ilm al-ushul. Lalu ia syarahi sendiri nazamnya dengan nama an-nushhu al-mabdzul liqiro’i sullam al-ushul.
Kedua: yang disumbangkan imam al-Haramain terhadap ilmu usul fikih adalah kitab at-talkhis. Kitab ini mengambil sumber dari kitab at-taqrib wa al-irsyad karangan al-Baqillani.
Ketiga: yang menjadi kontribusi besar dalam sejarah ilmu usul fikih adalah kitab al-Burhan. Kitab ini kebanyakan melansir dari beberapa pendapat gurunya, al-Baqillani. Gaya bahasa al-Burhan sangat unik dan memakai diksi kata yang kadang sulit dipahami. Karena itulah At-Taj As-Subuki menjuluki al-Haramain sebagai tukang teka-teki. At-Taj as-Subuki menganggap karangan al-Haramain ini memiliki tingkat kesulitan yang luar biasa. Ada dua ulama Malikiyah yang mem
78561
berikan komentar terhadap karya imam al-Haramain ini, abu abdullah al-Maziri (536 H) dengan kitabnya yang berjudul Kasyf Idloh Al-Mahshul Min Burhan Al-ushul dan al-Abyari (616 H) dengan judul kitab At-Tahqiq Wa Al-Bayan Fi Syarhi Al-Burhan.[4]
Qadli Abdul Jabbar teolog dan ahli fikih mu’tazilah memiliki karya tulis usul fikih yang berjudul al-‘Amd. Ia beruntung memiliki murid yang bernama Abu Al-Hasan Al-Bishri ahli fikih dan kalam (436 H). Ia mengomentari karya gurunya itu dengan judul kitab Al-Mu’tamad. Ia memberikan tambahan keterangan dan menyisipkan beberapa pendapat gurunya saat ia mengaji.
Kitab al-mu’tamad kemudian dikembangkan oleh Al-Qadli Abu Ya’la (458 H) dengan judul kiabnya al-‘Uddah.[5] Isi dari kitab itu terinspirasi dari dua kitab, al-Mu’tamad dan ushul al-Jashshosh. Al-Qadli Abu Ya’la mempunyai dua murid, abu al-Khotthob (510 H) yang mempunyai karya at-tamhid yang kebanyakan merujuk kepada kitab al-mu’tamad, dan Abu Al-Wafa’ Ibn Aqil al-Hambali (431-512 H) yang memiliki karya al-wadlih fi ushul al-fiqh. Ibn Aqil memiliki murid yang bernama Abu Al-Fath Ibn Barhan (479-518 H). Awalnya beliau mengikuti madzhab Hanbali, kemudian ia pindah ke madzhab Syafi’iyah. Ibn Barhan mempunyai guru al-Ghazali, as-Syasyi dan Ilkiya. Ia mempunyai karangan yang berjudul Al-Wushul Ila Al-Ushul. Kitabnya ini banyak kemiripan dengan kitab gurunya al-ghazali, al-mankhul dan kitab al-burhan karangan al-Haramain.
Imam Ghazali (505 H) mengarang kitab al-mustashfa dengan meramu dari beberapa kitab ushul fikih. Di antaranya karangan imam al-Haramain, al-Baqillani, Qadli Abdul Jabbar, dan Abu Al-Hasan Al-Bishri. Al-Ghazali meramu kitab-kitab karangan sebelumnya dengan sangat baik. Ia bisa memperpadat isi. Penjelasannya begitu runut dan materinya begitu sistematis. Kitab Al-Mustashfa dianggap kitab andalan dalam aliran Mutakallimin. Kitab ini tidak terlalu besar dan ringkas. Al-Mustashfa merupakan perpaduan antara dua kitabnya al-Mankhul dan Tahdzib al-Ushul.[6] Ilmu ushul fikih menjadi matang di tangan Al-Ghazali. Karena itulah ibn Khaldun menyatakan dalam kitabnya,
kitab terbaik di dalam aliran Mutakallimin adalah kitab al-Burhan, Al-Mustashfa yang keduanya beraliran al-Asy’ary. Kemudian al-’Amdu dan syarahnya al-mu’tamad yang keduanya beraliran Mu’tazilah.
al-Baqillani menjadi starter karena al-Haramain dan al-Ghazali pernah berguru padanya. Lima tokoh tadi menjadi asas pokok bagi perkembangan ushul fikih selanjutnya. Al-Ghazali lah yang bisa meramu materi ushul fikih dari beberapa pemikiran pendahulunya dengan sangat baik dan sistematis. Ada beberapa ulama yang berhasil meresume karangan al-Ghazali ini. Dua orang berasal dari Malikiyah. [a] Abu Al-Walid ibn Rusyd Al-Hafid (595 H) dengan karangannya yang berjudul ad-Dloruri fi ilm al-Ushul. [b] ibn Rasyiq (632 H) dengan karangannya lubab al-mahshul fi ilm al-ushul [c] Raudlah an-Nadzir karangan ibn Qudamah al-Hanbali (620 H ). Kitab ini dianggap sebagai karya yang banyak merujuk kitab al-Mustashfa. Kitab yang menjadi kitab standar madzhab Hanbali ini mendapat sambutan yang cukup meriah dikalangan madzhab al-Hanbali. Shofiuddin al-Hanbali (739 H) mengarang kitab dengan judul qawaid al-ushul mengikuti kontruksi konsep kitab raudlah an-nadzir. Kitab qawaid al-ushul juga sebagai resume terhadap kitabnya yang berjudul tahqiq al-amal. Kitab qawaid al-ushul ini kemudian diberi anotasi oleh Abdullah al-Fauzan dengan judul Taisir al-Wushul. Selain Shofiuddin al-Hanbali, ada ulama yang bernama Syamsuddin al-Ba’li yang meresume kitab Raudlah an-Nadzir. Syamsuddin al-Ba’li (709 H) memiliki murid yang bernama at-Thufi (716 H) yang juga meresume kitab Raudlah an-Nadzir dalam jangka waktu sepuluh hari.
Ada beberapa karangan yang lahir sebelum al-mustashfa dan setelahnya yang tidak mengakar pada karya-karya sebelumnya. Di antaranya,
Kitab al-faqih al-mutafaqqih karangan al-Hafidz al-Khatib al-Baghdadi (463 H). Kitab ini dianggap sebagai kitab pokok yang beraliran muhadditsin. Kitab ini dikontruks dari dua kitab, Ar-Risalah imam as-Syafi’i dan at-Tabshiroh karangan as-Syirazi (476 H). As-Syirazi, pengarang kitab al-Muhadzdzab menjadi tokoh besar dalam madzhab Syafi’iyyah. Kitab ushul yang pernah as-Syirazi karang setelah at-tabshirah adalah al-Luma’. Kitab al-luma’ ini kemudian diberikan anotasi oleh beliau sendiri dan oleh, [a] as-Syam’ani (489 H), ahli fikih Syafi’i yang dulunya bermadzhab Hanafi mempunyai karya Qawathi’ al-Adillah. Kitab ini dianggap kitab yang memberi sumbangsih besar dalam ushul syafi’iyyah. Kitab ini berisi kritikan terhadap madzhab mutakllimin madzhab hanafiyah. Secara khusus, kitab ini banyak mengkritik kitab karyanya ad-Dabbusi (430 H) dengan judul taqwim al-Adillah yang beraliran fuqaha’. [b] syarah al-Luma’ dengan judul at-tanqihat karya as-Suhrowardi (587 H).
Setelah al-Ghazali muncul dua sosok pembaharu dalam aliran mutakallimin. Mereka mampu memberikan anotasi dan eksplikasi yang cukup bagus. Mereka ialah al-Fakhru ar-Razi dan as-Saif al-Amudi.
Al-Fakhru ar-Razi (606 H) menelurkan karya ushul yang berjudul al-mahshul. Kitab ini merupakan resume dari kitab al-mustashfa dan al-mu’tamad. Resume ini bukan sekadar resume. Ia memberikan argumen baru dan kritikan terhadap pendapat yang tidak sesuai dengan pemikirannya. Sepertinya ia ingin membentuk suatu bentuk pemikiran baru atau sintesa terhadap pemikiran sbelumnya. Kitab ini kemudian diresume lagi oleh dua al-Armawi. Kitab resume pertama berjudul al-hashil min al-mahshul karya murid ar-Razi sendiri, yaitu Tajuddin al-Armawi (653 H). Kitab ini menjadi bahan inspiratif bagi al-Baidlowi terhadap kitabnya al-Minhaj. Resume kedua: At-Tahshil Min Al-Mahshul karya Sirajuddin al-Armawi (682 H).
Ar-Razi juga menelurkan karya usul fikih dengan judul al-ma’alim yang kemudian dikomentari oleh ibn at-Tilmasi (644 H).
Tokoh pembaharu kedua ialah Saifuddin Al-Amudi (631 H) dengan karangannya yang berjudul al-ihkam fi ushul al-ahkam. Kitab ini merupakan resume dari kitab al-mustashfa dan al-mu’tamad. Kitab ini juga merujuk kitab al-mahshul karya ar-Razi. Sama dengan ar-Razi, beliau memberikan argumen-argumen baru, memberikan antitesa dan menetapkan madzhab. Sepertinya dari kitab ini, beliau ingin memberikan pemikiran ushul fikih baru dan menkontruks ushul fikih sebelumnya.
Al-Amudi dan juga ar-Rozi memiliki resume terhadap karya mereka sendiri. Resume al-Muntakhob karya ar-Razi dan muntaha as-sul karya al-Amudi. Anehnya, al-Amudi mengarang Al-Ihkam dan Al-Muntahanya pada saat menginjak umur delapan puluh tahun.
Nama kitab dua tokoh ini sama dengan nama-nama kitab yang mendahuluinya. Nama Al-mahshul sama dengan kitab al-mahshul karya ibn Al-Arabi Al-Maliki (543 H). Kitab ini sebagian besar merupakan materi dari kitab al-mankhul min ta’liqat al-ushul karya gurunya al-Ghazali. Karya al-Amudi yang berjudul al-Ihkam sama dengan kitab karya Ibn Hazm Adz-Dzahiri (456 H) yang berjudul al-ihkam fi ushul al-ahkam.
Shofiuddin al-Hindi (715 H) murid Sirojuddin Al-Armawi mencoba mengkolaborasikan dua kitab al-mahshul dan al-ihkam dengan nama nihayah al-wushul. Kemudian kitab ini diringkas sendiri dengan nama al-Fa’iq.
Setelah ar-Razi dan al-Amudi, muncul lagi dua tokoh pembaharu, Ibn al-Hajib (646 H) dan al-Baidlowi (685 H). Ibn Hajib sendiri merupakan murid dari al-Amudi. Ia meresume karya gurunya al-Ihkam dengan nama muntaha as-sul wa al-amal fi ilmay al-ushul wa al-jadal. Kitab ini lebih terkenal dengan nama mukhtashor al-kabir. Kitab ini kemudian diresume lagi dengan nama mukhtashor al-muntaha. Kitab inilah yang kemudian terkenal dan menyebar. Kedua, al-Baidlowi yang meresume karya al-Armawi al-hasil—ringkasan dari kitab al-Mahshul—dengan judul kitab minhaj al-ushul.
Setelah terbukunya karya al-Baidlowi dan Ibn Hajib muncullah karya-karya lain yang memberikan anotasi atau penjelasan terhadap dua kitab ini. Karya ibn Hajib diberikan anotasi oleh ‘Adlududdin Abdurrahman al-Iji (756 H). Syarah al-Iji ini kemudian diberikan catatan pinggir atau hasyiyah oleh Sa’duddin at-Taftazani al-Hanafi (793 H). As-Sayyid as-Syarif al-Jurjani (816 H) juga memberikan catatan pinggir terhadap mukhtashor ibn hajib. Kitab lain yang memberikan anotasi terhadap karya ibn Hajib ialah Abu ats-Tsana’ Syamsuddin al-Asfahani (749 H). Kemudian al-Babarti al-Hanafi (786 H) dengan judul kitab ar-rudud wa an-nuqud. Kitab ini sengaja dikarang untuk membangun ushul madzhab Hanafiah. Kitab ini juga sekaligus menolak pendapat-pendapat Al-Amudi, Ibnu Hajib dan Al-Baidlowi. Al-Babarti juga memiliki karangan berjudul at-taqrir yang menjadi syarah al-ushul karya al-Bazdawi. Kitab ar-rudud wa an-nuqud karangan al-Babarti memiliki nama yang sama dengan kitab yang dikarang Syamsuddin al-Karmani (786 H), yang menjadi murid langsung al-Iji. Dalam kitab al-Kasyfu ad-Dzunun misalnya, karya al-Karmani ini malah disebut sebagai karangan al-Babarti. Kitab ar-rudud wa an-nuqud karya al-Karmani merupakan syarah dari kitab mukhtashor ibn al-hajib. Kitab mukhtashor ibn hajib menurutnya merupakan kitab ushul terbaik. Syarah terbaik menurutnya adalah syarah yang dikarang gurunya al-Iji atau lebih terkenal dengan nama al-adldu.
Syamsuddin ibn al-Muflih (763 H) menelurkan karangan yang berjudul ushul al-fiqh yang kebanyakan terinspirasi dari mukhtashor ibn al-hajib. Karangan ini kemudian diringkas oleh ibn al-Laham al-Ba’li (803 H). Alauddin al-Mardawi (885 H) yang memiliki karya tahrir al-manqul wa tadzhib ilm al-ushul, kebanyakan mengambil sumber dari ibn al-Muflih dan ibn al-Hajib. Tahrir al-manqul ini kemudian ia berikan anotasi juga dengan judul kitab at-tahbir syarah at-tahrir.
Minhaj al-ushul karya al-Baidlowi juga banyak diberikan anotasi para penerusnya. Muridnya Fakhruddin al-Jarbardi (746 H) dengan judul as-siraj al-wahhaj. Al-Asnawi (772 H) juga memberikan anotasi terhadap karya al-Baidlowi dengan judul zawaid al-ushul dan juga nihayah as-sul. Syarah al-Asnawi kemudian dikoreksi oleh ulama’ kontemporer, semisal Muhammad Abu An-Nur Zahir dengan judul ushul al-fiqh. al-Muthi’i al-Hanafi (1354 H) mufti Mesir memberikan catatan pinggir terhadap karya al-Asnawi yang diberi judul sullam al-wushul syarah nihayah as-sul.
Al-Jazari (716 H) juga ikut ambil andil untuk memberikan syarah kitab al-minhaj yang ia beri judul mi’raj al-wushul. Al-Badhasyi (772 H) juga memberikan anotasi terhadap karya al-Baidlowi dengan judul Manahij al-Ushul.
Zainuddin al-Iraqi (806 H) menazamkan karya al-Baidlawi ini dengan nama an-najmu al-wahhaj. Anaknya, Waliyuddin al-Iraqi (826 H), kemudian memberikan syarah nazam ayahnya dengan judul al-ghaits al-hami’.
Tajuddin as-Subuki (771 H) memiliki syarah terhadap karangan ibn al-Hajib dan al-Baidlawi, yaitu Rof’u al-hajib syarah mukhtashor ibn al-hajib dan al-ibhaj syarah dari kitab minhaj al-ushul. Al-Ibhaj merupakan hasil karya ayahnya Taqiyuddin as-Subki. Sayang, takdir telah mengakhiri langkahnya untuk menyusun karya tersebut. Beruntung, ia memiliki anak yang produktif mengarang tulisan. Tajuddin as-Subki kemudian mengarang karya yang luar biasa. Kitab ringkas, padat dan holistik yaitu, jam’u al-jawami’. Kitab ini merupakan kitab yang disarikan kurang lebih seribu kitab.[7]
Karya ini banyak menarik antusiasme para pakar ushul untuk memberikan syarah, resume dan nazam. Az-Zarkasyi (794 H) misalnya memberikan anotasi jam’u al-jawami’ dengan judul tasynif al-masami’. Tasynif al-masami’ secara estafet disyarahi lagi oleh Waliyuddin Al-Iraqi dengan nama al-ghaits al-hami’ syarah jam’u al-jawami’.
Ibn Qasim al-Abbadi memberikan syarah juga terhadap jam’u al-jawami dengan judul al-ayat al-bayyinat ala indifa’ au fasad ma waqafat ‘alaihi mimma auroda ‘ala jam’u al-jawami.
Syarah jam’u al-jawami yang dianggap sempurna adalah al-badru at-tholi’ karangan Jalaluddin al-Mahalli. Syarah al-Mahalli ini kemudian dikasih catatan pinggir oleh al-Bannani (1198 H). Al-‘Atthor (1250 H) juga memberikan catatan pinggir yang kebanyakan merujuk karya ibn Qasim al-Ubbadi (880 H). As-Syarbini (1326 H) kemudian juga memberikan catatan dan komentar terhadap karya al-Bannani. Catatan dan komentar lain juga dilakukan oleh al-Maliki (1367 H).
Ulama’ yang meringkas jam’u al-jawami adalah Zakariya Al-Anshari (926 H) dengan nama lubb al-ushul. Kemudian karya ini dia anotasi sendiri dengan nama ghoyah al-wushul.
Ulama’ yang menciptakan nazam jam’u al-jawami ialah al-asymuni (900 H) dengan nama al-badru al-lami’ dan as-Suyuthi (911 H) dengan nama kitab al-kaukab as-sati’. Nazam as-Suyuthi ini juga beliau komentari sendiri. Ulama modern yang mencoba mensyarahi nazam karya as-Suyuthi adalah Muhammad al-Hasan al-Khadim dengan nama al-kaukab as-sati’.
Terbukunya tiga kitab ringkas karangan Ibn Al-Hajib, Al-Baidlowi dan Ibn As-Subki ini membuat karya madzhab mutakallimin terbukukan secara sempurna.
Setelah itu, ada kitab ushul fikih karangan Badruddin Az-Zarkasyi dengan nama al-bahru al-muhith. Kitab ini materinya sangat banyak. Al-bahru al-muhith mengkompilasikan beratus-ratus kitab dalam beberapa jilid. Kitab mampu menjelaskan masalah dengan gamblang dan dengan bahasa yang sedikit ringan.
Setalah era az-Zarkasyi, muridnya al-Barmawi (831 H) membuat nazam alfiyah yang bernama an-nubdzah al-alfiyyah fi al-ushul al-fiqhiyyah. Nazam ini kemudian ia syarahi sendiri dengan judul al-fawaid as-saniyah. Kebanyakan syarahnya ini mengutip dari kitab al-bahru al-muhith. Alfiyah al-barmawi ini kemudian disyarahi oleh al-mardawi dengan nama kitab at-tahbir syarah at-tahrir. Karangan ini menjadi syarah kitab al-Mardawi sendiri dengan judul at-tahrir. Al-Futuhi (972 H) kemudian membuat resume kitab at-tahrir. Kemudian resume ini beliau berikan anotasi sendiri dengan nama al-mukhtabar al-mubtakir syarah al-mukhtashor. Kitab ini lebih dikenal dengan nama syarah al-kaukab al-munir.
Murid al-Barmawi, ibn imam al-Kamiliah (874 H) memberikan syarah yang panjang atas kitab minhaj al-ushul karya al-Baidlowi dengan kitab yang berjudul al-wushul ila minhaj al-ushul. Kemudian kitab ini diringkas sendiri oleh beliau. Ringkasan inilah yang kebanyakan beredar di kalangan pelajar.
Imam as-Syaukani (1255 H) mengarang kitab irsyad al-fuhul yang kebanyakan juga merujuk pada kitab al-bahru al-muhith karya az-Zarkasyi. Kemudian muridnya yang bernama Shadiq Hasna Khan(1307 H) yang merupakan murid langsung As-Syaukani dengan nama ikhtishar irsyad al-fuhul fi hushul al-ma’mul.
Inilah rantai silsilah kitab aliran mutakallimin. Mutakallimin kebanyakan bermadzhab syafi’iyah, sebagian malikiah dan Hanabilah. Sedikit sekali madzhab hanafiah yang mengikuti pola madzhab ini.
oleh : Kholilur Rohman ringkasan dari risalah Muhammad Al-A’dzomi
silsilah kitab ushul fikih سلسلة المصادر
[1] Selain ar-Risalah, imam as-Syafi’I memiliki karangan dalam bidang ushul fikih, a. ibthol al-istihsan b. jima’ al-ilmi c. ikhtilaf al-hadits d. kitab al-qiyas
[2] Setidaknya ada lima ulama yang memberikan anotasi karya ar-Risalah pada masa awal-awal a. Imam Abu Bakar as-Shoirofi (330 H). b. Abul Walid an-Nisaburi (349 H) c. Al-Qaffal As-Syasyi al-Kabir (365 H) d. abu Bakar al-Jauraqi (388 H) e. abu Muhammad al-Juwaini/ ayah Imam al-Haramain (438 H)
[3] Kitab yang lahir dari tangan beliau di antaranya, amali ijma’ ahli al-madinah, at-tamhid fi ushul al-fiqh, al-muqni’ fi ushul al-fiqh
[4] Selain dua ulama’ tadi, ada As-Syarif Abu Yahya Zakariyya Bin Yahya Al-Hasani Al-Maghrabi Yang memberikan anotasi kitab al-burhan. Materi syarah kebanyakan kompilasi dari syarah al-Maziri dan al-Abyari
[5] Selain kitab al-uddah, terdapat kitab ushul fikih yang beliau karang, yaitu, mukhtashor al-‘uddah, al-kifayah, dan mukhtashor al-kifayah
[6] Ada kitab ushul yang beliau karang yaitu syifa’ al-ghalil fi bayani syibh wa al-mukhil wa maslik at-ta’lil
[7] Dalam persolan dikotomi antara ahlu al-hadits dan ahl ar-ra’yi, imam subuki berupaya mendamaikan kedua aliran ini. Ketika ahl al-hadits yang yang berpegang teguh pada al-qur’an dan as-sunnah berhadapan dengan ahl ar-ro’yu, tajuddin as-subuki mengupayakan kompromi dengan prinsip ahl ar-ro’yi yang berpegang teguh pada ra’yu. Menurutnya, tidak selamanya analisis nalar berseberangan dengan nash karena untuk memahami nash sendiri butuh nalar. Untuk itu dikotomi ahl ar-ra’yi dan ahl al-hadits perlu dihilangkan tanpa harus terjadi perpecahan dikalangan umat islam. menurut ulama ushul fikih, pemikiran ini diwarisi sejak zaman ibn al-hajib, al-amudi, dan ar-razi. Dalam upaya mendamaikan dua kelompok ini, as-subuki mengarang jam’u al-jawami.
http://mahad-aly.sukorejo.com/2013/11/eksplorasi-genealogi-kitab-ushul-fikih-aliran-mutakallimin/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar