Sayyiduna Umar Bin Khottob pernah berkata Idza lam tastahyi fasna’ maa syi’ta (jika kamu tidak punya malu maka berbuatlah sesukamu). Malu adalah salah satu sifat yang dapat membentengi diri dari perbuatan dosa dan nista dan malu pula yang menjadi pembeda antara manusia dengan binatang. Namun jika urat malu manusia sudah tidak berfungsi lagi atau sudah mati rasa maka manusia akan berperingai lebih keji daripada binatang.
Adalah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam, makhluk yang paling pemalu hingga Imam Nawawi menshifati beliau dengan pribadi yang lebih pemalu disbanding perempuan dalam pingitan. Beliau malu untuk menampakkan auratnya di depan khalayak, beliau juga malu untuk berprilaku curang. Malu betul-betul telah nejadi hiasan akhlak beliau bahkan jauh sebelum Nubuwwah. Diceritakan dalam Bukhori, bahwa suatu saat tatkala ada pemugaran Ka’bah semua orang bekerja keras bahu membahu untuk turut andil dalam proyek itu termasuk Nabi Muhammad muda, beliaupun ikut mengangkat batu-batu dipundaknya. Melihat hal itu paman beliau yang bernama Abbas menyarankan agar Nabi Muhammad melepas sarungnya untuk dijadikan alas (Perlu diketahui bahwa bertelanjang saat kerja keras adalah menjadi kebiasaan masyarakat Arab pada masa itu), maka begitu Nabi hendak melepas sarungnya dan beliau melihat auratnya sendiri, beliau langsung pingsan karena malu.
Sifat malu inipun hendak beliau tanamkan dalam benak ummatnya. Sehingga Nabipun bersabda dalam sebuah hadits yang di abadikan oleh Imam Bukhori, Al-imaanu bidh’un wa sittuuna syu’batan wal hayaa’u syu’batun minal iimaan (Iman itu memiliki enam puluh lebih cabang dan malu adalah salah satu cabang dari iman). Timbul pertanyaan dalam benak kita setelah membaca hadits tersebut. Mengapa Nabi memilih malu untuk di sebutkan dalam hadits itu? Mengapa bukan jihad, atau shodaqoh atau yang lainnya?. Al Hafidz Al Qostholaniy dalam Irsyadussari berkata, penyebutan malu secara khusus dalam hadits itu karena seolah-olah malu itu dapat menarik kepada cabang-cabang iman yang lain.
Kalau kita renungkan sejenak maka kita akan dapati bahwa semua cabang iman dapat tumbuh dan berkembang jika di dasari sifat malu. Malu kepada Alloh akan menghasilkan sikap untuk menjalankan semua perintahnya dan menjauhi segala laranganNya dan malu kepada manusia akan menimbukan sikap zuhud, qonaah dan tidak suka mengharapkan uluran tangan orang lain.
Islampun mengajarkan kepada kita untuk malu menampakkan kefaqiran kita di depan umum. Abu Hurairoh adalah salah satu ashabussufah (orang yang tinggal di serambi masjid), suatu ketika beliau pernah kelaparan karena tidak ada sesuatupun yang dapat ia makan. Namun pantang bagi beliau untuk menengadahkan tangan meminta belas kasih orang lain. Beliau lebih senang meringis menahan laparnya daripada merendahkan martabatnya dengan meminta bantuan orang lain hingga Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam memanggilnya untuk diajak makan bersama.
Kisah ini berbanding terbalik dengan keadaan ummat di akhir zaman ini, dimana kefaqiran justru dieksplorasi untuk mendapatkan simpati dan bantuan financial dari sang pemilik kekuasaan. Menengadahkan tangan melalui proposal seakan menjadi hal lumrah yang di legalkan. Bukan haram mungkin tapi tidak bermartabat.
Kalam spirit :
MUKMIN WUNGKUK KASAB NANDUR TELO # IKU LUWIH UTOMO TINIMBANG WUNGKUK SEBO ING WONG OLO
(Mukmin bongkok bekerja menanam singkong itu jauh lebih utama dibanding membungkukkan diri di depan orang dzalim)
Wallohu a’lam….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar