Kamis, 02 Januari 2014

Ketika Kiyai Saling Nyantri

Adalah dua orang Kiai di Tanah Jawa yang sangat terkenal kealimannya pada awal abad ke-20, yaitu Kiai Cholil Bangkalan (wafat 1925) yang merupakan gurunya kiai setanah Jawa bahkan se Nusantara. Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah adalah di antara para muridnya. Selain itu ada Kiai Muhammad Dahlan Jampes Kediri, seorang waliyullah yang menjadi guru para Kiai sezamannya dan yang menurunkan seorang ulama besar yaitu Kiai Ihsan Jampes penulis beberapa kitab seperti Sirajut Thalibin dan Manahijul Imdad yang terkenal di seluruh dunia.

Sebagai seorang ulama, maka semakin tinggi ilmunya semakin  tawadlu sikapnya, walaupun usianya sudah lanjut dan kealimannya diakui semua ulama, maka tidak ada halangan bagi Kiai Dahlan untuk nyantri pada Kiai Cholil di Bangkalan Madura. Meski telah belajar ke berbagai kiai terkemuka di seluruh pesantren di tanah Jawa, tetapi rasanya kurang lengkap bagi Kiai Dahlan kalau tidak berguru kepada kiai Cholil dan ingin diakui sebagai murid dari waliyullah ini.

Dengan meninggalkan pesantren dan santrinya berangkatlah Kiai Dahlan ke Bangkalan untuk nyantri kepada Kiai Cholil. Di sana diterima sebagai santri biasa, sehingga sempat menghuni pesantren itu beberapa bulan. Setelah beberapa bulan berlangsung  Kiai Cholil berkata kepada Kiai Dahlan agar segera   pulang, sebab semua ilmu yang dimiliki sudah habis sudah diajarkan semua. Sebagai ketaatan pada guru maka setelah memperoleh ijazah dari Kiai kharismatik tersebut maka pulanglah Kiai Dahlan ke Pesantrennya, kembali mengajar para santri.

Betapa kagetnya Kiai Dahlan selang beberapa bulan kemudian Kiai Cholil datang ke pesantren  Jampes Kediri dengan niat untuk berguru menjadi santri Kiai Dahlan, sebab ada beberapa ilmu penting yang belum dikaji Kiai Cholil dan ilmu itu hanya dimiliki Kiai Dahlan.

Setelah terjadi perbincangan lama, maka diterimalah Kiai Cholil sebagai santri mengkaji beberapa disiplin keilmuan di bawah bimbingan Kiai Dahlan. Hubungan keduanya menjadi berbalik yang semula kiai Cholil menjadi guru sekarang diperlakukan sebagai  muridnya. Sementara Kiai Dahlan menjadi gurunya dan bertindak sebagai guru.

Setelah beberapa bulan belajar di pesantren itu, maka Kiai Dahlan memangggil Kiai Cholil dan mengatakan bahwa saat ini jumlah santri baru yang mendaftar semakin banyak, sehingga kamar pondok tidak lagi mencukupi, karena itu Kiai Cholil dipersilahkan agar segera pulang biar kamarnya bisa untuk menampung santri baru. Setelah memproleh ijazah dari Kiai Dahlan, maka pulanglah Kiai Cholil Bangkalan ke Pesantrennya di Bangkalan.

Dalam tradisi pesantren mencari ilmu memang tidak ada batasnya, meski telah lanjut usia, meski telah berada di puncak ketenaran. Bagi para ulama ilmu bukanlah popularitas, tetapi sarana menuju ketakwaan. Ilmu yang tidak menambah ketakwaan hanyalah kehampaan, ilmu yang mendekatkan kepada Allah adalah ilmu yang benar-benar manfaat, migunani, karena itu akan terus dicari sepanjang hayat. (Abdul Mun’im DZDiceritakan Gus Irfan Masruhin, keluarga Kiai Ihsan Dahlan Jampes Kediri)

Belum lengkap kiranya bila kisah Kiyai Kholil Bangkalan Nyantri kepada bekas santrinya itu tidak dilanjutkan. Alkisah, seorang murid yang amat pandai yang bernama Hasyim Asy’ari (kelak menjadi Hadlrotus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari- pendiri NU) suatu hari dipanggil oleh Kiyai Kholil: ” Nak, semua ilmuku sudah kau serap. Sekarang tiba waktunya bagi kamu untuk menimba ilmu ke Mekah”. Maka atas amar dari gurunya itu, Hasyim Ay’ari muda itupun berangkat ke Mekah untuk mendalami ilmu agama Islam, dan beliau di Mekah sangat mendalami ilmu tafsir. Setelah dirasa cukup, beberapa tahun kemudian Hasyim Asy’ari muda pun pulang ke Jawi dan membuka pengajian di Pesantren Tebuireng. Suatu saat dalam salah satu pengajian tafsirnya, K.H.Hasyim Asy’ari melihat disuatu pojokan mesjid, seorang tua yang kelihatan sangat tekun mengikuti pengajiannya. Hati beliau tercekat karena sepertinya yang ngaji itu adalah gurunya Kiyai Kholil Bangkalan. Setelah pengajian usai, K.H.Hasyim Asy’ari pun mendatangisalah seorang santrinyaitu, dan ternyata betul, beliau adalah Kiyai Kholil. Langsung kedua orang utama itu berangkulan, dan K.H.Hasyim Asy’ari pun berkata: ” Kiya Kholil, kenapa anda datang belajar kesini,saya kan murid tuan. Seharusnya, sayalah saya yang semestinya datang mengaji ke tempat tuan” . Kiyai Kholil dengan enteng menjawab: ” Saat kau belum mengerti dan aku mengerti, maka layaklah anda datang ketempat pengajianku. Tapi kini soal Ilmu Tafsir, engkaulah pakarnya, maka sudah selayaknya kini aku yang datang dan berguru kepadamu…”
Demikianlah seharusnya akhlaq orang ber- ilmu, saling menghargai satu sama lain, dan selalu ingin belajar, kepada siapapun tanpa memandang status jika memang seseorang itu dianggap memiliki ilmu lebih dari yang dia miliki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar