D ikisahkan bahwa umat Islam porak-poranda setelah dikalahkan oleh tentara salib dalam perang salib atau The Crusade untuk perebutan masjidil Aqsha. Kekalahan tersebut menjadikan umat Islam kehilangan semangatnya. Tidak ada lagi semangat juang untuk merebut kembali masjid yang menjadi kiblat pertamakali bagi umat Islam ini.
Untuk menumbuhkan semangat ini lalu Malik Mudhaffar Abu Sa’id yang lebih dikenal dengan sebagai Sultan Shalahuddin al-Ayyubi—“Saladin” dalam sebutan orang barat—mempunyai ide untuk membacakan cerita-cerita tentang perjuangan nabi Muhammad r. Dengan mendengar kisah tentang perjuangan nabi ini diharapkan semangat umat Islam kembali sehingga bisa lagi untuk merebut masjid al-Aqsha dari pendudukan laskar eropa (Prancis, Jerman, Inggris).
Malik Mudzaffar pada waktu itu memang menyelenggarakan acara maulid dengan cukup meriah untuk ukuran masa sekarang sekalipun. Acara maulid nabi itu dihadiri oleh tokoh-tokoh ulama, sufi, pemerintah dan rakyat banyak. Karena besarnya acara yang akan diselenggarakan, Mudhaffar sampai menyediakan tidak kurang dari 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 kaleng susu dan 30.000 hidangan kue dan beberapa kelengkapan lainnya. Diperkirakan semuanya menghabiskan biaya 300.000 dinar (Rp. 172 Milyar atau $ 19.125 juta US dolar dengan kurs 1 dolar = Rp. 9.000). Namun tentunya kemegahan acara ini bukan perwujudan kesombongan dan niat bermewah-mewah. Sebab Mudzaffar dikenal sebagia pribadi yang kharismatik, pemberani, patriotik, cerdas, alim, dan adil. Kalau kemudian maulid dibuat mewah, itu semata-mata merupakan perwujudan rasa cinta kepada Nabi Muhammad r.[1] Ini adalah salah satu pendapat tentang siapakah pencetus tradisi maulid. Menurut pendapat lain, tradisi maulid ini sudah ada di masa pemerintahan Fathimiyyah.
Perkembangan selanjutnya, perayaan maulid menyebar keseluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia. Dalam hal ini, Sunan kalijogo sering disebut sebagai pencetus perayaan maulid di bumi nusantara. Pada masa itu, rakyat Indonesia masih dalam pelukan keyakinan Hindu-Budha. Sunan Kalijogo mencoba menyadarkan mereka untuk menuju jalan kebenaran. Banyak diantara mereka yang akhirnya masuk Islam. Mereka yang mau masuk Islam ini, oleh Sunan Kalijogo dikumpulkan untuk mengikrarkan syahadatain. Agar lebih mudah menarik perhatian mereka, beliau mengadakan acara yang menarik, dan salah satunya adalah acara perayaan maulid nabi di bulan rabi’ul awal. Sampai saat ini, peninggalan sejarah ini masih tampak pada acara sekaten yang marak diselenggarakan terutama di daerah Yogyakarta dan Solo.
Pada perkembangan selanjutnya, dari waktu ke waktu, khususnya di Indonesia, bentuk perayaan maulid terus mengalami modifikasi. Di setiap daerah mempunya cara tersendiri dalam menyelenggarakannya. Misalnya di Banyuwangi dalam perayaan maulid ada tradisi dok endokan. Di beberapa daerah jawa juga ada tradisi Grebeb Maulid. Tentunya tetap ada kesamaannya, seperti pembacaan shalawat.
Di samping itu, dalam merayakan maulid ini ada yang mengadakan acara besar-besaran, dengan berbagai acara, seperti shalawatan, ceramah agama, perlombaan, hiburan-hiburan yang bernuansa Islami dan lain sebagainya. Makanya tak heran ketika memasuki bulan Rabi’ul Awwal di berbagai daerah tidak sepi dari berbagai acara maulid, terlebih paling sering diadakan di pondok-pondok. Tapi ada juga yang diadakan secara sederhana. Misalnya hanya dengan mengundang tetangga sekitar untuk membaca shalawat lalu diakhiri makan bersama. .
Hanya saja ada beberapa pihak atau kelompok yang mengharamkan tradisi maulid. Menurut mereka tradisi maulid termasuk bid’ah karena tidak pernah dilakukan oleh nabi, dan setiap bid’ah pasti sesat. Selain itu ada yang beranggapan bahwa dalam tradisi maulid sudah bercampur dengan kesyirikan, khurafat, dan tahayyaul. Makanya tradisi maulid harus dihapus. Tidak boleh dibiarkan terlaksana terus menerus. Sebab akan mengantarkan orang Islam pada kesesatan atau bahkan kekafiran.
Oleh karena itu untuk memperjelas tentang hukum tradisi maulid perlu dibahas secara mendalam dan komprehensip. Mengingat tradisi ini sudah mengakar pada masyarakat muslim, terlebih di Indonesia, seakan-seakan sudah menjadi suatu hal yang wajib. Maka tak heran ketika di berbagai pondok pesantren acara maulid ini menjadi acara wajib tahunan.
Dalam mengkaji hukum maulid ini, ada beberapa pertanyaan yang perlu dibahas, adakah dalil yang melegitimasi perayaan maulid? Benarkah perayaan maulid termasuk bid’ah?
Hakikat Perayaan Maulid
Sebagai pembuka dalam pembahasan ini, perlu diketahui terlebih dahulu tentang hakikat dari perayaan maulid nabi, yaitu ungkapakan rasa senang dan rasa syukur atas lahirnya nabi Muhammad r, salah satu utusan Allah I yang telah berperan merubah peradaban manusia dari peradaban yang penuh kejahiliahan menuju peradaban yang beradab. Rasa senang ini lalu dieksperesikan dengan mengumpulkan para sahabat, teman karib, fuqara’, masakin dan seluruh lapisan yang mempunyai visi sama. Ketika itulah kemudian bersama-sama mengenang sejarah beliau yang gagah berani dalam mengembangkan Islam. Sehingga diharapkan akan muncul spirit untuk mencontoh perjuangan beliau.
Berkaitan dengan rasa bahagian ini Allah I berfirman,
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا
“Katakanlah wahai Muhammad, sebab fadzal dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah kalian”
Secara sharih, melalui ayat ini Allah I menyuruh kita bergembira karena adanya fadhal dan rahmat dari-Nya. Ada banyak penafsiran tentang kata fadhl dan rahmat. Menurut al-Razi, para mufassir menafsiri kata fadhl dengan Islam dan kata rahmat dengan Qur’an.[2] Sedangkan menurut mufassir yang lain, maksud dari kata fadhl adalah ilmu dan sedangkan maksud dari rahmat adalah nabi Muhammad r. Pendapat ini mendasarkan pada riwayat dari Ibnu Abbas. [3]
Berdasarkan penafsiran yang ke dua ini, maka tidak perlu dipersamasalahkan ketika ada orang-orang yang sangat merasa gembira pada bulan Rabi’ul Awwal, sebab pada bulan itulah nabi Muhammad r dilahirkan. Kegembiraan ini memang seharusnya sudah dilakukan oleh semua umat Islam. Bahkan terbilang aneh kalau ada umat Islam yang tidak gembira. Dan mungkin perlu dipertanyakan keislamannya.
Cikap bakal perayaan maulid nabi
Sesungguhnya perayaan atas lahirnya nabi ini bukan hanya dilakukan oleh umat beliau, nabi pun pernah merayakannya. Tentunya bukan seperti perayaan pada masa sekarang ini, melainkan dengan berpuasa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Mahakuasa. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, disebutkan bahwa Nabi r ditanya mengapa beliau berpuasa pada hari senin. Nabi langsung menjawab,
ذَلِكَ يَوْمَ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمَ بُعِثْتُ
“Pada hari itu, aku dilahirkan, dan wahyu diturunkan kepadaku”.[4]
Pada hadits tersebut sudah dengan jelas disebutkan bahwa nabi berpuasa karena pada hari itu beliau dilahirkan. Dari sini dapat dipahami beliau memperingati atau merayakan hari kelahirannya dengan cara ibadah, dalam hal ini berpuasa.
Secara umum, apa yang dilakukan nabi ini memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh umat Islam sekarang dalam merayakan maulid. Konkritnya, Nabi merayakan kelahirannya dengan ibadah puasa. Sementara umat Islam sekarang merayakan dengan cara shalawatan, yang mana ini juga termasuk ibadah. Maka dari itu tidak salah kalau umat Islam merayakan maulid.
Format maulid bid’ah, Tapi isinya Terpuji
Setiap ibadah yang dikerjakan oleh umat Islam harus sesuai dengan petunjuk syari’. Oleh karenanya kita tidak bisa membuat-buat ibadah sendiri. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan oleh nabi,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa menciptakan sesuatu yang bukan dari urusanku ini, maka hal itu ditolak”[5]
Dalam kesempatan lain nabi bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Hindarilah olehmu pada urusan-urusan yang dibuat-buat, karena sesuatu yang baru itu termasuk bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”[6]
Dari dua hadits inilah lalu muncul keharaman melakukan bid’ah. Bid’ah dalam konteks syari’at adalah setiap perkataan atau perbuatan yang dibuat oleh manusia dalam hal agama yang tidak didapat dari nabi dan sahabatnya.[7] Dengan mengikuti definisi ini maka sebenarnya pembahasan bid’ah terfokus dalam konteks syar’iy. Makanya nabi menyebutkan kata “فِي أَمْرِنَا هَذَا”. Maksud kata ini tentunya adalah urusan syari’at karena nabi bersabda ketika itu atas nama syari’.
Lalu yang menjadi pertanyaan apakah setiap bid’ah haram atau sesat, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits yang kedua? Pada dasarnya, lafadh “كل بدعة ضلالة “ menunjuk bahwa semua bentuk bid’ah sesat, karena didahului kata كل yang termasuk lafadh am.[8] Hanya saja yang perlu diperhatikan bahwa keumuman lafadh ini ditakhshish. Buktinya ada beberapa perkara bid’ah yang termasuk baik, tidak sesat. Misalnya seperti pengumpulan dan pembukuan Qur’an. Walaupun tidak pernah dilakukan oleh nabi, tapi semua sudah sepakat bahwa hal ini termasuk sesuatu yang baik. Maka dari itu berarti tidak semua bid’ah sesat.
Selanjutnya kita hubungkan konsep tentang bid’ah ini dengan perayaan maulid. Apakah perayaan maulid teramasuk bid’ah?
Memang benar, bahwa perayaan maulid dengan format seperti sekarang ini tidak ada di zaman nabi. Nabi tidak pernah secara khusus mengadakan acara untuk merayakan hari kelahirannya dengan format seperti yang ada sekarang. Nabi tidak pernah mengumpulkan para sahabat lalu bershalawat bersama dengan tujuan merayakan hari kelahirannya. Inilah lalu yang menimbulkan klaim bahwa perayaan maulid termasuk bid’ah.
Padahal ketika memandang dari berbagai isi dalam perayaan maulid yang terjadi sekarang ini, tidak akan ada klaim seperti itu karena isi dalam perayaan maulid banyak yang telah dilakukan oleh nabi. Dalam arti bukan bid’ah lagi. Semisal, membaca shalawat, al-Qur’an, ceramah agama, santunan anak yatim, dan lain sebagainya. Itu semua bukan hal yang bid’ah, karena sudah ada dalil sharih (tegas) tentang dianjurkannya hal-hal tersebut. Oleh karenanya perayaan maulid tidak bertentangan dengan Islam.[9]
Sedangkan beberapa format yang memang belum pernah ada di zaman nabi, juga tidak bisa langsung dikategorikan sebagai bid’ah yang sesat. Semisal acara grebeg maulid, yaitu acara dengan mengarak tumpeng yang cukup besar lalu diberikan pada masyarakat. Acara grebeg ini walaupun sepintas bisa disebut bid’ah tapi pada dasarnya bukan. Karena ini bisa dimasukkan dalam kategori shadaqah. Misalnya juga acara dok-endokan seperti yang terjadi di Banyuwangi. Acara ini walaupun memang belum pernah dilakukan oleh nabi tapi tetap tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah yang sesat, karena tidak ada unsur kesesatan dalam acara ini.
Dengan demikian tradisi maulid sesungguhnya bukan bid’ah lagi kalau memandang isinya. Kalaupun toh mau disebut bid’ah, maka hanya sebagian dari isinya saja, itu pun tidak masuk pada bid’ah yang sesat, melainkan masuk pada kategori bid’ah hasanah, sehingga tetap tidak bertentangan dengan syari’at. Sementara acara pokok dalam perayaan maulid, berupa pembacaan shalawat tidak bisa disebut bid’ah. Maka dari itu jangan sembarangan mengatakan maulid termasuk bid’ah.
Mayoritas ulama pun mengatakan bahwa perayaan maulid tidak bertentangan dengan syari’at. Seperti yang diungkap oleh Ibnu Taimiyah, orang yang selama ini dicitrakan sebagai imamnya wahabi, kelompok anti perayaan maulid. Bahkan beliau mendukung perayaan ini. Hal ini bisa dipahami dari ungkapan beliau berikut ini, “Sebagian orang sekarang sedang gencar-gencarnya melaksanaan perayaan maulid. Hal yang demikian juga kita temukan dikalangan nasrani yang membesar-besarkan kelahiran dan wafatnya Isa. Apa yang dilakukan kaum muslimin itu dilandasi sikap cinta dan ta’dzim (hormat) pada nabi. Demi Allah, mereka mendapatkan pahala atas perayaan itu bukan dosa atas bid’ah yang mereka lakukan “.[10]
Tidak perlu mepersoalkan shalawat
Ada sebagian orang yang mempersoalkan shalawat. Kelihatannya memang lucu tapi ini kenyataan. Menurut mereka, ada shalawat tertentu bisa menyebabkan orang musyrik. Seperti shalawat nariyah. Menurut mereka, dalam shalawat tersebut berisi tentang permintaan pada nabi Muhammad r, bukan pada Allah I. Padahal seharusnya meminta pada Allah I.
Banyak jawaban yang bisa diajukan untuk menyangkal anggapan ini. Antara lain bahwa permintaan itu bersifat majazi bukan haqiqi. Dalam arti permohonannya tetap ditujukan pada Allah I akan tetapi melalui Nabi Muhammad r, karena beliau termasuk hamba yang paling dekat dengan Allah I. Bahkan berkenaan dengan doa melalui perantara nabi ini, sudah dilegitimasi oleh nabi. Sebagaimana tertera dalam bebarapa kitab hadits. Oleh karena itu tidak perlu mempersoalkan redaksi shalawat. Sebab kaum muslimin tidak akan memperlakukan nabi Muhammad r sebagaimana perlakuan orang Nasrani pada nabi Isa u. Kaum muslimin tetap percaya bahwa Dzat yang memberikan segala permintaan adalah Allah I. Kaum muslimin tetap percaya bahwa nabi adalah seorang hamba yang tidak bisa memberikan manfaat atau bahaya kecuali dengan kehendak Allah I.[11] Hal ini sudah ditegaskan dalam Qur’an,
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah I”
Dengan demikian, sudah seharusnya bagi umat Islam memperbanyak shalawat. Baik redaksinya itu warid dari nabi atau dari para ulama yang sudah diakui tingkah ketinggian ibadahanya. Shalawat ini sudah menjadi sesuatu yang hukumnya termasuk ma’lum min al-din bi al-darurah (sudah diketahui oleh seluruh umat Islam secara pasti). Dalam sebuah ayat Allah I berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 56:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikatnya membaca shalawat kepada nabi. Wahai orang-orang yang beriman membaca shalawatlah kalian dengan disertai salam kepadanya”
Terlebih membaca shalawat ini mempunyai banyak keutamaan. Bahkan membaca shalawat termasuk salah satunya amal perbuatan yang tetap bernilai pahala walaupun disertai riya’ dari pembacanya.
Waktu perayaan bukan harga mati
Ada sebagian masyarakat yang keberatan dengan maulid karena waktunya terkonsentrasi pada bulan Rabi’ul Awwal saja. Seakan-akan membaca memuji-muji nabi, shalawatan, rasa gembira pada nabi Muhammad r dan lain sebagainya hanya tertentu pada bulan Rabi’ul Awwal. Bagi mereka hal ini sudah mensyari’atkan sesuatu yang tidak disyari’atkan dalam Islam.
Perlu dipahami sebelumnya bahwa tidak ada anggapan sedikitpun bahwa perbuatan baik seperti yang tertera di atas ini hanya dilakukan pada bulan maulid. Buktinya pujian-pujian pada nabi atau pembacaan berzanji tidak hanya dilakukan ketika bulan rabi’ul awwal, tapi juga pada hari-hari biasa. Begitu juga pada pembacaan shalawat, baik secara pribadi atau bersamaan. Bergembira atas diutusnya nabi Muhammad r juga tidak perlu menunggu pada bulan Rabi’ul Awwal, hal itu bisa dilakukan kapan saja, setiap waktu. Hanya saja memang secara simbolik pada bulan Rabi’ul Awwal hal itu terasa cukup lebih meriah lagi. Karena momentumnya memang bersamaan dengan bulan dimana nabi dilahirkan. Jadi tidak ada yang buruk dari penempatan perayaan maulid pada bulan rabi’ul awwal.
Penempatan suatu perayaan dengan memanfaatkan momentum penting seperti kelahiran, kematian atau keselamatan seorang tokoh adalah sah-sah saja. Nabi Muhammad r saja berpuasa di hari senin karena pada hari itulah beliau dilahirkan.[12] Bukti lain adalah sebuah riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Abbas. Pada suatu hari Nabi datang ke Madinah, lalu bertemu dengan orang Yahudi yang sedang berpuasa Asyura’. Nabi lalu bertanya padanya, “kenapa engkau berpuasa?”. Orang Yahudi itu pun menjawab, “Hari ini adalah hari baik. Pada hari inilah Allah I menyelamatkan nabi Musa u dan Bani Israil dari para musuhnya. Oleh karena itu, Nabi musa u berpuasa”. Mendengar jawaban itu, nabi berkata: “Sesungguhnya lebih berhak berpuasa untuk nabi Musa u daripada kalian”. Kemudian nabi perpuasa dan menyuruh umatnya berpuasa. (HR. Bukhari-Muslim)
Dua hadist diatas merupakan dalil yang melegitimasi sebuah perbuatan yang dikaitkan dengan peristiwa tertentu. Dengan demikian, perayaan maulid dibulan Rabi’ul Awwal bukan suatu hal yang salah. Terlebih, jika perayaan di bulan ini menambah nilai lebih mahabbah seseorang pada nabi.
Mengembalikan roh maulid
Demikianlan pembahasan secara singkat tentang tradisi maulid. Dengan mengetahui dalilnya ini tidak perlu lagi ragu untuk mengadakan perayaan maulid. Hanya saja yang perlu diperhatikan, perayaan maulid terkadang hanya sebuah perayaan tanpa makna. Panitia penyelenggara terkadang hanya bertujuan bagaimana acaranya bisa terlaksana dengan meriah dan lancar, tanpa berpikir apakah tujuan awal dari dilaksanakannya maulid sudah tercapai.
Seperti yang telah disinggung di awal tulisan ini bahwa tujuan awal dari maulid adalah untuk mengembalikan semangat umat Islam setelah mengingat dan merenungkan kembali perjuangan Nabi Muhamamad r. Untuk masa sekarang, misalnya acara maulid bertujuan untuk merenungkan kembali sifat dan sikap beliau, lalu menirukannya. Nah untuk mewujudkan hal ini perlu perhatian dari panitia maulid, para ulama, dan juga masyarakat secara umum. Semua harus sadar bahwa perayaan maulid ini bukan hanya sekedar hura-hura yang lalu ketika selesai tidak ada pengaruh para perbaikan. Maka dari itu, semua harus berusaha untuk meraih tujuan mulya ini. Demi terwujudnya generasi muslim yang sangat diidamkan oleh Nabi Muhammad r.
Renungan di Bulan Maulid
Ada banyak hal yang perlu dicontoh dari diri nabi. Beliau adalah manusia sempurna. Manusia yang segala tingkah lakunya selalu dijaga oleh Allah I. Tidak pernah sedikitpun dibiarkan dalam kesalahan. Tidak pernah sekalipun melakukan hal yang dilarang, walaupun hanya taraf makruh. Ini sebagai betapa mulyanya Nabi, betapa sucinya Nabi.
Oleh karena itu, ada beberapa hal dalam diri nabi atau dalam peristiwa yang mengitari nabi yang perlu menjadi renungan bagi umat muslim. Di antaranya:
Pertama, sudah menjadi maklum bahwa nabi sudah menjadi yatim sejak dalam kandungan. Bahkan, kemudian sang Ibunda pun menyusul. Tidak lama kemudian sang kakek juga meninggal. Padahal ketika itu usia beliau masih terlampau kecil untuk ditinggal oleh Ibu dan kakeknya. Pada masa pertumbuhannya seharusnya beliau mendapatkan kasih sayang dan pendidikan dari kedua orangtuanya. Sehingga tak ada tangan keluarga yang memanjakannya. Tak banyak pula harta yang membuatnya hidup nyaman.
Tentu hal ini bukanlah kebetulan. Di balik semua peristiwa ini pasti tersimpan hikmah luar biasa. Diantara, agar tak ada seorangpun yang menemukan celah untuk menghembuskan keraguan ke dalam hati umat manusia bahwa Muhammad r menimba pengetahuan berkenaan dengan dakwah yang ia sebarkan dari ayah atau kakeknya. Keraguan semacam itu sangat mungkin untuk dihembuskan, terutama karena kakek Nabi Muhammad r, Abdul Muthollib adalah pemuka kaumnya. Di tangannyalah tanggung jawab rifadah dan siqayah. Dengan demikian, tertutuplah celah bagi orang-orang sesat yang akan meregukan kenabiannya. Mereka akan yakin bahwa apa yang disampaikan oleh nabi adalah murni dari Allah I, Tuhan semesta alam.
Apa yang terjadi pada nabi ini bisa menjadi bahan renungan bagi orang yang senasib dengan beliau. Orang yang sejak kecil sudah ditinggal orang tuanya. Orang yang tumbuh tanpa kasih sayang kedua orangtuanya. Harus tidak ada kata menyerah dalam kehidupan. Serta harus tidak ada kata menyalahkan takdir yang telah Allah I tentukan. Yang harus ada adalah semangat untuk terus berkembang dan semangat untuk lebih baik. Seperti apa yang dilakukan oleh nabi.
Bagi orang yang mendapatkan takdir lebih bagus dari pada beliau—dengan kasih sayang kedua orangtua sampai dewasa dan dilengkapi dengan harta melimpah—tidak boleh bermanja-manja. Anugerah dari Allah I itu harus disyukuri dengan melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Misalnya tidak boleh sombong dan tidak merendahkan yang lain. Apa yang telah ia miliki seharusnya menjadi pendorong untuk menuju kehidupan yang lebih baik.
Kedua, Nabi terlahir di daerah yang sangat jauh dari peradaban yang maju. Pada saat itu, arab adalah negeri yang sangat terbelakang. Negeri yang jauh dari kata subur. Negeri yang hanya penuh dengan hamparan pasir yang kering kerontang. Tidak seperti Yunani, Romawi, Cina, ataupun Persia yang terkenal dengan kemajuan keilmuannya. Hal ini tentu akan menjadi tanda tanya besar, kenapa nabi dilahirkan di tempat jauh dari kemajuan?. Kenapa nabi tidak terlahir di negeri yang maju sehingga akan cepat berkembang dan secara pasti bisa membantu perkembangan dakwah nabi?.
Salah satuh hikmah dilahirkannnya nabi di Arab, bukan di negeri lain adalah karena ketenangan yang terjadi di arab. Di negeri lain yang terbilang sudah maju—seperti di Yunani yang maju dengan filsafatnya—ternyata banyak pergolakan. Dekadensi moral terjadi di mana-mana. Pertikaian dan ketergantungan pada materi menjadi sesuatu yang sudah mendarah daging.
Di samping itu, ada pelajaran lain yang cukup menarik dari peristiwa ini. Yaitu, di manapun kita lahir, kita bisa tetap bisa berkembang. Tergantung bagaimana cara atau usaha untuk menggapainya. Dalam hal ini nabi sebagai buktinya. Nabi telah menyulap sebuah negeri yang pada awalnya tidak banyak didengar orang banyak orang di negeri lain, menjadi negeri yang bisa dibanggakan. Sebuah negeri yang pada akhirnya menjadi percontohan dari perkembangan peradaban dunia.
Ketiga, dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa,
“Suatu hari, ketika Rasulullah saw bermain-main bersama beberapa anak, beliau didatangi malaikat Jibril. Tiba-tiba Jibril merengkuh Rasulullah dan membaringkan tubuhnya. Setelah itu, Jibril membelah dada Rasulullah saw dan mengeluarkan hatinya. Jibril lalu mengeluarkan segumpal darah dari dalam hati Rasulullah saw seraya berkata, “Ini adalah tempat setan pada dirimu”. Selanjutnya, Jibril mencuci hati Rasulullah saw dengan air zam-zam di dalam sebuah bejana dari emas, kemudian mengembalikan hati itu ke tempat semula. Pada saat itu, anak-anak lain (yang bermain bersama Rasulullah) pergi menemui ibu mereka seraya berseru, “Muhammad dibunuh!” kemudin, merekapun mendatangi Muhammad yang ternyata masih hidup dengan wajah pucat pasi.”
Hikmah yang yang terkandung di dalam peristiwa itu adalah bahwa nabi sudah dipersiapkan menjadi seorang Rasulullah mulai sejak kecil. Jadi, sebenarnya peristiwa pembelahan dada itu merupakan bentuk penyucian spiritual yang muncul dalam bentuk simbol kejadian material yang kasat mata agar manusia dapat menangkap isyarat Ilahi atas penyucian calon Nabinya.
Bagi manusia biasa, bukan nabi, tentunya tidak perlu menunggu malaikat jibril datang dan mencuci hatinya, melainkan harus berusaha sendiri untuk melakukanya. Misalnya dengan terus belajar dan merenung tentang alam semesta. Dengan ini diharapkan bisa menjadikan hati terus tunduk pada segala titah-Nya. Misalnya juga dengan terus berusaha menjaga hati dari segala sifat-sifat tercela, seperti sombong, iri, ujub, dan lain sebagainya. Hal ini bisa dilakukan kalau kita selalu berkutat dalam kebaikan.
Keempat, saat Nabi masih muda, beliau sudah mencari nafkah sendiri dengan cara mengembala domba. Seorang calon pemimpin seluruh manusia dan penutup para nabi ternyata tidak diberikan kehidupan yang mewah di masa kecilnya oleh Allah. Bukankah akan lebih mudah bagi nabi untuk berkembangan ketika beliau diberi kecukupan harta sehingga bisa fokus pada pengembangan diri, tanpa perlu berpikir harus bekerja?. Dan untuk memberikan kemawahan pada nabi, sangat mudah bagi Allah.
Sesungguhnya, bisa saja nabi tidak perlu bekerja karena pamannya sudah bisa mencukupi kebutuhannya. Hanya saja lalu nabi menyadari bahwa beliau memiliki kemampuan untuk mencari nafkah sendiri. Sehingga rasulullah pun tidak mau banyak memberikan beban pada pamannya.
Ini yang perlu dijadikan contoh oleh para umatnya. Semangat untuk berusaha sendiri itu sudah harus dit anamkan pada diri kita. Berlatih untuk menghilangkan ketergantungan pada orang lain. Berlatih untuk tidak hanya mengidamkan hal-hal yang instan. Kita sudah diberikan kemampuan oleh Allah untuk bekerja, maka anugerah itu harus digunakan sebaik mungkin. Berarti orang yang hanya ingin santai, tidak mau mencontoh apa yang telah dilakukan nabi.
Di samping itu, melalui kisah ini Allah hendak membingbing kita untuk menyadari bahwa harta yang paling berharga yang dimiliki oleh seseorang adalah didapat dari hasil kerja keras sendiri dan juga yang disedekahkan pada orang lain. Maka dari itu, ada hadits yang mengatakan bahwa mencari kayu bakar itu lebih baik dari pada meminta-minta.
Demikianlah sebagian peristiwa yang ada di sekitar khidupan nabi beserta hikmahnya. Sekarang, sudah saatnya bagi semua umatnya untuk mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Serta juga meniru apa yang dilakukan nabi. Bagi yang mengaku cinta kepada nabi, tapi tidak mencontoh perilaku nabo, maka sungguh ia termasuk munafik. Sebab cinta kepada nabi itu tidak hanya dengan kata-kata melainkan juga dengan tindakan, bahkan inilah yang termasuk cinta sejati itu.
[1] I’anah Al Tholibin, III, 364 dan Haul Al-Ihtifal Bidzikra Al-Maulid Al Nabawi Al-Syarif, 58-59
[2] Mafatihu al-Ghaib, VIII, 305
[3] Durrul Mansur, juz III, hal 308
[4] Shohih Muslim, Juz I, 474
[5] Shahih Muslim, Juz IX, 118
[6] Musnad Ahmad, Juz 35, 9
[7] Ushul al-Hadits, 17
[8] Hasyiyah al-Bannani, Juz I, hal.643
[9] Haulal Ihtifal, hal 33; I’anah, juz III, hal 363
[10] Haulal Ihtifal, hal 37
[11] Mafahim Yajib an-Tushashah, 88
[12] Shohih Muslim, I, 474
http://mahad-aly.sukorejo.com/2014/01/maulid-nabi-ibadah-yang-dibungkus-tradisi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar