Mendoakan Orang Tua yang Berbeda Agama
Suatu ketika Karl Maxs mengatakan bahwa agama adalah candu bagi masyarakat. Agama seakan telah terlalu jauh membawa manusia abai terhadap persoalan kemanusiaan. Agama bukan lagi menjadi penyejuk dan penentram jiwa, melainkan telah menjelma menjadi bumerang kehidupan manusia. Agama sering kali menayangkan berbagai tragedi kemanusiaan. Pertikaian antar etnis sengaja disulut dengan mengatasnamakan agama. Pembantaian berdarah kerap kali menjadi tontonan atas nama agama, sementara kita cuma bisa berkata “turut berduka cita“, tanpa kuasa untuk berbuat apa-apa.
Realitas seperti ini tidak bisa kita pungkiri, karena tragedi yang seharusnya tidak terjadi ini telah terpampang nyata di dalam layar-layar kehidupan kita. Hanya gara-gara agama rasanya kita sulit untuk menjalin hubungan mesra dengan orang yang tidak seagama. Ingatkah kita bagaimana Gus Dur mendapat gempuran kritik karena ia hendak mengadakan koneksi ekonomi dengan Israel. Atau, bagaimana aksi nekat Amrozi (terpidana mati kasus bom Bali) karena ia sebal dengan ulah Amerika (dunia barat). Lagi-lagi, motifnya karena agama. Mengapa harus agama?. Naifnya lagi, ternyata virus agama tidak hanya menjangkit urusan duniawi saja, dalam urusan ukhrawi pun kecemburuan agama masih turut mewarnainya.
Konon, ada seorang anak yang ingin menunjukkan bakti budinya kepada orang tua tercinta yang kini telah berpulang ke pangkuan Sang Hyang Widhiwasa (sebutan Tuhan untuk agama Hindu). Namun dia tidak mendapat restu hanya karena telah memeluk agama Islam. Seorang muslim tidak boleh mendo’akan non-muslim, meskipun dia orang tua kandungnya sendiri. Begitu kata gurunya di Surau, tempat dimana ia belajar mengaji dan mengeja kalam Ilahi. Betulkah Islam melarang mendo’akan orang tuanya yang berbeda agama?.
Pertanyaan ini begitu sederhana namun serius untuk segera mendapatkan jawaban. Kita tentu sadar bahwa manusia menjadi dewasa tak lepas dari jerih payah orang tua. Mereka dengan rela tanpa pamrih membesarkan kita sedari masih bocah sehingga mengenal arti sebuah cinta. Mereka tidak akan pernah menuntut balas jasa kepada kita, namun sebagai anak seharusnyalah kita berbakti kepada mereka. Bentuk darma bakti ini bisa berwujud materi ataupun immateri. Hal ini seperti sedekah atas nama orang tua, berhaji atas nama mereka, melunasi hutang mereka, menunaikan wasiatnya dan berdo’a memohonkan ampunan Tuhan kepada mereka.[1]
Sudah sepatutnyalah seorang anak berbakti kepada orang tua yang telah mengandung, melahirkan, menyusui dan mengasuhnya, dengan cucuran keringat dan air mata. Karena keberadaan seorang anak menjadi tumpuan harapan masa depan mereka (orang tua) baik saat masih di dunia atau ketika ajal menjemput mereka. Nabi SAW bersabda:
إذا مات ابن آد م ا نقطع عمله إلا من ثلا ث: صد قة جارية وعلم ينتفع به وولد صا لح يد عو له
Artinya: Bila manusia telah mati maka putuslah semua amal perbuatannya (di dunia) kecuali tiga hal; shadaqah jariyah, ilmu pengetahuan yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendo’akannya. (Shahîh Muslim, IV, 71-72).
Secara tersirat Hadits ini hendak mengatakan bahwa untaian do’a seorang anak kepada orang tuanya menjadi sangat berarti bagi ketenangannya di alam barzah. Ibarat berkelana di padang tandus, do’a adalah sesuatu yang bisa menyejukkan dan menyegarkan dahaga. Maka, do’a merupakan salah satu kewajiban dan bentuk bakti seorang anak kepada orang tua yang telah mendahuluinya.
Lalu, apa memang betul do’a itu bisa sampai kepada orang tuanya yang telah mati?. Bukankah Allah berfirman:
وأن ليس للإ نسان إلا ما سعى
Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS: al-Najm, 39)
Memang benar, setiap insan bakal mendapatkan bagian dari apa yang telah ia usahakan di dunia. Berbuat baik pasti dibalas dengan baik (pahala). Sebaliknya, perbuatan jahat akan mendapat balasan yang setimpal dengan kejahatannya.
Ayat ini mempunyai cakupan makna sangat luas dan umum. Dalam kajian ushul fiqh, ayat seperti ini dikenal dengan lafadh ‘am (umum). Menurut mayoritas Ulama’ Ushul, setiap lafadh ‘am pasti ada yang men-takhsish-nya, yaitu kata yang membatasi cakupan makna lafadh yang sangat umum tersebut. Dengan mengikuti alur metodologi ushul fiqh ini maka keumuman makna ayat di atas bisa dibatasi dengan Hadits yang menyatakan bahwa do’a anak yang shaleh bisa memberikan syafa’at kepada orang tua di alam kubur.
Tetapi ayat di atas kemudian dijadikan dasar oleh Imam al-Syafi’i bahwa seseorang tidak bisa memberikan manfaat dalam bentuk apapun kepada orang yang telah mati, karena setiap orang telah mendapat bagian dari apa yang telah ia kerjakan. Tapi Madzhab Hanafiyah, Madzhab Malikiyyah dan Madzhab Hanabilah berbicara lain. Mereka berpendapat bahwa do’a itu pasti sampai dan sangat bermanfaat bagi orang yang telah mati.
Menyikapi pertelingkahan ulama’ ini, Al-Syawkâni nampaknya cukup jeli dan mencoba menghidangkan langkah kompromi dari dua pendapat di atas. Menurutnya, keumuman ayat di atas tidak perlu di-takhsish dengan Hadits, karena kalau dicermati lebih jauh, sebenarnya keberadaan anak juga termasuk dalam usaha yang dilakukan oleh orang tua sehingga termasuk dalam bingkai makna ayat tersebut. Dengan begitu, pahala do’a seorang anak akan sampai kepada orang tuanya yang telah wafat itu.[2]
Sekarang bagaimana kalau sang orang tua beda agama dengan anak yang mendo’akan? Masih berartikah do’a itu untuknya?. Konon, Nabi Muhammad SAW. pernah berkeinginan untuk memintakan ampunan Tuhan buat Pamanda tercinta, Abu Thalib. Namun, Tuhan melarangnya dengan berfirma :
ما كان للنبي والذ ين آمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كا نوا أولي قربى من بعد ما تبين لهم أنهم أصحاب الجحيم
Artinya: “Tiada sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik adalah kerabat (nya) sendiri, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahannam”. (QS: al-Taubah, 113).
Secara tekstual ayat ini dengan jelas mengatakan bahwa Allah tidak akan pernah menerima do’a yang dipanjatkan untuk orang kafir. Kenapa begitu?. Karena mereka tidak mau bertauhid (meng-Esakan) Allah dan enggan untuk mengakui risalah Nabi Muhammad saw. Malah, dengan tegas Allah mengatakan : “walau engkau telah berkali-kali memintakan ampun untuk mereka (orang kafir), Allah tidak akan pernah mengampuninya”. (QS al-Taubah: 80). Ini semakin membuktikan bahwa Allah sangat tidak ridha terhadap hambanya yang durhaka. Berangkat dari ayat inilah kemudian mayoritas ulama’ mengatakan haram berdo’a untuk orang kafir. Dalam pandangan mereka, kufur tergolong pada sikap yang teramat menyesatkan, bukan saja pada dirinya melainkan kepada khalayak (orang banyak).[3]
Namun masih ada sebagian Ulama’ yang berpendapat lain dari mereka, seperti ‘Atha’ Ibn Abi Rubah. Menurutnya, yang dimaksud dengan kalimat “ an Yastaghfiru “ di dalam QS al-Taubah: 113 tak lain adalah shalat jenazah, bukan bacaan do’a/istighfar, karena kalimat “ an Yastaghfiru “ dengan makna shalat jenazah ini lebih sesuai dengan QS al-Taubah: 84: “janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati diantara mereka, dan janganlah kamu berdiri di atas kuburnya”. Oleh sebab itu, kalau hanya membaca do’a/istighfar (memintakan ampun) untuk orang kafir masih bisa diterima, boleh hukumnya. Sebab bagaimanapun juga do’a/istighfar masih bisa memberikan manfaat baginya di sana, di alam kubur. Dengan do’a/istighfar seseorang bisa mendapatkan maghfirah dan keringanan siksa.[4]
Secara kualitatif, pendapat jumhur memang yang lebih kuat. Namun jika pendapat itu hendak kita alurkan pada konteks agama-agama yang diakui dan berkembang di Indonesia, mungkin kita masih bertanya bimbang, mengingat alasan-alasan yang tercantum dalam ayat al-Qur’an itu hanya gara-gara orang itu kufur dan syirik, dengan kata lain karena mereka sama sekali tidak pernah bertauhid dan mengakui risalah kenabian.
Dalam konteks pluralisme agama seperti Indonesia, apa yang perlu diapresiasi adalah bahwa do’a ternyata mempunyai misi dakwah juga. Sebab, dengan mendo’akan orang lain yang beda agama berarti kita telah memperkenalkan Islam sebagai agama solider, yakni agama yang mau bersahabat dengan siapa saja. Hal ini ternyata juga pernah dilakukan oleh junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Suatu ketika beliau pernah diminta Abdullah Ibn Salul untuk menshalati sekaligus berdo’a untuk memintakan ampun mendiang ayahnya yang sudah barang tentu nom-muslim. Dan Nabi SAW. ternyata bersedia melakukan shalat dan berdo’a untuk dia. Apa yang terjadi setelah itu ?. Sungguh menakjubkan !. Berpuluh-puluh penduduk Khazraj menjadi kagum kepada Islam dan tertarik untuk memeluk Islam.[5] [khr]
[1] Yasalûnaka Fi al-Dîn wa al-Hayâh, Juz IV, hlm. 233; Islâmuna, hlm. 246-247; Al-Marâghî, Juz XV, hlm. 36.
[2] Al-Fiqh al-Islâmi Wa Adillatuhu, Juz II, hlm. 1580; Fatâwa al-Imâm al-Nawawi, 58-59; Nail al-Awthâr, Juz IV, hlm. 100-101.
[3] Fatâwa al-Imâm al-Nawawi, hlm. 59.
[4] Al-Tafsîr al-Kabîr, Juz VIII, hlm. 216; al-Bahr al-Muhîth, Juz V, hlm. 108.
[5] Tafsir al-Bahru al-Muhith, Juz V, hlm. 78.
http://mahad-aly.sukorejo.com/2014/01/mendoakan-orang-tua-yang-berbeda-agama/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar