Sekarang bukan jaman Siti Nurbaya lagi, namun masih banyak kita temukan Siti Nurbaya masa kini. Ini tak lain merupkan bias dari konsep ijbar yang kurang dipahami secara proporsional. Sebenarnya bagaimanakah konsep fiqh tentang ijbar?. TA akan mengupas tuntas.
Orang tua, dalam budaya kita memiliki kekuatan yang besar untuk menentukan pilihan bagi anak-anaknya. Sejak kecil, anak-anak sudah ditentukan pilihan-pilihannya oleh orang tua. Mulai dari hal-hal kecil semacam memilih mainan, pakaian, sekolah bahkan ketika anak menginjak dewasa, dalam urusan memilih jodoh sekalipun tidak lepas dari intervensi orang tua.
Selintas, kecenderungan ini adalah sebuah kewajaran. Sebab orang tualah yang mengikuti perjalanan kehidupan anak, bahkan sejak sang anak masih disemaikan di rahim sang bunda. Orang tua juga yang pontang panting mencukupi segala kebutuhan anak. sehingga tidak heran kalau kasih sayang orang tua kepada anak tiada terbatas. Al-qur’an mengakui kenyataan ini, “Manusia dihiasi dengan rasa cinta kepada wanita-wanita, anak-anak…”, kata Al-Qur’an. (Ali-Imran, 14).
Saking besar cinta kasih orang tua kepada anak, seringkali tidak terlintas di benak mereka apakah pilihan yang ditentukannya untuk dipilih anak adalah yang terbaik buat sang anak. dan yang tak pernah henti diperbincangkan hingga kini adalah ketentuan fiqh yang memberikan hak kepada orang tua untuk menentukan sepenuhnya (tanpa persetujuan anak), calon suami anak gadisnya. Hal ini dalam istilah fiqh disebut hak ijbar.
Pengulangan demi pengulangan kawin paksa ala Siti Nurbaya yang terjadi di masyarakat kita, dalam term fiqh kurang lebih dapat dirujukkan kepada hak ijbar wali. Pertanyaannya, apakah hak ijbar membuka peluang sebesar-besarnya bagi orang tua untuk memaksa kawin anak gadisnya dengan lelaki yang dikehendakinya ?. ataukah, hak ijbar hanya disalah pahami sebagai sarana nikah paksa sehingga seringkali diselewengkan?. Sederet pertanyaan yang perlu dijernihkan.
Kita mulai dari ulama’ yang mengakui hak ijbar. Di sini ada sederet ulama’ seperti Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, Ishaq dan Abi Laila. (Fathul Bari, Jilid 9, hal, 193). Beliau-beliau ini menetapkan hak ijbar berdasarkan hadits :
أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لا تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرُ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنُ قالوا: يا رسولَ اللهِ فكيف إِذْنُهَا؟ قال: أن تَسْكُتَ. (رواه البخري)
Artinya: “Janda tidak boleh dinikahi sampai diminta persetujuannya. Anak perawan tidak boleh dinikahi sampai diminta izinnya. Mereka bertanya : Bagaimana izinnya ?. jawab rasul : (anak gadis itu) diam.” (HR.Bukhori-Muslim). (Fathu Al-Bari, IX, 191, Sahih Muslim, I, 593-594. Al-Lu’lu’u Wa al-Marjan, II, 92).
Imam Syafi’i dan kawan-kawan, memandang bahwa yang harus dimintai izin adalah janda, bukan gadis. Karena hadits ini membedakan antara janda dan gadis. Janda dipandang lebih berhak terhadap dirinya ketimbang walinya (di hadits Muslim disebutkan janda adalah al-haqqu binafsiha min waliyiha), (Sahih Muslim, I, 594). Sehingga konsekwensinya, ia harus diminta persetujuannya. Dan pernikahan yang dipaksakan tanpa izinnya, adalah batal. Kebalikannya, untuk gadis, justru walinya yang lebih berhak atasnya. Sehingga wali tidak harus minta izin (persetujuan) dari si gadis. (Fathu al-Bari, IX, 193).
Kelanjutan dari cara berfikir ini, Imam Syafi’i memandang bahwa oleh karena di hadits ini dibedakan antara janda dan gadis. Meminta izin gadis hanya perintah yang tidak harus, bukan perintah wajib (amru ikhtiyarin la fardin). Sehingga pernikahan gadis yang dipaksakan tanpa izinnya, no problem, bisa jalan terus. Sebab kalau saja, ketika si gadis tidak memberi izin maka ayah tidak ada hak untuk menikahkannya, itu artinya, dalam kondisi ini gadis sama saja dengan janda. Ahaqqu binafsiha min waliyyiha. Padahal jelas sekali hadits ini membedakan janda dan gadis. Janda harus ngomong jelas untuk memberikan izin. Sementara, izin dari seorang gadis, cukup dengan diam aja. Makanya, janda tidak sama dengan gadis. (Al Umm, III, 18).
httprmunatunagb-wikispaces-comforcedmarriageTetapi, apakah lalu hak ijbar membuka peluang pemaksaan sewenang-wenang orang tua untuk menikahkan anaknya dengan lelaki yang tidak dicintai?. Kalau jawabannya ya, alangkah tidak manusiawinya hukum islam. Sebab yang akan merasakan dan menjalani kehidupan rumah tangga juga si anak gadis itu. bisa dibayangkan, kalau ia harus hidup bersama dengan orang yang tidak bisa diterimanya dzahir batin. Apakah- tujuan nikah untuk membentuk keluarga sakinah (tentram) bisa tercapai?. Tentu saja, kalau lelaki pilihan ayahnya itu tidak disukai, pernikahan adalah awal neraka penderitaan bagi si gadis.
Ternyata, Imam Syafi’i dan Ulama’ yang lain, menetapkan hak ijbar bagi wali atas landasan betapa besar rasa kasih sayang wali terhadap si gadis . itu makanya, Imam Syafi’i hanya memberikan hak ijbar kepada ayah semata. (Al-Umm, III, 18) – yang selanjutnya dikembangkan oleh ashabnya dengan menambahkan kakek sebagai pemilik hak ijbar juga – . posisi ayah di sini digambarkan sebagai figur yang sangat peduli terhadap kebahagiaan anak gadisnya. Dan oleh karena, seorang gadis belum pernah sama sekali merasakan hidup berumah tangga (lam tumaris al-rijal bi al-wath’i) dan biasanya ia malu untuk mencari sendiri pasangan hidupnya, para ulama’ membuka peluang bagi ayah untuk membantu si gadis memecahkan persoalan ini.
Oleh karena itu, kalangan Syafi’iyyah membuat rambu-rambu berlapis bagi kebolehan hak ijbar dilaksanakan. Hak ijbar baru boleh diterapkan jika telah memenuhi syarat-syarat : Pertama, harus tidak ada kebencian yang nyata antara anak dan ayah (ijbar harus dilakukan dengan dasar kasih sayang). Kedua, ayah harus menikahkan si gadis dengan lelaki yang serasi (kufu’). Ketiga, calon suami harus mampu memberi mas kawin yang pantas (mahar mitsl). Keempat, harus tidak ada kebencian lahir batin antara calon istri dan calon suami. Kelima, si gadis tidak dikawinkan dengan orang yang akan membuatnya sengsara setelah berumah tangga, seperti, menikahkan dengan orang tua, orang buta dll. (Al-Iqna’, II, 128. Hasyiyyah al-Bajuri, II, 112).
Menelaah syarat-syarat ini, sesungguhnya penerapan hak ijbar tidak bisa dilakukan serampangan. Dan kalau kita memang konsisten dengan ketentuan fiqh, bisa dipastikan hampir tidak ada pemaksaan bagi wanita untuk menikah baik janda maupun gadis. Untuk janda, jelas semua ulama’ sepakat akan memerdekakannya untuk menentukan pasangan hidupnya. Sedang untuk gadis, meskipun kalangan Syafi’iyyah dan kalangan Ulama’ lain, sepakat memberikan hak ijbar bagi ayah, namun syarat-syarat yang dipatok mengesankan tidak ada unsur pemaksaan. Sebab semua syarat yang diajukan, mengacu bagi kemaslahatan semua pihak yang terlibat dalam pernikahan ini, terutama si gadis.
Dari itu, tampaknya Auza’i Tsauri, Abu Tsur dan Ulama Hanafiyah mengambil jalan yang lebih singkat dan praktis. Mereka tidak mengakui hak ijbar. Dasarnya, sama dengan hadits yang dipakai Syafi’iyyah untk menetapkan hak ijbar. Menurut mereka, lafadz tusta’dzanu mengandung arti bahwa izin adalah merupakan keharusan (amrun dlaruriun) dari anak perawan yang hendak dinikahkan. Oleh karena itu, pernikahan yang dilakukan tanpa kerelaan si gadis, tidak sah. Akhir-akhir, pendapat senada dikemukakan oleh Yusuf AlQarldawi dan Dr. Ahmad Al Rabashi. Beliau menulis bahwa si gadislah yang nanti akan menghadapi pernikahan, sehingga kerelaannya harus betul-betul diperhitungkan. (Fathu al-Bari, IX, 193. Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, 172. Yas’alunaka ‘Ani Fi al-Din Wa al-Hayat, V, 102).
Kesimpulan ini didukung oleh hadits :
جَائَتْ فَتَاةٌ اِلَى النّبي صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ وَأَنَا كَارِهَةٌ قَالَتْ اجْلِسِي حَتَّى يَأْتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْهُ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِيهَا فَدَعَاهُ فَجَعَلَ الأَمْرَ إِلَيْهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَعْلَمَ أَلِلنِّسَاءِ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ (رواه الماجة)
“Seorang gadis datang mengadu kepada nabi SAW, “…Ayah, mengawinkan aku dengan sepupuku agar harga dirinya terangkat”. Lalu Nabi menyerahkan persoalan ini kepada si gadis. Kemudian kata gadis itu : Aku sebenarnya menyetujui apa yang ayah lakukan. Tetapi (yang penting dari pengaduanku ini), aku ingin orang-orang perempuan tahu bahwa para ayah tidak berhak memaksakan kehendaknya”. (HR. Ibnu Majah). (Sunan Ibnu Majah, I, 602).
Dalam hadits lain juga diceritakan
Dari Abu Said al-Khudri, bahwa ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa putrinya. Orang ini mengatakan, “Putriku ini tidak mau menikah.” Nabi memberi nasihat kepada wanita itu, “Taati bapakmu.” Wanita itu mengatakan, “Aku tidak mau, sampai Anda menyampaikan kepadaku, apa kewajiban istri kepada suaminya.” (merasa tidak segera mendapat jawaban, wanita ini pun mengulang-ulangi ucapannya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kewajiban istri kepada suaminya, andaikan di tubuh suaminya ada luka, kemudian istrinya menjilatinya atau hidung suaminya mengeluarkan nanah atau darah, kemudian istrinya menjilatinya, dia belum dianggap sempurna menunaikan haknya.”
Spontan wanita itu mengatakan: “Demi Allah, Dzat yang mengutus Anda dengan benar, saya tidak akan nikah selamanya.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada ayahnya, “Jangan nikahkan putrimu kecuali dengan kerelaannya.” (HR. Ibn Abi Syaibah no.17122)
Sebagian ulama Syafi’iyah juga menyatakan hal yang sama. Menurut Imam as-Subky pilihan anak harus dikedepankan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dengan demikian orang tua harus mengikuti kemauan anak. Menurut al-Adzra’i jika pilihan anak memiliki nilai lebih bila dibandingkan pilihan orang tuanya maka orang tua harus menuruti kemauan anak.
Idealnya, ayah dan anak saling mendukung dalam hal memilih jodoh ini. Karena, nikah adalah ikatan kuat yang akan dijalani tidak untuk sehari dua hari. Prinsip musyawatah dalam hal ini, relevan untuk dijadikan pijakan. Bukankah Allah memerintahkan manusia untuk bermusyawarah dalam segala hal. “…wa syawirhum fi al-amri…” , petunjuk Al-Qur’an. Dengan begini, tidak akan terjadi clash antara kedua belah pihak.
Namun, manakala terjadi tarik menarik antara ayah dan anak. misalnya, ayah menentukan jodoh bagi anak gadisnya dengan klaim itu yang terbaik bagi sang anak, tapi anak tidak menyukainya dan memiliki pilihan sendiri. Siapa yang bisa menjamin, bahwa si anak akan bahagia dengan jodoh pilihan ayahnya?. Sebaliknya, tidak ada pula yang menjamin bahwa lelaki pilihan si anak akan membawa kebahagiaan baginya. Semuanya relatif nisbi. Dalam kondisi ini, yang patut diberikan kesempatan untuk mengambil keputusan adalah si anak. Bukan karena anak lebih mengerti masa depannya, tetapi anak jualah yang akan merasakan pahit manisnya keputusan yang diambilnya. Tugas orang tua adalah mendukung dan mendo’akan. Semoga anak diparingi kebahagiaan dzahir batin oleh yang kuasa.
Walhasil, jika kita mengikuti pola orang tua punya hak paksa, penolakan wanita terhadap pilihan anaknya dianggap menyakiti orang tua. Jika sebaliknya, jika mengikuti pendapat orang tua tidak punya hak paksa, menolak pilihan orang tua tidak dianggap menyakitinya.
Wallahu a’lam
www.mahad-aly.sukorejo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar