Rabu, 29 Januari 2014

Pacaran Perspektif 17 tahunan

Pernikahan tanpa tahu calon mempelai, baik orangnya maupun kepribadiannya sudah tak berlaku lagi pada masa modern ini. Yang lebih ngetrend pernikahan diawali pacaran, sebagi proses ta’arruf (perkenalan) sebelum mengarungi bahtera rumah tangga. Walau tak jarang orang yang sudah pacaran pernikahannya masih saja kandas. Bahkan terkadang masa pacarannya lebih lama dari pada masa pernikahannya. Kita bisa mengambil contoh para selebriti yang masa pernikahannya hanya seumur jagung. Padahal telah saling mengenal dengan melalui pacaran. Rupanya pacaran tak terlalu ampuh untuk melanggengkan pernikahan.

Kini pacaran tak lagi hanya dilakukan oleh orang yang hendak menikah. Tapi telah banyak dilakukan oleh para remaja yang notabenenya berumur dibawah 17 tahun. Ada yang dilandasi oleh rasa saling cinta, dan ada juga yang dilandasi rasa gengsi -jika tak punya pacar-. Mereka menganggap punya pacar menunjukkan suatu kehebatan. Apalagi jika yang menjadi kekasihnya merupakan bunga desa, bintang sekolah atau orang-orang ngetop, yang akan mengakibatkan naiknya pamor.

Masa pacaran pun dijalani dengan berbagai cara. Mulai dari saling kirim surat, nelpon, jalan bareng, nonton bareng, sampai tidurbareng na’udzubillah-. Bagi para backstreet biasanya hanya dijalani dengan nelpon, kirim surat, atau ketemu di sekolah. Sedangkan bagi yang telah diberi kebebasan oleh orang tuanya dilakukan dengan segala cara, asalkan bisa mempererat tali kasih. Sehingga tidak menutup kemungkinan pengungkapan rasa cintanya menyalahi norma-norma, seperti bobok bareng. Lihat saja di media-media- terutama ketika malam valentin’s day- diberitakan beberapa pasangan muda-mudi terpergok lagi ber‘indehoy di kamar hotel.

Sering kita dengar pengakuan PSK yang terjun ke dunia hitam lantaran telah dikhianati pacarnya. Sedangkan ia telah menyerahkan segala miliknya, termasuk ‘mahkota’ yang seharusnya ia jaga baik-baik.

Tak jarang pacarannya kandas di tengah jalan. Keduanya tak lagi merasa ada kecocokan, dan pasti akan timbul masalah. Hubungan tak sebaik dulu, terkadang tali persahabatan pun putus, disebabkan rasa saling dikecewakan dan dikhianati. Dalam Islam telah jelas bahwa memutus tali silaturrahmi dilarang, sebagaimana sabda nabi:

لايدخل الجنة قاطع

Artinya: “Orang yang memutus (tali silaturrahmi) tidak akan masuk surga”.

Juga kejelekan masing-masing diungkap serta disebar kemana-mana. Kebaikan, keindahan, dan kebahagian yang telah mereka rasakan bersama tak pernah diingat. Benar kata pepatah “Air susu sebelanga, rusak sebab setetes nila”.

Lebih-lebih jika putusnya disebabkan pihak ke tiga. Munculnya pihak ketiga sering kali terjadi. Mengingat manusia merupakan mahluk yang dikaruniai rasa cinta pada apa dan siapa saja oleh Tuhan. Rasa cinta yang telah datang tak akan bisa dicegah atau ditolak. Yang bisa dilakukan bagaimana rasa cinta itu tidak menimbulkan masalah baru.

Di samping itu, pacaran juga akan membelenggu ruang jiwa dan hati kita. Biasanya kita bebas berekspresi dan akrab dengan semua teman-teman kita. Nah, ketika punya pacar harus bisa menjaga rasa cemburu sang kekasih. Padahal masih belum punya tali ikatan suci.

Kalau seperti itu perlukah pacaran? Bukankah kita senang kebebasan, tak terbelenggu oleh tali kasih yang tak suci. Lalu solusinya bagaimana? Sedangkan rasa cinta telah membuncah, pikiran selalu ingat dia, ingin rasanya memilikinya.

Sesungguhnya mudah, kita biarkan saja rasa itu mengalir apa adanya. Kalau memang ingin memilikinya sepenuh hati dan kita telah siap untuk menjalani hidup bersama, maka lamar saja, selesai perkara khan. Meminjam kata Gus Dur “Gitu aja kok repot”.

Jumat, 17 Januari 2014

Do'a sebelum dan sesudah membaca Sholawat

Do’a Sebelum dan Sesudah Membaca Shalawat Nabi (Do’a Habib ‘Abdullah binAlwi Al-Haddad)
Bulan ini adalah Bulan Rabi’ul Awwal, bulan dimana Nabi Muhammad Rasulullah shallallâhualaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam dilahirkan.

Umat Islam berbagai penjuru dunia termasuk di Indonesia menyambut penuh kegembiraan atas kedatangan manusia teragung yang lahir di muka bumi ini. Inilah hari maulid nabi yang agung. Acara-acara pun digelar untuk meramaikan maulid nabi seperti pembacaan sirah Rasulullah yang diuntai dalam bait syair-syair yang indah seperti kitab maulid Al-Barzanji, Simthudduror, Burdah, dan lain-lain. Sholawat pun berkumandang di mana-mana.

Ada 3 alasan utama mengapa maulid nabi perlu diperingati. Pertama, ini adalah salah satu ungkapan rasa syukur kepada Allah subhanu wa ta’ala atas kelahiran Nabi Muhammad Rasulullah shallallâhualaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam dan juga bukti syukur kita karena Allah subhanahu wa ta’ala telah mengutus nabi dan rasulNya Muhammad sebagai rahmat sekalian alam. Yang kedua, ini adalah bentuk terimakasih kepada Nabi Muhammad Rasulullah shallallâhualaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam yang telah mengajarkan Islam dan membimbing umat sehingga kita bisa mengenal Allah subhanhu wa ta’ala. Dan yang ketiga, maulid nabi perlu diadakan di zaman sekarang ini adalah agar umat Islam mengenal siapa nabinya, mengenal rasulnya, mengenal Nabi Muhammad Rasulullah shallallâhualaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam sehingga kita bisa mencontoh dan meneladani beliau shallallâhualaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam.

Untuk itulah mari kita sambut dengan gembira hari maulid nabi. Jangan sampai kita mengikuti iblis dan sekutunya yang malah bersedih Nabi Muhammad Rasulullah shallallâhualaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam. Hanya golongan iblis dan komplotannya sajalah yang tidak menyukai maulid nabi.

Sesungguhnya Iblis berteriak sambil menangis pada empat kejadian: Pertama ketika ia dilaknat oleh Allah, Kedua ketika ia diusir ke bumi, Ketiga ketika Rasulullah shallahualaihi wa sallam dilahirkan, dan Keempat ketika surat al-Fatihah diturunkan “ (Disebutkan oleh Syaikh Ibnu Muflih dari Ibn Mukhlid yang mengisahkan kisah ini dari Hasan al-Bashri).

Demi menyambut maulid nabi ini, kami sengaja sajikan kepada siapapun para pecinta Nabi Muhammad Rasulullah shallallâhualaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam sebuah do’a yang mulia. Sebuah do’a yang dikarang oleh Habib ‘Abdullah binAlwi Al-Haddad, shohibur ratib Al-Haddad, yaitu do’a sebelum bershalawat dan do’a sesudah membaca shalawat.

DO’A SEBELUM MEMBACA SHALAWAT (DO’A HABIB ‘ABDULLAH BINALWI AL-HADDAD)

    اَللّٰهُمَّ اِنِّيْ نَوَيْتُ بِصَلَاةِ هَذِهِ عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, اِمْتِثَالًا لِأَمْرِكَ, وَتَصْدِيْقًا بِكِتَابِكَ, وَاتِّبَاعًا لِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَمَحَبَّةً فِيْهِ, وَشَوْقًا اِلَيْهِ, وَتَعْظِيْمًا لِحَقِّهِ, وَتَشْرِيْفًا لَهُ, وَلِكَوْنِهِ اَهْلًا لِذٰلِكَ, فَتَقَبَّلْهَا اللّٰهُمَّ بِفَضْلِكَ وَجُوْدِكَ وَكَرَمِكَ وَاِحْسَانِكَ, وَأَزِلْ حِجَابَ الْغَفْلَةِ عَنْ قَلْبِيْ, وَاجْعَلْنِيْ مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ. اَللّٰهُمَّ زِدْهُ شَرَفًا عَلَى شَرَفِهِ الَّذِىْ اَوْلَيْتَهُ, وَعِزًّا عَلَى عِزِّهِ الَّذِىْ اَعْطَيْتَهُ, وَنُوْرًا عَلَى نُوْرِهِ الَّذِىْ مِنْهُ خَلَقْتَهُ, وَاَعْلِ مَقَامَهُ فِيْ مَقَامَاتِ الْمُرْسَلِيْنَ, وَدَرَجَتَهُ فِيْ دَرَجَاتِ النَّبِيِّيْنَ, وَأَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالْجَنَّةَ, وَرِضَاهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ, مَعَ الْعَافِيَةَ الدَّآئِمَةَ فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ, وَالْمَوْتَ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ, وَكَلِمَةِ الشَّهَادَةِ عَلَى تَحْقِيْقِهَا, مِنْ غَيْرِ تَبْدِيْلٍ وَتَغْيِيْرٍ, وَاغْفِرْلِيْ مَاارْتَكَبْتُهُ, بِفَضْلِكَ وَإِحْسَانِكَ عَلَيَّ, إِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ, وَصَلَّى اللّٰهُ وَسَلَّمَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ أَجْمَعِيْنَ, وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Duhai Allah, sesungguhnya aku berniat untuk membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW ini demi melaksanakan perintahMu, membenarkan kitabMu, mengikuti nabiMu Muhammad SAW, karena aku mencintai, merindukan, mengagungkan, dan memuliakan Beliau SAW serta karena Beliau SAW memang sangat pantas untuk mendapatkan shalawat tersebut. Oleh karena itu, duhai Allah dengan kemurahan, karunia, kedermawaan, dan kebaikanMu, terimalah shalawat yang akan kubaca ini, singkirkanlah hijab kelalaian yang meliputi hatiku dan jadikanlah aku sebagai salah seorang hambaMu yang shaleh.

Duhai Allah, berilah Beliau SAW kemuliaan di atas kemuliaan yang telah Engkau anugerahkan kepada Beliau, cahaya di atas cahaya yang darinya Engkau ciptakan Beliau dan tinggikan derajat Beliau di atas derajat para rasul dan para nabi.

Duhai Allah, Tuhan alam semesta, berilah aku surga, keridhaanMu dan keridhaan Beliau, teriring keselamatan dalam agama, dunia, maupun akhirat yang selalu menyertaiku. Duhai Allah, karuniakanlah aku kematian dalam keadaan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah, dan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, serta dapat mengucapkan kalimat syahadat dengan benar tanpa sedikitpun perubahan. Ampunilah segala dosa yang pernah ku lakukan, berkat kemurahan dan kebaikanMu semata, sesungguhnya Engkau Maha Memberi dan Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Shalawat serta salam Allah semoga senantiasa tercurah kepada Sayyidina Muhammad beserta segenap keluarga, shahabat, dan seluruh pengikut Beliau. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam.

::

DO’A SESUDAH MEMBACA SHALAWAT (DO’A HABIB ‘ABDULLAH BINALWI AL-HADDAD)

    اَللّٰهُمَّ اشْرَحْ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ صُدُوْرَنَا, وَيَسِّرْ بِهَا اُمُوْرَنَا, وَفَرِّجْ بِهَا هُمُوْمَنَا, وَاكْشِفْ بِهَا غُمُوْمَنَا, وَاغْفِرْ بِهَا ذُنُوْبَنَا, وَاقْضِ بِهَا دُيُوْنَنَا, وَاصْلِحْ بِهَا أَحْوَالَنَا, وَبَلِّغْ بِهَا آمَلَنَا, وَتَقَبَّلْ بِهَا تَوْبَتَنَا, وَاغْسِلْ بِهَا حَوْبَتَنَا, وَانْصُرْ بِهَا حُجَّتَنَا, وَطَهِّرْ بِهَا أَلْسِنَتَنَا, وَآنِسْ بِهَا وَحْشَتَنَا, وَارْحَمْ بِهَا غُرْبَتَنَا, وَاجْعَلْهَا نُوْرًا بَيْنَ أَيْدِيْنَا وَمِنْ خَلْفِنَا, وَعَنْ أَيْمَانِنَا وَعَنْ شَمَائِلِنَا, وَ مِنْ فَوْقِنَا وَ مِنْ تَحْتِنَا, وَفِيْ حَيَاتِنَا وَمَوْتِنَا, وَفِيْ قُبُوْرِنَا وَحَشْرِنَا وَنَشْرِنَا, وَظِلًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُؤُوْسِنَا, وَثَقِّلْ بِهَا مَوَازِيْنَ حَسَنَتِنَا, وَأَدِمْ بَرَكَتِهَا عَلَيْنَا حَتَّى نَلْقَى نَبِيَّنَا وَ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَنَحْنُ آمِنُوْنَ مُطْمَئِنُّوْنَ, فَرِحُوْنَ مُسْتَبْشِرُوْنَ, وَلَا تُفَرِّقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ حَتَّى تُدْخِلَنَا مَدْخَلَهُ, وَتُئْوِيَنَا اِلَى جِوَارِهِ الْكَرِيْمِ, مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ, وَ حَسُنَ اُولٰـٓئِكَ رَفِيْقًا. اَللّٰهُمَّ إِنَّا آمَنَّا بِهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَلَمْ نَرَهُ, فَمَتِّعْنَا اللّٰهُمَّ فِى الدَّارَيْنِ بِرُئْيَتِهِ, وَثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى مَحَبَّتِهِ, وَاسْتَعْمِلْنَا عَلَى سُنَّتِهِ, وَتَوَفَّنَا عَلَى مِلَّتِهِ, وَاحْشُرْناَ فِيْ زُمْرَتِهِ النَّاجِيَةِ, وَحِزْبِهِ الْمُفْلِحِيْنَ, وَانْفَعْنَا بِمَا انْطَوَتْ عَلَيْهِ قُلُوْبُنَا مِنْ مَحَبَّتِهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, يَوْمَ لَا جَدَّ وَلَا مَالَ وَلَا بَنِيْنَ, وَأَوْرِدْنَا حَوْضَهُ الْأَصْفَى, وَاسْقِنَا بِكَأْسِهِ الْأَوْفَى, اَللّٰهُمَّ يَسِّرْ عَلَيْنَا زِيَارَةَ حَرَمِكَ وَ حَرَمِهِ مِنْ قَبْلِ اَنْ تُمِيْتَنَا, وَأَدِمْ عَلَيْنَا الْإِقَامَةَ بِحَرَمِكَ وَحَرَمِهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِلَى اَنْ تَوَفَّى. اَللّٰهُمَّ إِنَّا نَتَشَفَّعُ بِهِ إِلَيْكَ, إِذْ هُوَ أَوْجَهُ الشُّفَعَآءِ إِلَيْكَ, وَنُقْسِمُ بِهِ عَلَيْكَ إِذْ هُوَ أَعْظَمُ مَنْ أُقْسِمُ بِحَقِّهِ عَلَيْكَ, وَنَتَوَسَّلُ بِهِ إِلَيْكَ إِذْ هُوَ أَقْرَبُ الْوَسَائِلِ إِلَيْكَ, نَشْكُوْ إِلَيْكَ يَا رَبِّ قَسْوَةَ قُلُوْبِنَا, وَكَثْرَةَ ذُنُوْبِنَا, وَطُوْلَ آمَلِنَا, وَفَسَادَ أَعْمَلِنَا, وَتَكَاسُلَنَا عَنِ الطَّاعَاتِ, وَهُجُوْمَنَا عَلَى الْمُخَالَفَاتِ, فَنِعْمَ الْمُشْتَكَ اِلَيْهِ اَنْتَ يَا رَبِّ بِكَ نَسْتَنْصِرُ عَلَى أَعْدَائِنَا وَأَنْفُسِنَا فَانْصُرْنَا, وَعَلَى فَضْلِكَ نَتَوَكَّلُ فِيْ صَلَاحِنَا, فَلَا تَكِلْنَا اِلَى غَيْرِكَ يَا رَبَّنَا وَ اِلَى جَنَابِ رَسُوْلِكَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَنْتَسِبُ فَلَا تُبَعِّدْنَا, وَبِبَابِكَ نَقِفُ فَلَا تَطْرُدْنَا, وَإِيَّاكَ نَسْأَلُ فَلَا تُخَيِّبْنَا. اَللّٰهُمَّ ارْحَمْ تَضَرُّعَنَا, وَآمِنْ خَوْفَنَا, وَتَقَبَّلْ أَعْمَالَنَا, وَاصْلِحْ اَحْوَالَنَا, وَاجْعَلْ بِطَاعَتِكَ إِشْتِغَالَنَا, وَ اِلَى الْخَيْرِ مَآلَنَا, وَحَقِّقْ بِالزِّيَادَةِ آمَلَنَا, وَاخْتِمْ بِالسَّعَادَةِ آجَالَنَا, هَذَا ذُلُّنَا ظَاهِرٌ بَيْنَ يَدَيْكَ, وَحَالُنَا لَا يَخْفَى عَلَيْكَ, أَمَرْتَنَا فَتَركْنَا, وَنَهَيْتَنَا فَارْتَكَبْنَا, وَلَا يَسَعُنَا إِلَّا عَفْوُكَ, فَاعْفُ عَنَّا يَا خَيْرَ مَأْمُوْلٍ, وَأَكْرَمَ مَسْئُوْلٍ, إِنَّكَ عَفُوٌّ غَفُوْرٌ كَرِيْمٌ رَؤُفٌ رَحِيْمٌ, يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ, وَصَلَّى اللّٰهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا, وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. بسر الفاتحة

Duhai Allah, berkat shalawat yang kami baca ini, lapangkanlah dada kami, mudahkanlah semua urusan kami, hapuskanlah seluruh kegalauan dan kesedihan kami, ampunilah dosa-dosa kami, lunaskanlah hutang-hutang kami, perbaikilah semua keadaan kami, wujudkanlah cita-cita kami, terimalah taubat kami, bersihkanlah semua kesalahan kami, menangkanlah hujjah kami, sucikanlah lisan kami, hiburlah kesepian kami, sayangilah kami di dalam ketersasingan kami.

Ya Allah, jadikanlah shalawat tersebut sebagai cahaya yang bersinar di depan dan di belakang tubuh kami, di samping kanan dan kiri kami, dalam kehidupan dan kematian kami, di kubur dan saat kebangkitan kami serta menjadi penaung kami di hari kiamat nanti.

Ya Allah, jadikanlah shalawat tersebut sebagai amal yang memberatkan timbangan kebajikan kami dan jadikanlah keberkahannya selalu menyertai kami hingga kami dapat bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dalam keadaan aman, tenang, senang, dan bahagia.

Ya Allah, jangan pisahkan kami dari beliau. Masukanlah kami ke tempat di mana beliau berada, sandingkanlah kami di samping beliau bersama orang-orang yang telah Engkau beri kenikmatan, yaitu para nabi, shiddiq, syahid, dan orang-orang yang shaleh, karena merekalah rombongan yang masuk surga.

Ya Allah, kami beriman kepada Beliau SAW sedangkan kami belum pernah melihatnya, oleh karena itu tolong berilah kami kenikmatan dengan memandang wajah beliau di dunia dan akhirat.

Ya Allah, jadikanlah hati kami selalu mencintai beliau, pakailah diri kami untuk mengamalkan sunnah beliau, wafatkanlah kami dalam agama beliau, dan bangkitkanlah kami dalam kelompok beliau yang selamat dan berhasil.

Ya Allah, jadikanlah rasa cinta di dalam hati kami kepada Nabi Muhammad SAW ini bermanfaat bagi kami di saat kekuasaan, harta, maupun anak tidak mendatangkan manfaat.

Ya Allah, sampaikanlah kami ke telaga beliau yang suci dan berilah kami minum dari gelas beliau yang sempurna.

Ya Allah, mudahkanlah kami untuk berziarah ke tanah haramMu (Makkah) dan tanah haramnya (Madinah) sebelum kami wafat, dan jadikanlah kami agar selalu tinggal di tanah haramMu (Makkah) dan tanah haramnya (Madinah).

Ya Allah, dalam semua permohonan kami, kami selalu bermohon syafa’at beliau karena beliau adalah sebaik-baik pemberi syafa’at, sebaik-baik manusia yang Engkau akui kebesarannya, dan kami bertawassul kepadaMu dengan beliau karena beliau adalah wasilah terdekat kami kepadaMu.

Ya Allah, kami mengajukan kepadaMu kerasnya hati kami, banyaknya dosa kami, panjangnya angan-angan kami, buruknya amal kami, kemalasan diri kami dalam ketaatan, dan keberanian kami dalam bermaksiaat, karena sesungguhnya Engkau adalah tempat terbaik untuk mengadu.

Ya Allah, kami memohon kepadaMu untuk menghadapi semua musuh kami dan diri kami sendiri serta bersandar kepada kemurahanMu semata agar kami menjadi manusia yang baik, oleh karena itu, duhai Tuhan kami, janganlah serahkan kami kepada selainMu. Ya Allah, kami memiliki hubungan dengan rasulMu, Muhammad SAW, oleh karena itu jangan jauhkan kami dari Beliau SAW.

Ya Allah, di pintuMu kami berdiri, maka jangan usir kami, hanya kepadaMulah kami memohon, maka jangan sia-siakan permohonan kami ini.

Ya Allah, terimalah do’a kami, berilah kami rasa aman dari semua ketakutan kami, terimalah semua amal shaleh kami, jadikanlah ketaatan sebagai kesibukan kami, kebaikan sebagai tempat kembali kami, dan kebahagiaan sebagai penutup kami.

Ya Allah, inilah cita-cita kami, diri kami tampak jelas di hadapanMu, keadaan kami tiada tersembunyi dariMu. PerintahMu kami abaikan, laranganMu kami lakukan, maka ampunanMulah yang kami inginkan. Duhai sebaik-baik Dzat yang kepadaNya ditunjukan permohonan dan do’a, ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Maha Pengampun, Maha Dermawan, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Duhai Yang Maha Menyayangi dari semua jiwa yang berjiwa kasih sayang. Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpahkan sebanyak mungkin kepada Sayyidina Muhammad SAW beserta keluarga dan para shahabatnya. Dan segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam

Kamis, 16 Januari 2014

Natal dalam pandangan Gusdur

Sekarang sedang ribut berita soal ucapan selamat natal dari seorang muslim kepada umat Kristen yang diharamkan oleh ulama Aceh. Alasannya, perayaan Natal merupakan ritual keagamaan non-Muslim yang tidak dibenarkan bagi umat Islam untuk mengikutinya.

Haram juga ucapan Natal, jangankan ikut mengucapkan, menyerupai saja dengan yang bukan budaya Islam sudah haram, apa lagi ikut terlibat dengan mengucapkannya,” kata ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Banda Aceh, Abdul Karim Syeikh, Sabtu (14/12) saat dihubungi merdeka.com.

Sejak dulu sebenarnya masalah seperti ini sudah menjadi polemik di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Ada sebagian yang menilai haram, ada juga yang tidak. Nah, untuk memperkaya referensi, ada baiknya anda tahu bagaimana pendapat Gus Dur soal masalah ini.

Gus Dur pernah menulis artikel di Koran Suara Pembaruan pada 20 Desember 2003 berjudul: Harlah, Natal dan Maulid. Menurut Gus Dur, kata Natal yang menurut arti bahasa sama dengan kata harlah (hari kelahiran), hanya dipakai untuk Nabi Isa al-Masih belaka. Jadi ia mempunyai arti khusus, lain dari yang digunakan secara umum -seperti dalam bidang kedokteran ada istilah perawatan pre-natal yang berartiperawatan sebelum kelahiran”.

Dengan demikian, maksud istilahNataladalah saat Isa Al-Masih dilahirkan ke dunia olehperawan suciMaryam. Karena itulah ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran anak manusia bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia.

Sedangkan Maulid, Gus Dur menjelaskan, adalah saat kelahiran Nabi Muhammad Saw. Pertama kali dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi atau dalam dunia barat dikenal sebagai Saladin, dari Dinasti Mamalik yang berkebangsaan Kurdi. Tujuannya untuk mengobarkan semangat kaum Muslimin, agar menang dalam perang Salib (crusade).

Dia memerintahkan membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad, enam abad setelah Rasulullah wafat. Peristiwa Maulid itu hingga kini masih dirayakan dalam berbagai bentuk, walaupun Dinasti Sa’ud melarangnya di Saudi Arabia. Karya-karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis dalam puisi dan prosa untuk menyambut kelahiran Nabi Muhammad itu.

Dengan demikian, Gus Dur melanjutkan, dua kata (Natal dan Maulid) mempunyai makna khusus, dan tidak bisa disamakan. Dalam bahasa teori Hukum Islam (fiqh) kata Maulid dan Natal adalahkata yang lebih sempit maksudnya, dari apa yang diucapkan” (yuqlaqu al’am wa yuradu bihi al-khash). Penyebabnya adalah asal-usul istilah tersebut dalam sejarah perkembangan manusia yang beragam. Artinya jelas, Natal dipakai orang-orang Kristiani, sedangkan maulid dipakai orang-orang Islam.

Menurut Gus Dur, Natal dalam kitab suci Alquran disebut sebagaiyauma wulida” (hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: “kedamaian atas orang yang dilahirkan (hari ini)” (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud. Sebaliknya, firman Allah dalam surat al-Maryam: “Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku” (al-salamualaiyya yauma wulidtu), jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa.

Bahwa kemudian Nabi IsadijadikanAnak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah masalah lain lagi. Artinya, secara tidak langsung Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur’an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran beliau, yang harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud berbeda, adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan.

Jika penulis (Gus Dur) merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau (Isa) dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah SWT.”

Dengan demikian, Gus Dur melanjutkan, “menjadi kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama. Penulis (Gus Dur) menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum Kristiani merayakannya bersama-sama.”

Dalam litelatur fiqih, Gus Dur mengimbuhkan, jika seorang muslim duduk bersama-sama dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut dalam ritual kebaktian. Namun hal ini masih merupakan ganjalan bagi kaum muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka akan dianggap turut berkebaktian yang sama.

“Karena itulah, kaum Muslimin biasanya menunggu di sebuah ruangan, sedangkan ritual kebaktian dilaksanakan di ruang lain. Jika telah selesai, baru kaum Muslimin duduk bercampur dengan mereka untuk menghormati kelahiran Isa al-Masih.”

http://m.cyberdakwah.com/2013/12/perayaan-natal-dalam-pandangan-gus-dur/

Selasa, 14 Januari 2014

Maulid Ibadah Yang Dibungkus Tradisi

D ikisahkan bahwa umat Islam porak-poranda setelah dikalahkan oleh tentara salib dalam perang salib atau The Crusade untuk perebutan masjidil Aqsha. Kekalahan tersebut menjadikan umat Islam kehilangan semangatnya. Tidak ada lagi semangat juang untuk merebut kembali masjid yang menjadi kiblat pertamakali bagi umat Islam ini.

Untuk menumbuhkan semangat ini lalu Malik Mudhaffar Abu Sa’id yang lebih dikenal dengan sebagai Sultan Shalahuddin al-Ayyubi—“Saladin” dalam sebutan orang barat—mempunyai ide untuk membacakan cerita-cerita tentang perjuangan nabi Muhammad r. Dengan mendengar kisah tentang perjuangan nabi ini diharapkan semangat umat Islam kembali sehingga bisa lagi untuk merebut masjid al-Aqsha dari pendudukan laskar eropa (Prancis, Jerman, Inggris).

Malik Mudzaffar pada waktu itu memang menyelenggarakan acara maulid dengan cukup meriah untuk ukuran masa sekarang sekalipun. Acara maulid nabi itu dihadiri oleh tokoh-tokoh ulama, sufi, pemerintah dan rakyat banyak. Karena besarnya acara yang akan diselenggarakan, Mudhaffar sampai menyediakan tidak kurang dari 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 kaleng susu dan 30.000 hidangan kue dan beberapa kelengkapan lainnya. Diperkirakan semuanya menghabiskan biaya 300.000 dinar (Rp. 172 Milyar atau $ 19.125 juta US dolar dengan kurs 1 dolar = Rp. 9.000). Namun tentunya kemegahan acara ini bukan perwujudan kesombongan dan niat bermewah-mewah. Sebab Mudzaffar dikenal sebagia pribadi yang kharismatik, pemberani, patriotik, cerdas, alim, dan adil. Kalau kemudian maulid dibuat mewah, itu semata-mata merupakan perwujudan rasa cinta kepada Nabi Muhammad r.[1] Ini adalah salah satu pendapat tentang siapakah pencetus tradisi maulid. Menurut pendapat lain, tradisi maulid ini sudah ada di masa pemerintahan Fathimiyyah.

Perkembangan selanjutnya, perayaan maulid menyebar keseluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia. Dalam hal ini, Sunan kalijogo sering disebut sebagai pencetus perayaan maulid di bumi nusantara. Pada masa itu, rakyat Indonesia masih dalam pelukan keyakinan Hindu-Budha. Sunan Kalijogo mencoba menyadarkan mereka untuk menuju jalan kebenaran. Banyak diantara mereka yang akhirnya masuk Islam. Mereka yang mau masuk Islam ini, oleh Sunan Kalijogo dikumpulkan untuk mengikrarkan syahadatain. Agar lebih mudah menarik perhatian mereka, beliau mengadakan acara yang menarik, dan salah satunya adalah acara perayaan maulid nabi di bulan rabi’ul awal. Sampai saat ini, peninggalan sejarah ini masih tampak pada acara sekaten yang marak diselenggarakan terutama di daerah Yogyakarta dan Solo.

Pada perkembangan selanjutnya, dari waktu ke waktu, khususnya di Indonesia, bentuk perayaan maulid terus mengalami modifikasi. Di setiap daerah mempunya cara tersendiri dalam menyelenggarakannya. Misalnya di Banyuwangi dalam perayaan maulid ada tradisi dok endokan. Di beberapa daerah jawa juga ada tradisi Grebeb Maulid. Tentunya tetap ada kesamaannya, seperti pembacaan shalawat.

Di samping itu, dalam merayakan maulid ini ada yang mengadakan acara besar-besaran, dengan berbagai acara, seperti shalawatan, ceramah agama, perlombaan, hiburan-hiburan yang bernuansa Islami dan lain sebagainya. Makanya tak heran ketika memasuki bulan Rabi’ul Awwal di berbagai daerah tidak sepi dari berbagai acara maulid, terlebih paling sering diadakan di pondok-pondok. Tapi ada juga yang diadakan secara sederhana. Misalnya hanya dengan mengundang tetangga sekitar untuk membaca shalawat lalu diakhiri makan bersama.  .

Hanya saja ada beberapa pihak atau kelompok yang mengharamkan tradisi maulid. Menurut mereka tradisi maulid termasuk bid’ah karena tidak pernah dilakukan oleh nabi, dan setiap bid’ah pasti sesat. Selain itu ada yang beranggapan bahwa dalam tradisi maulid sudah bercampur dengan kesyirikan, khurafat, dan tahayyaul.  Makanya tradisi maulid harus dihapus. Tidak boleh dibiarkan terlaksana terus menerus. Sebab akan mengantarkan orang Islam pada kesesatan atau bahkan kekafiran.

Oleh karena itu untuk memperjelas tentang hukum tradisi maulid perlu dibahas secara mendalam dan komprehensip. Mengingat tradisi ini sudah mengakar pada masyarakat muslim, terlebih di Indonesia, seakan-seakan sudah menjadi suatu hal yang wajib. Maka tak heran ketika di berbagai pondok pesantren acara maulid ini menjadi acara wajib tahunan.

Dalam mengkaji hukum maulid ini, ada beberapa pertanyaan yang perlu dibahas, adakah dalil yang melegitimasi perayaan maulid? Benarkah perayaan maulid termasuk bid’ah?

Hakikat Perayaan Maulid

Sebagai pembuka dalam pembahasan ini, perlu diketahui terlebih dahulu tentang hakikat dari perayaan maulid nabi, yaitu ungkapakan rasa senang dan rasa syukur atas lahirnya nabi Muhammad r, salah satu utusan Allah I yang telah berperan merubah peradaban manusia dari peradaban yang penuh kejahiliahan menuju peradaban yang beradab. Rasa senang ini lalu dieksperesikan dengan mengumpulkan para sahabat, teman karib, fuqara’, masakin dan seluruh lapisan yang mempunyai visi sama. Ketika itulah kemudian bersama-sama mengenang sejarah beliau yang gagah berani dalam mengembangkan Islam.  Sehingga diharapkan akan muncul spirit untuk mencontoh perjuangan beliau.

Berkaitan dengan rasa bahagian ini Allah I berfirman,

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا

“Katakanlah wahai Muhammad, sebab fadzal dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah kalian”

Secara sharih, melalui ayat ini Allah I menyuruh kita bergembira karena adanya fadhal dan rahmat dari-Nya. Ada banyak penafsiran tentang kata fadhl dan rahmat. Menurut al-Razi, para mufassir menafsiri kata fadhl dengan Islam dan kata rahmat dengan Qur’an.[2] Sedangkan menurut mufassir yang lain, maksud dari kata fadhl adalah ilmu dan sedangkan maksud dari rahmat adalah nabi Muhammad r. Pendapat ini mendasarkan pada riwayat dari Ibnu Abbas. [3]

Berdasarkan penafsiran yang ke dua ini, maka tidak perlu dipersamasalahkan ketika ada orang-orang yang sangat merasa gembira pada bulan Rabi’ul Awwal, sebab pada bulan itulah nabi Muhammad r dilahirkan. Kegembiraan ini memang seharusnya sudah dilakukan oleh semua umat Islam. Bahkan terbilang aneh kalau ada umat Islam yang tidak gembira. Dan mungkin perlu dipertanyakan keislamannya.

Cikap bakal perayaan maulid nabi

Sesungguhnya perayaan atas lahirnya nabi ini bukan hanya dilakukan oleh umat beliau, nabi pun pernah merayakannya. Tentunya bukan seperti perayaan pada masa sekarang ini, melainkan dengan berpuasa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Mahakuasa. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, disebutkan bahwa Nabi r ditanya mengapa beliau berpuasa pada hari senin. Nabi langsung menjawab,

ذَلِكَ يَوْمَ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمَ بُعِثْتُ

“Pada hari itu, aku dilahirkan, dan wahyu diturunkan kepadaku”.[4]

Pada hadits tersebut sudah dengan jelas disebutkan bahwa nabi berpuasa karena pada hari itu beliau dilahirkan. Dari sini dapat dipahami beliau memperingati atau merayakan hari kelahirannya dengan cara ibadah, dalam hal ini berpuasa.

Secara umum, apa yang dilakukan nabi ini memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh umat Islam sekarang dalam merayakan maulid. Konkritnya, Nabi merayakan kelahirannya dengan ibadah puasa. Sementara umat Islam sekarang merayakan dengan cara shalawatan, yang mana ini juga termasuk ibadah. Maka dari itu tidak salah kalau umat Islam merayakan maulid.

Format maulid bid’ah, Tapi isinya Terpuji

Setiap ibadah yang dikerjakan oleh umat Islam harus sesuai dengan petunjuk syari’. Oleh karenanya kita  tidak bisa membuat-buat ibadah sendiri. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan oleh nabi,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa menciptakan sesuatu yang bukan dari urusanku ini, maka hal itu ditolak”[5]

Dalam kesempatan lain nabi bersabda,

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Hindarilah olehmu pada urusan-urusan yang dibuat-buat, karena sesuatu yang baru itu termasuk bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”[6]

Dari dua hadits inilah lalu muncul keharaman melakukan bid’ah. Bid’ah dalam konteks syari’at adalah setiap perkataan atau perbuatan yang dibuat oleh manusia dalam hal agama yang tidak didapat dari nabi dan sahabatnya.[7] Dengan mengikuti definisi ini maka sebenarnya pembahasan bid’ah terfokus dalam konteks syar’iy. Makanya nabi menyebutkan kata “فِي أَمْرِنَا هَذَا”. Maksud kata ini tentunya adalah urusan syari’at karena nabi bersabda ketika itu atas nama syari’.

Lalu yang menjadi pertanyaan apakah setiap bid’ah haram atau sesat, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits yang kedua? Pada dasarnya, lafadh “كل بدعة ضلالة “ menunjuk bahwa semua bentuk bid’ah sesat, karena didahului kata كل yang termasuk lafadh am.[8] Hanya saja yang perlu diperhatikan bahwa keumuman lafadh ini ditakhshish. Buktinya ada beberapa perkara bid’ah yang termasuk baik, tidak sesat. Misalnya seperti pengumpulan dan pembukuan Qur’an. Walaupun tidak pernah dilakukan oleh nabi, tapi semua sudah sepakat bahwa hal ini termasuk sesuatu yang baik. Maka dari itu berarti tidak semua bid’ah sesat.

Selanjutnya kita hubungkan konsep tentang bid’ah ini dengan perayaan maulid. Apakah perayaan maulid teramasuk bid’ah?

Memang benar, bahwa perayaan maulid dengan format seperti sekarang ini tidak ada di zaman nabi. Nabi tidak pernah secara khusus mengadakan acara untuk merayakan hari kelahirannya dengan format seperti yang ada sekarang. Nabi tidak pernah mengumpulkan para sahabat lalu bershalawat bersama dengan tujuan merayakan hari kelahirannya. Inilah lalu yang menimbulkan klaim bahwa perayaan maulid termasuk bid’ah.

Padahal ketika memandang dari berbagai isi dalam perayaan maulid yang terjadi sekarang ini, tidak akan ada klaim seperti itu karena isi dalam perayaan maulid banyak yang telah dilakukan oleh nabi. Dalam arti bukan bid’ah lagi. Semisal, membaca shalawat, al-Qur’an, ceramah agama, santunan anak yatim, dan lain sebagainya. Itu semua bukan hal yang bid’ah, karena sudah ada dalil sharih (tegas) tentang dianjurkannya hal-hal tersebut. Oleh karenanya perayaan maulid tidak bertentangan dengan Islam.[9]

Sedangkan beberapa format yang memang belum pernah ada di zaman nabi, juga tidak bisa langsung dikategorikan sebagai bid’ah yang sesat. Semisal acara grebeg maulid, yaitu acara dengan mengarak tumpeng yang cukup besar lalu diberikan pada masyarakat. Acara grebeg ini walaupun sepintas bisa disebut bid’ah tapi pada dasarnya bukan. Karena ini bisa dimasukkan dalam kategori shadaqah. Misalnya juga acara dok-endokan seperti yang terjadi di Banyuwangi. Acara ini walaupun memang belum pernah dilakukan oleh nabi tapi tetap tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah yang sesat, karena tidak ada unsur kesesatan dalam acara ini.

Dengan demikian tradisi maulid sesungguhnya bukan bid’ah lagi kalau memandang isinya. Kalaupun toh mau disebut bid’ah, maka hanya sebagian dari isinya saja, itu pun tidak masuk pada bid’ah yang sesat, melainkan masuk pada kategori bid’ah hasanah, sehingga tetap tidak bertentangan dengan syari’at. Sementara acara pokok dalam perayaan maulid, berupa pembacaan shalawat tidak bisa disebut bid’ah. Maka dari itu jangan sembarangan mengatakan maulid termasuk bid’ah.

Mayoritas ulama pun mengatakan bahwa perayaan maulid tidak bertentangan dengan syari’at. Seperti yang diungkap oleh Ibnu Taimiyah, orang yang selama ini dicitrakan sebagai imamnya wahabi, kelompok anti perayaan maulid. Bahkan beliau mendukung perayaan ini.  Hal ini bisa dipahami dari ungkapan beliau berikut ini, “Sebagian orang sekarang sedang gencar-gencarnya melaksanaan perayaan maulid. Hal yang demikian juga kita temukan dikalangan nasrani yang membesar-besarkan kelahiran dan wafatnya Isa. Apa yang dilakukan kaum muslimin itu dilandasi sikap cinta dan ta’dzim (hormat) pada nabi. Demi Allah, mereka mendapatkan pahala atas perayaan itu bukan dosa atas bid’ah yang mereka lakukan “.[10]

Tidak perlu mepersoalkan shalawat

Ada sebagian orang yang mempersoalkan shalawat. Kelihatannya memang lucu tapi ini kenyataan. Menurut mereka, ada shalawat tertentu bisa menyebabkan orang musyrik. Seperti shalawat nariyah. Menurut mereka, dalam shalawat tersebut berisi tentang permintaan pada nabi Muhammad r, bukan pada Allah I. Padahal seharusnya meminta pada Allah I.

Banyak jawaban yang bisa diajukan untuk menyangkal anggapan ini. Antara lain bahwa permintaan itu bersifat majazi bukan haqiqi. Dalam arti permohonannya tetap ditujukan pada Allah I akan tetapi melalui Nabi Muhammad r, karena beliau termasuk hamba yang paling dekat dengan Allah I. Bahkan berkenaan dengan doa melalui perantara nabi ini, sudah dilegitimasi oleh nabi. Sebagaimana tertera dalam bebarapa kitab hadits. Oleh karena itu tidak perlu mempersoalkan redaksi shalawat. Sebab kaum muslimin tidak akan memperlakukan nabi Muhammad r sebagaimana perlakuan orang Nasrani pada nabi Isa u. Kaum muslimin tetap percaya bahwa Dzat yang memberikan segala permintaan adalah Allah I. Kaum muslimin tetap percaya bahwa nabi adalah seorang hamba yang tidak bisa memberikan manfaat atau bahaya kecuali dengan kehendak Allah I.[11] Hal ini sudah ditegaskan dalam Qur’an,

قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ

“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah I”

Dengan demikian, sudah seharusnya bagi umat Islam memperbanyak shalawat. Baik redaksinya itu warid dari nabi atau dari para ulama yang sudah diakui tingkah ketinggian ibadahanya. Shalawat ini sudah menjadi sesuatu yang hukumnya termasuk ma’lum min al-din bi al-darurah (sudah diketahui oleh seluruh umat Islam secara pasti). Dalam sebuah ayat Allah I berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 56:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan malaikatnya membaca shalawat kepada nabi. Wahai orang-orang yang beriman membaca shalawatlah kalian dengan disertai salam kepadanya”

Terlebih membaca shalawat ini mempunyai banyak keutamaan. Bahkan membaca shalawat termasuk salah satunya amal perbuatan yang tetap bernilai pahala walaupun disertai riya’ dari pembacanya.

Waktu perayaan bukan harga mati

Ada sebagian masyarakat yang keberatan dengan maulid karena waktunya terkonsentrasi pada bulan Rabi’ul Awwal saja. Seakan-akan membaca memuji-muji nabi, shalawatan, rasa gembira pada nabi Muhammad r dan lain sebagainya hanya tertentu pada bulan Rabi’ul Awwal. Bagi mereka hal ini sudah mensyari’atkan sesuatu yang tidak disyari’atkan dalam Islam.

Perlu dipahami sebelumnya bahwa tidak ada anggapan sedikitpun bahwa perbuatan baik seperti yang tertera di atas ini hanya dilakukan pada bulan maulid. Buktinya pujian-pujian pada nabi atau pembacaan berzanji tidak hanya dilakukan ketika bulan rabi’ul awwal, tapi juga pada hari-hari biasa. Begitu juga pada pembacaan shalawat, baik secara pribadi atau bersamaan. Bergembira atas diutusnya nabi Muhammad r juga tidak perlu menunggu pada bulan Rabi’ul Awwal, hal itu bisa dilakukan kapan saja, setiap waktu. Hanya saja memang secara simbolik pada bulan Rabi’ul Awwal hal itu terasa cukup lebih meriah lagi. Karena momentumnya memang bersamaan dengan bulan dimana nabi dilahirkan. Jadi tidak ada yang buruk dari penempatan perayaan maulid pada bulan rabi’ul awwal.

Penempatan suatu perayaan dengan memanfaatkan momentum penting seperti kelahiran, kematian atau keselamatan seorang tokoh adalah sah-sah saja. Nabi Muhammad r saja berpuasa di hari senin karena pada hari itulah beliau dilahirkan.[12] Bukti lain adalah sebuah riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Abbas. Pada suatu hari Nabi datang ke Madinah, lalu bertemu dengan orang Yahudi yang sedang berpuasa Asyura’. Nabi lalu bertanya padanya, “kenapa engkau berpuasa?”. Orang Yahudi itu pun menjawab, “Hari ini adalah hari baik. Pada hari inilah Allah I menyelamatkan nabi Musa u dan Bani Israil dari para musuhnya. Oleh karena itu, Nabi musa u berpuasa”. Mendengar jawaban itu, nabi berkata: “Sesungguhnya lebih berhak berpuasa untuk nabi Musa u daripada kalian”. Kemudian nabi perpuasa dan menyuruh umatnya berpuasa. (HR. Bukhari-Muslim)

Dua hadist diatas merupakan dalil yang melegitimasi sebuah perbuatan yang dikaitkan dengan peristiwa tertentu. Dengan demikian, perayaan maulid dibulan Rabi’ul Awwal bukan suatu hal yang salah. Terlebih, jika perayaan di bulan ini menambah nilai lebih mahabbah seseorang pada nabi.

Mengembalikan roh maulid

Demikianlan pembahasan secara singkat tentang tradisi maulid. Dengan mengetahui dalilnya ini tidak perlu lagi ragu untuk mengadakan perayaan maulid. Hanya saja yang perlu diperhatikan, perayaan maulid terkadang hanya sebuah perayaan tanpa makna. Panitia penyelenggara terkadang hanya bertujuan bagaimana acaranya bisa terlaksana dengan meriah dan lancar, tanpa berpikir apakah tujuan awal dari dilaksanakannya maulid sudah tercapai.

Seperti yang telah disinggung di awal tulisan ini bahwa tujuan awal dari maulid adalah untuk mengembalikan semangat umat Islam setelah mengingat dan merenungkan kembali perjuangan Nabi Muhamamad r. Untuk masa sekarang, misalnya acara maulid bertujuan untuk merenungkan kembali sifat dan sikap beliau, lalu menirukannya. Nah untuk mewujudkan hal ini perlu perhatian dari panitia maulid, para ulama, dan juga masyarakat secara umum. Semua harus sadar bahwa perayaan maulid ini bukan hanya sekedar hura-hura yang lalu ketika selesai tidak ada pengaruh para perbaikan. Maka dari itu, semua harus berusaha untuk meraih tujuan mulya ini. Demi terwujudnya generasi muslim yang sangat diidamkan oleh Nabi Muhammad r.

Renungan di Bulan Maulid

Ada banyak hal yang perlu dicontoh dari diri nabi. Beliau adalah manusia sempurna. Manusia yang segala tingkah lakunya selalu dijaga oleh Allah I. Tidak pernah sedikitpun dibiarkan dalam kesalahan. Tidak pernah sekalipun melakukan hal yang dilarang, walaupun hanya taraf makruh. Ini sebagai betapa mulyanya Nabi, betapa sucinya Nabi.

Oleh karena itu, ada beberapa hal dalam diri nabi atau dalam peristiwa yang mengitari nabi yang perlu menjadi renungan bagi umat muslim. Di antaranya:

Pertama, sudah menjadi maklum bahwa nabi sudah menjadi yatim sejak dalam kandungan. Bahkan, kemudian sang Ibunda pun menyusul. Tidak lama kemudian sang kakek juga meninggal. Padahal ketika itu usia beliau masih terlampau kecil untuk ditinggal oleh Ibu dan kakeknya.  Pada masa pertumbuhannya seharusnya beliau mendapatkan kasih sayang dan pendidikan dari kedua orangtuanya. Sehingga tak ada tangan keluarga yang memanjakannya. Tak banyak pula harta yang membuatnya hidup nyaman.

Tentu hal ini bukanlah kebetulan. Di balik semua peristiwa ini pasti tersimpan hikmah luar biasa. Diantara, agar tak ada seorangpun yang menemukan celah untuk menghembuskan keraguan ke dalam hati umat manusia bahwa Muhammad r menimba pengetahuan berkenaan dengan dakwah yang ia sebarkan dari ayah atau kakeknya. Keraguan semacam itu sangat mungkin untuk dihembuskan, terutama karena kakek Nabi Muhammad r, Abdul Muthollib adalah pemuka kaumnya. Di tangannyalah tanggung jawab rifadah dan siqayah. Dengan demikian, tertutuplah celah bagi orang-orang sesat yang akan meregukan kenabiannya. Mereka akan yakin bahwa apa yang disampaikan oleh nabi adalah murni dari Allah I,  Tuhan semesta alam.

Apa yang terjadi pada nabi ini bisa menjadi bahan renungan bagi orang yang senasib dengan beliau. Orang yang sejak kecil sudah ditinggal orang tuanya. Orang yang tumbuh tanpa kasih sayang kedua orangtuanya. Harus tidak ada kata menyerah dalam kehidupan. Serta harus tidak ada kata menyalahkan takdir yang telah Allah I tentukan. Yang harus ada adalah semangat untuk terus berkembang dan semangat untuk lebih baik. Seperti apa yang dilakukan oleh nabi.

Bagi orang yang mendapatkan takdir lebih bagus dari pada beliau—dengan kasih sayang kedua orangtua sampai dewasa dan dilengkapi dengan harta melimpah—tidak boleh bermanja-manja. Anugerah dari Allah I itu harus disyukuri dengan melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Misalnya tidak boleh sombong dan tidak merendahkan yang lain. Apa yang telah ia miliki seharusnya menjadi pendorong untuk menuju kehidupan yang lebih baik.

Kedua, Nabi terlahir di daerah yang sangat jauh dari peradaban yang maju. Pada saat itu, arab adalah negeri yang sangat terbelakang. Negeri yang jauh dari kata subur. Negeri yang hanya penuh dengan hamparan pasir yang kering kerontang. Tidak seperti Yunani, Romawi, Cina, ataupun Persia yang terkenal dengan kemajuan keilmuannya. Hal ini tentu akan menjadi tanda tanya besar, kenapa nabi dilahirkan di tempat jauh dari kemajuan?. Kenapa nabi tidak terlahir di negeri yang maju sehingga akan cepat berkembang dan secara pasti bisa membantu perkembangan dakwah nabi?.

Salah satuh hikmah dilahirkannnya nabi di Arab, bukan di negeri lain adalah karena ketenangan yang terjadi di arab. Di negeri lain yang terbilang sudah maju—seperti di Yunani yang maju dengan filsafatnya—ternyata banyak pergolakan. Dekadensi moral terjadi di mana-mana. Pertikaian dan ketergantungan pada materi menjadi sesuatu yang sudah mendarah daging.

Di samping itu, ada pelajaran lain yang cukup menarik dari peristiwa ini. Yaitu, di manapun kita lahir, kita bisa tetap bisa berkembang. Tergantung bagaimana cara atau usaha untuk menggapainya. Dalam hal ini nabi sebagai buktinya. Nabi telah menyulap sebuah negeri yang pada awalnya tidak banyak didengar orang banyak orang di negeri lain, menjadi negeri yang bisa dibanggakan. Sebuah negeri yang pada akhirnya menjadi percontohan dari perkembangan peradaban dunia.

Ketiga, dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa,

“Suatu hari, ketika Rasulullah saw bermain-main bersama beberapa anak, beliau didatangi malaikat Jibril. Tiba-tiba Jibril merengkuh Rasulullah dan membaringkan tubuhnya. Setelah itu, Jibril membelah dada Rasulullah saw dan mengeluarkan hatinya. Jibril lalu mengeluarkan segumpal darah dari dalam hati Rasulullah saw seraya berkata, “Ini adalah tempat setan pada dirimu”. Selanjutnya, Jibril mencuci hati Rasulullah saw dengan air zam-zam di dalam sebuah bejana dari emas, kemudian mengembalikan hati itu ke tempat semula. Pada saat itu, anak-anak lain (yang bermain bersama Rasulullah) pergi menemui ibu mereka seraya berseru, “Muhammad dibunuh!” kemudin, merekapun mendatangi Muhammad yang ternyata masih hidup dengan wajah pucat pasi.”

Hikmah yang yang terkandung di dalam peristiwa itu adalah bahwa nabi sudah dipersiapkan menjadi seorang Rasulullah mulai sejak kecil. Jadi, sebenarnya peristiwa pembelahan dada itu merupakan bentuk penyucian spiritual yang muncul dalam bentuk simbol kejadian material yang kasat mata agar manusia dapat menangkap isyarat Ilahi atas penyucian calon Nabinya.

Bagi manusia biasa, bukan nabi, tentunya tidak perlu menunggu malaikat jibril datang dan mencuci hatinya, melainkan harus berusaha sendiri untuk melakukanya. Misalnya dengan terus belajar dan merenung tentang alam semesta. Dengan ini diharapkan bisa menjadikan hati terus tunduk pada segala titah-Nya. Misalnya juga dengan terus berusaha menjaga hati dari segala sifat-sifat tercela, seperti sombong, iri, ujub, dan lain sebagainya. Hal ini bisa dilakukan kalau kita selalu berkutat dalam kebaikan.

Keempat, saat Nabi masih muda, beliau sudah mencari nafkah sendiri dengan cara mengembala domba. Seorang calon pemimpin seluruh manusia dan penutup para nabi ternyata tidak diberikan kehidupan yang mewah di masa kecilnya oleh Allah. Bukankah akan lebih mudah bagi nabi untuk berkembangan ketika beliau diberi kecukupan harta sehingga bisa fokus pada pengembangan diri, tanpa perlu berpikir harus bekerja?. Dan untuk memberikan kemawahan pada nabi, sangat mudah bagi Allah.

Sesungguhnya, bisa saja nabi tidak perlu bekerja karena pamannya sudah bisa mencukupi kebutuhannya. Hanya saja lalu nabi menyadari bahwa beliau memiliki kemampuan untuk mencari nafkah sendiri. Sehingga rasulullah pun tidak mau banyak memberikan beban pada pamannya.

Ini yang perlu dijadikan contoh oleh para umatnya. Semangat untuk berusaha sendiri itu sudah harus dit  anamkan pada diri kita. Berlatih untuk menghilangkan ketergantungan pada orang lain. Berlatih untuk tidak hanya mengidamkan hal-hal yang instan. Kita sudah diberikan kemampuan oleh Allah untuk bekerja, maka anugerah itu harus digunakan sebaik mungkin. Berarti orang yang hanya ingin santai, tidak mau mencontoh apa yang telah dilakukan nabi.

Di samping itu, melalui kisah ini Allah hendak membingbing kita untuk menyadari bahwa harta yang paling berharga yang dimiliki oleh seseorang adalah didapat dari hasil kerja keras sendiri dan juga yang disedekahkan pada orang lain. Maka dari itu, ada hadits yang mengatakan bahwa mencari kayu bakar itu lebih baik dari pada meminta-minta.

Demikianlah sebagian peristiwa yang ada di sekitar khidupan nabi beserta hikmahnya. Sekarang, sudah saatnya bagi semua umatnya untuk mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Serta juga meniru apa yang dilakukan nabi. Bagi yang mengaku cinta kepada nabi, tapi tidak mencontoh perilaku nabo, maka sungguh ia termasuk munafik. Sebab cinta kepada nabi itu tidak hanya dengan kata-kata melainkan juga dengan tindakan, bahkan inilah yang termasuk cinta sejati itu.

[1] I’anah Al Tholibin, III, 364 dan Haul Al-Ihtifal Bidzikra Al-Maulid Al Nabawi Al-Syarif, 58-59

[2] Mafatihu al-Ghaib, VIII, 305

[3] Durrul Mansur, juz III, hal 308

[4] Shohih Muslim, Juz I, 474

[5] Shahih Muslim, Juz IX, 118

[6] Musnad Ahmad, Juz 35, 9

[7] Ushul al-Hadits, 17

[8] Hasyiyah al-Bannani, Juz I, hal.643

[9] Haulal Ihtifal, hal 33; I’anah, juz III, hal 363

[10] Haulal Ihtifal, hal 37

[11] Mafahim Yajib an-Tushashah, 88

[12] Shohih Muslim, I, 474

http://mahad-aly.sukorejo.com/2014/01/maulid-nabi-ibadah-yang-dibungkus-tradisi/