Kamis, 31 Oktober 2013

Nadzhom Shifat Salabiyyah

Qidam :
Allah teh aya
Aya na teu aya kawit
Atuh teu pantes patarosan Ti iraha
Paingan kacabut di Alloh Maqulat Matã

Baqo :
Alloh teh aya
Aya na teu aya tungtung
Atuh teu pantes patarosan Nepi ka iraha
Paingan kacabut di Allh Maqulat Matã

Mukholafah lil-Hawadits :
Alloh teh aya
Aya taya sarupana
Beda reujeung anu anyar
Atuh teu pantes patarosan Kos kumaha
Paingan kacabut di Alloh Maqulat Kaifa

Qiyamuhu Binafsihi :
Allah teh aya
Henteu butuh kana tempat
Henteu butuh kanu sejen
Atuh teu pantes patarosana Dimana
Paingan kacabut di Alloh Maqulat Aina

Wahdaniyyah :
Alloh teh aya
Aya taya bingbilangan
Atuh teu pantes patarosan Sabaraha
Paingan kacabut di Alloh Maqulat Kam na

Angan2 Kosong

banyak orang yang menginginkan namun jarang yang mau memulainya | banyak orang yang inginkan surga namun masih nyaman dengan dosa

banyak ingin pasangan salih namun enggan memantaskan jiwa | banyak yang ingin pernikahan barakah namun memulai dengan yang nista

banyak yang ingin berilmu namun tak mau belajar | banyak yang ingin berhasil namun enggan untuk bersabar

banyak yang berdoa pada Allah namun tak berhenti maksiat | banyak yang enggan bersyukur padahal berlimpah nikmat

duhai jiwa yang terlalu banyak keinginan | sudahkah engkau dekat pada Tuhan | sedang kau tahu hanya Dia-lah yang mengabulkan?

duhai jia yang berpanjang asa | pantaskah dirimu berharap | sementara Allah tak engkau indahkan?

عليك بتقوى الله

Qosidah al Imam al Quthb al Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad al Haddad RA (shohib ratib)

ﻋﻠﻴﻚ ﺑﺘﻘﻮﻯ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﺮ ﻭ ﺍﻟﻌﻠﻦ
ﻭ ﻗﻠﺒﻚ ﻧﻈﻔﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺟﺲ ﻭ ﺍﻟﺪﺭﻥ

PerintahNya lakukan dan tinggalkan larangan......
Dan hatimu bersihkan dari shifat kotoran.....

ﻭﺧﺎﻟﻒ ﻫﻮﻯ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﺍﻟﺘﻲ ﻟﻴﺲ ﻗﺼﺪﻫﺎ
ﺳﻮﻯ ﺍﻟﺠﻤﻊ ﻟﻠﺪﺍﺭ ﺍﻟﺘﻲ ﺣﺸﻮﻫﺎ ﺍﻟﻤﺤﻦ

Jauhkan hawa nafau yang tiada tujuan......
hanya dunia yang penuh dengan kecelakaan.......

ﻭ ﺃﺻﺤﺐ ﺫﻭﻱ ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻭ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﺍﻟﻬﺪﻯ
ﻭﺟﺎﻧﺐ ﻭﻻ ﺗﺼﺤﺐ ﻫﺪﻳﺖ ﻣﻦ ﺍﻓﺘﺘﻦ

Dekatlah dengan ahli ilmu dan kebaikan.....
jauhkan yang selalu mengajak kesesatan.....

ﻭﺇﻥ ﺗﺮﺽ ﺑﺎﺇﻟﻤﻘﺴﻮﻡ ﻋﺸﺖ ﻣﻨﻌﻤﺎ
ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﺗﺮﺿﻰ ﺑﻪ ﻋﺸﺖ ﻓﻲ ﺣﺰﻥ

Bila ridho bagian, hidupmu kecukupan.....
bila tiada ridho hidupmu kesusahan.....

ﻭﺻﻞ ﺑﻘﻠﺐ ﺣﺎﺿﺮ ﻏﻴﺮ ﻏﺎﻓﻞ
ﻭﻻ ﺗﻠﻪ ﻋﻦ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻤﻘﺎﺑﺮ ﻭ ﺍﻟﻜﻔﻦ

Sholatlah dengan hati yang penuh ketulusan.....
dan jangan kau lupakan kubur dan kain kafan.....

ﻭﻣﺎ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺑﺪﺍﺭ ﺇﻗﺎﻣﺔ
ﻭﻣﺎ ﻫﻲ ﺇﻻ ﻛﺎﻟﻄﺮﻳﻖ ﺇﻟﻲ ﺍﻟﻮﻃﻦ

Bukanlah ini dunia daerah ketetapan.....
hanyalah bagaikan jalan ke satu tujuan.....

ﻭﻣﺎ ﺍﻟﺪﺍﺭ ﺇﻻ ﺟﻨﺔ ﻟﻤﻦ ﺇﺗﻘﻰ
ﻭﻧﺎﺭ ﻟﻤﻦ ﻟﻢ ﻳﺘﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺎﺳﻤﻌﻦ

Pulangnya yang taqwa ke surga daerah aman.....
yang maksiat ke neraka ke tempatnya siksaan.....

ﻓﻴﺎ ﺭﺏ ﻋﺎﻣﻠﻨﺎ ﺑﻠﻄﻔﻚ ﻭﺃﻛﻔﻨﺎ
ﺑﺠﻮﺩﻙ ﻭﺍﻋﺼﻤﻨﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻳﻎ ﻭﺍﻟﻔﺘﻦ

Yaa Alloh kami mohon bisa dalam amalan..... lindungilah kami dari macam kesesatan.....

ﻭﻭﻓﻖ ﻭ ﺳﺪﺩ ﻭﺍﺻﻠﺢ ﺍﻟﻜﻞ ﻭﺍﻫﺪﻧﺎ
ﻟﺴﻨﺔ ﺧﻴﺮ ﺍﻟﺨﻠﻖ ﻭﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﺤﺴﻦ

Taqdirkanlah kami dan semoga ditunjukkan.....
sunnah Nabi yang mulia yang menjadi junjungan.....

ﻋﻠﻴﻪ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻠﻪ ﺛﻢ ﺳﻼﻣﻪ
ﺻﻼﺓ ﻭﺗﺴﻠﻴﻤﺎ ﺇﻟﻲ ﺁﺧﺮ ﺍﻟﺰﻣﻦ

Rohmat Alloh yang Agung dan semua kehurmatan.....
ke Tuan selamanya hingga di akhir zaman.....

عباد الله رجال الله

بسم الله الرحمٰن الرحيم

ﻋﺒﺎﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﺭﺟﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻏﻴﺜﻮﻧﺎ ﻷﺟﻞ ﺍﻟﻠﻪ
ﻭﻛﻮﻧﻮﺍ ﻋﻮﻧﻨﺎ ﻟﻠﻪ ﻋﺴﻰ ﻧﺤﻈﻰ ﺑﻔﻀﻞ ﺍﻟﻠﻪ

Hai hamba tentara Allah.. kami tulung kerna Allah
Belaan agama Allah.. mugi kengeng fadhol Allah

ﻭﻳﺂ ﺍﻗﻄﺐ ﻭﻳﺂ ﺍﻧﺠﺐ ﻭﻳﺎﺳﺎﺩﺍﺕ ﻳﺂ ﺍﺣﺒﺎﺏ
ﻭﺃﻧﺘﻢ ﻳﺂ ﺃﻭﻟﻰ ﺍﻷﻟﺒﺎﺏ ﺗﻌﺎﻟﻮﺍ ﻭﺍﻧﺼﺮﻭﺍ ﻟﻠﻪ

Wahai kakasih Pangeran.. anu unggul kacintaan
Nu sampurna pamikiran.. kami geura tarulungan

ﺳﺄﻟﻨﺎﻛﻢ ﺳﺄﻟﻨﺎﻛﻢ ﻭﻟﻠﺰﻟﻔﻰ ﺭﺟﻮﻧﺎﻛﻢ
ﻭﻓﻲ ﺍﻣﺮ ﻗﺼﺪﻧﺎﻛﻢ ﻓﺸﺪﻭﺍ ﻋﺰﻣﻜﻢ ﻟﻠﻪ

Kami neda ka aranjeun.. hayang reujeung dibarengkeun
Kasulitan mangmuntangkeun.. maksud pageuh wayahnakeun

ﻓﻴﺎﺭﺑﻲ ﺑﺴﺎﺩﺍﺗﻲ ﺗﺤﻘﻖ ﻟﻲ ﺇﺷﺎﺭﺍﺗﻲ
ﻋﺴﻰ ﺗﺄﺗﻲ ﺑﺴﺎﺭﺍﺗﻲ ﻭﻳﺼﻔﻮ ﻭﻗﺘﻨﺎ ﻟﻠﻪ

Hai Gusti, ku Wali Gusti.. paparin ti Gusti pasti
Kabungahan pasti bukti.. murni waktuna ku Gusti

ﺑﻜﺸﻒ ﺍﻟﺤﺠﺐ ﻋﻦ ﻋﻴﻦ ﻭﺭﻓﻊ ﺍﻟﺒﻴﻦ ﻣﻦ ﺑﻴﻦ
ﻭﻃﻤﺲ ﺍﻟﻜﻴﻒ ﻭﺍﻷﻳﻦ ﺑﻨﻮﺭﺍﻟﻮﺟﻪ ﻳﺂ ﺍﻟﻠﻪ

Kalayan leungit rintangan.. jeung kabeh nu ngahalangan
Mugi ilang kamang-mangan.. ku cahya rohmat Pangeran

ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻮﻻﻧﺎ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺑﺎﺍﻟﻬﺪﻯ ﺟﺎﻧﺎ
ﻭﻣﻦ ﺑﺎﻟﺤﻖ ﺍﻭﻻﻧﺎ ﺷﻔﻴﻊ ﺍﻟﺨﻠﻖ ﻋﻨﺪﺍﻟﻠﻪ

Mugi rohmat Allah tiba.. ka Nabi mawa agama
Nungtun ka sadayana.. nu gaduh syafa'at ùdzhma

Rabu, 30 Oktober 2013

Berhijab

1. Muslimah yang berhijab belum tentu baik | namun Muslimah yang baik sudah tentu berhijab

2. karena hijab memang bukan untuk mengklaim "sudah baik" | tapi bagian dari "sebuah perbaikan" dan "ingin lebih baik"

3. hijab itu usaha perbaikan perilaku diri | lalu berharap Allah lebih memperindah hati

4. berhijab bukan berarti tidak boleh cantik dan menarik | tapi menyimpannya sampai datang suami yang berhak melirik

5. berhijab itu melatih diri untuk hanya memperhatikan anggapan Allah | dan ridha terhadap ketentuan yang Dia berikan untuk Muslimah

6. bagaimana bisa menghijab hati bila gagal menghijab diri? | hijab hati itu jauh lebih sulit maka dari yang mudah dimulai

7. bila setelah wafat saja aurat kita dijaga agar tak terlihat | apa alasan kita mengumbarnya seolah-olah itu bukan maksiat?

8. yang fana pasti ditinggalkan dan yang kekal akan sampai akhir zaman | berhijab membantu engkau bukan diingat dari badan tapi iman

Muhasabah

jangan-jangan lelah seharian tak menambah pahala | jangan-jangan semua kebaikan sudah terbakar riya #istighfar

kalau-kalau lisan yang terucap hanya berbangga diri | kalau-kalau amal ibadah tak sampai ikhlas di hati #istighfar

bila tidak karena sifat Allah yang Maha Mengampuni | tentu tiada harapan kita beroleh nikmat surgawi #istighfar

kalaulah bukan karena kemurahan dan ampunan-Nya | bagaimana mengiba dengan ibadah yang tak sempurna? #istighfar

SHIFAT KALAM ALLAH

Dalam pemahaman Ulama kita; ulama Ahlussunnah ketika dikatakan: "al-Qur'an Kalam Allah", maka dalam pemaknaannya terdapat dua pengertian;

Pertama: Al-Qur'an dalam pengertian lafazh-lafazh yang diturunkan (al-Lafzh al-Munazzal), yang ditulis dengan tinta di antara lebaran-lembaran kertas (al-Maktub Bain al-Masha-hif), yang dibaca dengan lisan (al-Maqru' Bi al-Lisan), dan dihafalkan di dalam hati (al-Mahfuzh Fi ash-Shudur). Al-Qur'an dalam pengertian ini maka tentunya ia berupa bahasa Arab, tersusun dari huruf-huruf, serta berupa suara saat dibaca.

Kedua: Al-Qur'an dalam pengertian Kalam Allah ad-Dzati. Artinya dalam pengertian salah satu sifat Allah yang wajib kita yakini, yaitu sifat al-Kalam. Sifat Kalam Allah ini, sebagaimana seluruh sifat-sifat Allah lainnya, tidak menyerupai makhluk-Nya. Sifat Kalam Allah tanpa permulaan dan tanpa penghabisan, serta tidak menyerupai sifat kalam yang ada pada makhluk. Sifat kalam pada makhluk berupa huruf-huruf, suara dan bahasa. Adapun Kalam Allah bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa.

Al-Qur'an dalam pengertian pertama (al-Lafzh al-Munazzal) maka ia adalah makhluk. Dan al-Qur'an dalam pengertian yang kedua (al-Kalam adz-Dzati) maka jelas ia bukan makhluk. Namun demikian, al-Qur'an baik dalam pengertian pertama maupun dalam pengertian kedua tetap disebut "Kalam Allah". Kita tidak boleh mengatakan secara mutlak; "al-Qur'an Makhluk", sebab pengertian al-Qur'an ada dua; dalam pengertian al-Lafzh al-Munazzal dan dalam pengertian al-Kalam adz-Dzati, sebagaimana di atas.

Al-Qur'an dalam pengertian pertama adalah sebagai ungkapan dari sifat Kalam Allah adz-Dzati. Maka al-Qur'an yang berupa kitab yang kita baca dan kita hafalkan, tersusun dari huruf-huruf, dan dalam bentuk bahasa Arab, bukan sebagai Kalam Allah al-Dzati (sifat Kalam Allah), melainkan kitab tersebut adalah ungkapan ('Ibarah) dari Kalam Allah al-Dzati yang bukan suara, bukan huruf-huruf, dan bukan bahasa.Sebagai pendekatan, apabila kita menulis lafazh "Allah" di papan tulis, maka hal itu bukan berarti bahwa "Allah" yang berupa tulisan itu Tuhan yang kita sembah. Melainkan lafazh atau tulisan "Allah" tersebut hanya sebagai ungkapan ('Ibarah) bagi adanya Tuhan yang wajib kita sembah, yang bernama "Allah". Demikian pula dengan "al-Qur'an", ia disebut "Kalam Allah" bukan dalam pengertian bahwa itulah sifat Kalam Allah; berupa huruf-huruf, dan dalam bahasa Arab. Tetapi al-Qur'an yang dalam bentuk huruf-huruf dan dalam bentuk bahasa Arab tersebut adalah sebagai ungkapan dari sifat Kalam Allah adz-Dzati.

Dengan demikian harus dibedakan antara al-Lafzh al-Munazzal dan al-Kalam adz-Dzati. Sebab apa bila tidak dibedakan antara dua perkara ini, maka setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur'an akan mendapatkan gelar "Kalimullah" sebagaimana Nabi Musa yang telah mendapat gelar "Kalimullah". Tentu hal ini menjadi rancu dan tidak dapat diterima. Padahal, Nabi Musa mendapat gelar "Kalimullah" adalah karena beliau pernah mendengar al-Kalam adz-Dzati yang bukan berupa huruf, bukan suara dan bukan bahasa. Dan seandainya setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur'an mendapat gelar "Kalimullah" seperti gelar Nabi Musa, maka berarti tidak ada keistimewaan sama sekali bagi Nabi Musa yang telah mendapatkan gelar "Kalimullah" tersebut.

Dalam al-Qur'an Allah berfirman: "Dan apa bila seseorang dari orang-orang musyrik meminta perlidungan darimu (wahai Muhammad) maka lindungilah ia hingga ia mendengar Kalam Allah". (QS. at-Taubah: 6). Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk memberikan perlidungan kepada seorang kafir musyrik yang diburu oleh kaumnya, jika memang orang musyrik ini meminta perlindungan darinya. Artinya, Orang musyrik ini diberi keamanan untuk hidup di kalangan orang-orang Islam hingga ia mendengar Kalam Allah. Setelah orang musyrik tersebut diberi keamanan dan mendengar Kalam Allah, namun ternyata ia tidak mau masuk Islam, maka ia dikembalikan ke wilayah tempat tinggalnya. Dalam ayat ini, yang dimaksud bahwa orang musyrik tersebut "mendengar Kalam Allah" adalah mendengar bacaan kitab al-Qur'an yang berupa lafazh-lafazh dalam bentuk bahasa Arab (al-Lafzh al-Munazzal), bukan dalam pengertian mendengar al-Kalam adz-Dzati. Sebab jika yang dimaksud mendengar al-Kalam adz-Dzati maka berarti sama saja antara orang musyrik tersebut dengan Nabi Musa yang telah mendapatkan gelar "Kalimullah". Dan bila demikian maka berarti orang musyrik tersebut juga mendaptkan gelar "Kalimullah", persis seperti Nabi Musa. Tentunya hal ini tidak bisa dibenarkan.

Diantara dalil lainnya yang menguatkan bahwa al-Kalam adz-Dzati bukan berupa huruf-huruf, bukan suara, dan bukan bahasa adalah firman Allah: "... dan Dia Allah yang menghisab paling cepat". (QS. al-An'am: 62). Pada hari kiamat kelak, Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dari bangsa manusia dan jin. Allah akan memperdengarkan Kalam-Nya kepada setiap orang dari mereka. Dan mereka akan memahami dari kalam Allah tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang segala apa yang telah mereka kerjakan, segala apa yang mereka katakan, dan segala apa yang mereka yakini ketika mereka hidup di dunia. Rasulullah bersabda: "Setiap orang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya kepadanya (menghisabnya) pada hari kiamat, tidak ada penterjemah antara dia dengan Allah". (HR. al-Bukhari)

Kelak di hari kiamat Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dalam waktu yang sangat singkat. Seandainya Allah menghisab mereka dengan suara, susunan huruf, dan dengan bahasa, maka Allah akan membutuhkan waktu beratus-ratus ribu tahun untuk menyelesaikan hisab tersebut, karena makhluk Allah sangat banyak. Termasuk di antara bangsa manusia adalah kaum Ya-juj dan Ma-juj, diriwayatkan dalam beberapa hadits bahwa mereka termasuk bangsa manusia dari keturunan Nabi Adam. Dalam hadits riwayat al-Bukhari disebutkan bahwa kaum terbesar yang kelak menghuni neraka adalah kaum Ya-juj dan Mu-juj ini. Tentang jumlah mereka disebutkan dalam hadits riwayat Ibn Hibban dan an-Nasa-i bahwa setiap orang dari mereka tidak akan mati kecuali setelah beranak-pinak hingga keturunannya yang ke seribu (Lihat Ibn Hibban dalam al-Ihsan Bi Tartib Shahih Ibn Hibban, j. 1, h. 192, dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra; Kitab at-Tafsir; Tafsir Surah al-Anbiya'). Artinya, jumlah mereka jauh lebih besar di banding jumlah seluruh manusia yang bukan dari kaum Ya-juj dan Ma-juj. Mereka semua hidup di tempat yang diketahui oleh Allah dari bumi ini, dan antara kita dengan mereka dipisahkan oleh semacam "tembok besar" (as-sadd) yang dibangun oleh Dzul Qarnain dahulu (lebih lengkap lihat al-Kawkab al-Ajuj Fi Ahkam al-Mala-ikat Wa al-Jinn Wa asy-Syathin Wa Ya-juj Wa Ma-juj dalam Majmu'ah Sab'ah Kutub Mufidah karya as-Sayyid Alawi ibn Ahmad as-Saqqaf). Kemudian lagi bangsa jin yang sebagian mereka hidup hingga ribuan tahun, bahkan manusia sendiri, sebelum umat Nabi Muhammad, ada yang mencapai umurnya hingga 2000 tahun, ada yang berumur hingga 1000 tahun, dan ada pula yang hanya 100 tahun. Kelak mereka semua akan dihisab dalam berbagai perkara menyangkut kehidupan mereka di dunia, tidak hanya dalam urusan perkataan atau ucapan saja, tapi juga menyangkut segala perbuatan dan keyakinan-keyakinan mereka. Seandainya Kalam Allah berupa suara, huruf, dan bahasa maka dalam menghisab semua makhluk tersebut Allah akan membutuhkan kepada waktu yang sangat panjang. Karena dalam penggunaan huruf-huruf dan bahasa jelas membutuhkan kepada waktu. Huruf berganti huruf, kemudian kata menyusul kata, dan demekian seterusnya. Dan bila demikian maka maka berarti Allah bukan sebagai Asra' al-Hasibin (Penghisab yang paling cepat), tapi sebaliknya; Abtha' al-Hasibin (Penghisab yang paling lambat). Tentunya hal ini mustahil bagi Allah.

Al-Imam al-Mutakallim Ibn al-Mu'allim al-Qurasyi dalam kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu'tadi menuliskan sebagai berikut:"Asy-Syaikh al-Imam Abu Ali al-Hasan ibn Atha' pada tahun 481 H ketika ditanya sebuah permasalahan berkata: Sesungguhnya huruf-huruf itu dalam penggunaannya saling mendahuli satu atas lainnya. Pergantian saling mandahuli antara huruf seperti ini tidak dapat diterima oleh akal jika terjadi pada Allah yang maha Qadim. Sebab pengertian bahwa Allah maha Qadim adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan, sementara pergantian huruf-huruf dan suara adalah sesuatu yang baharu (hadits) yang memiliki permulaan; tidak Qadim. Kemudian seluruh sifat-sifat Allah itu Qadim; tanpa permulaan, termasuk sifat Kalam-Nya. Seandainya Kalam Allah tersebut berupa huruf-huruf dan suara maka berarti pada kalam-Nya tersebut terjadi pergantian antara satu huruf dengan lainnya, antara satu suara dengan suara lainnya, dan bila demikian maka Dia akan disebukan oleh perkara tersebut. Padahal Allah tidak disibukan oleh satu perkara atas perkara yang lain. Di hari kiamat Allah akan menghisab seluruh makhluk dalam hanya sesaat saja. Artinya, dalam waktu yang sangat singkat seluruh makhluk-makhluk tersebut akan memahami Kalam Allah dalam menghisab mereka. Seandainya Kalam Allah berupa huruf dan bahasa maka berarti sebelum selesai menghisab: "Wahai Ibrahim..."; Allah tidak mampu untuk menghisab: "Wahai Muhammad...". Bila kejadian hisab seluruh makhluk seperti ini maka seluruh makhluk tersebut akan terkurung dalam waktu yang sangat panjang menunggu selesai hisab satu orang demi satu orang. Tentunya perkara ini adalah mustahil bagi Allah".

Makna Firman Allah: "Kun Fayakun" (QS. Yasin: 82)

Dalam al-Qur'an Allah berfirman: "Inama Amruhu Idza Arada Sya'ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun" (QS. Yasin: 82). Makna ayat ini bukan berarti bahwa setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka dia berkata: "Kun", dengan huruf "Kaf" dan "Nun" yang artinya "Jadilah...!". Karena seandainya setiap berkehendak menciptakan sesuatu Allah harus berkata "Kun", maka dalam setiap saat perbuatan-Nya tidak ada yang lain kecuali hanya berkata-kata: "kun, kun, kun...". Hal ini tentu mustahil atas Allah. Karena sesungguhnya dalam waktu yang sesaat saja bagi kita, Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlanya. Deburan ombak di lautan, rontoknya dedaunan, tetesan air hujan, tumbuhnya tunas-tunas, kelahiran bayi manusia, kelahiran anak hewan dari induknya, letusan gunung, sakitnya manusia dan kematiannya, serta berbagai peristiwa lainnya, semua itu adalah hal-hal yang telah dikehendaki Allah dan merupakan ciptaan-Nya. Semua perkara tersebut bagi kita terjadi dalam hitungan yang sangat singkat, bisa terjadi secara beruntun bahkan bersamaan.

Adapun sifat perbuatan Allah sendiri (Shifat al-Fi'il) tidak terikat oleh waktu. Allah menciptakan segala sesuatu, sifat perbuatan-Nya atau sifat menciptakan-Nya tersebut tidak boleh dikatakan "di masa lampau", "di masa sekarang", atau "di masa mendatang". Sebab perbuatan Allah itu azali, tidak seperti perbuatan makhluk yang baharu. Perbuatan Allah tidak terikat oleh waktu, dan tidak dengan mempergunakan alat-alat. Benar, segala kejadian yang terjadi pada alam ini semuanya baharu, semuanya diciptakan oleh Allah, namun sifat perbuatan Allah atau sifat menciptakan Allah (Shifat al-Fi'il) tidak boleh dikatakan baharu.

Kemudian dari pada itu, kata "Kun" adalah bahasa Arab yang merupakan ciptaan Allah (al-Makhluk). Sedangkan Allah adalah Pencipta (Khaliq) bagi segala bahasa. Maka bagaimana mungkin Allah sebagai al-Khaliq membutuhkan kepada ciptaan-Nya sendiri (al-Makhluq)?! Seandainya Kalam Allah merupakan bahasa, tersusun dari huruf-huruf, dan merupakan suara, maka berarti sebelum Allah menciptakan bahasa Dia diam; tidak memiliki sifat Kalam, dan Allah baru memiliki sifat Kalam setelah Dia menciptakan bahasa-bahasa tersebut. Bila seperti ini maka berarti Allah baharu, persis seperti makhluk-Nya, karena Dia berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Tentu hal seperti ini mustahil atas Allah.

Dengan demikian makna yang benar dari ayat dalam QS. Yasin: 82 diatas adalah sebagai ungkapan bahwa Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa ada penundaan sedikitpun dari waktu yang Ia kehendakinya.

Selasa, 29 Oktober 2013

Cintaku Seperti ilmu Tajwid

Saat pertama kali berjumpa denganmu, aku bagaikan berjumpa dengan saktah.. hanya bisa terpana dengan menahan nafas sebentar...

Aku di matamu mungkin bagaikan nun mati di antara idgham billaghunnah.. terlihat tapi dianggap tak ada..

Aku ungkapkan maksud dan tujuan perasaanku seperti Idzhar.. jelas dan terang...

Jika mim mati bertemu ba disebut ikhfa syafawy.. maka jika aku bertemu dirimu, itu disebut cinta..

Sejenak pandangan kita bertemu, lalu tiba-tiba semua itu seperti Idgham mutamaatsilain.. melebur jadi satu...

Cintaku padamu seperti Mad Wajib Muttasil... paling panjang di antara yang lainnya...

Setelah kau terima cintaku nanti, hatiku rasanya seperti Qolqolah kubro... terpantul-pantul dengan keras...

Dan akhirnya setelah lama kita bersama, cinta kita seperti Iqlab.. ditandai dengan dua hati yang menyatu...

Sayangku padamu seperti mad thobi'i dalam quran... buanyaaakkk beneerrrrr....

semoga dalam hubungan kita ini kayak idgham bila ghunnah ya.. cuma berdua, lam dan ro'...

Layaknya waqaf mu'annaqoh... engkau hanya boleh berhenti di salah satunya, dia atau aku?

Meski perhatianku ga terlihat kayak alif lam syamsiah... cintaku pdmu seperti alif lam Qomariah, terbaca jelas...

Kau & aku seperti Idghom Mutaqooribain... perjumpaan 2 huruf yang sama makhrojnya tapi berlainan sifatnya...

Aku harap cinta kita seperti waqaf lazim... terhenti sempurna diakhir hayat...

Sama halnya dgn Mad 'aridh.. dimana tiap mad bertemu lin sukun aridh akan berhenti, seperti itulah pandanganku ketika melihatmu...

Layaknya huruf Tafkhim.. Namamu pun bercetak tebal di fikiranku..

Seperti Hukum Imalah yang dikhususkan untuk Ro' saja.. begitu juga aku yang hanya untukmu..

Semoga aku jadi yang terakhir untuk kamu.. seperti mad aridh lissukun...

Senin, 28 Oktober 2013

Membangun Makam

Tercatat dalam kitab Ibanah al-Ahkam syarah Bulugh al-Maram juz 2 halaman 194 berikut:
Rasulallah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulallah melarang mengkapur kuburan, duduk di atasnya dan membangung bangunan di atasnya.”

Dalam menafsiri hadits pelarangan membangun bangunan di atas kuburan tersebut, para ulama madzhab berbeda pendapat.

1.Menurut asy-Syafi’i dan para pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikut madzhab Ahmad bin Hanbal (dalam satu pendapat kuat), bahwa pelarangan membangun kuburan yang di maksud adalah makruh jika dibangun di atas kuburan milik pribadi (bukan wakaf atau musabbal). Dan jika bangunan tersebut dibangun di atas pekuburan musabbal (tempat yang sudah menjadi kebiasaan daerah setempat dibuat untuk mengubur mayit) atau kuburan wakaf, maka hukumnya haram dan wajib dirobohkan.

2.Sedangkan menurut ulama Malikiyyah, makruh hukumnya membangun bangunan di atas kuburan tanah bebas (tidak ada pemilik), atau milik seseorang tapi dengan izin atau di bumi mati (mawat) bila tidak kerena sombong. Dan hukumnya haram jika dibangun di atas kuburan tanah tidak bebas seperti tanah wakaf atau membangun karena sombong.

Keharaman membangun bangunan di atas kuburan wakaf atau musabbal, baik kubah atau yang lain, adalah jika tidak ada kekhawatiran dibongkar orang. Jika ada kekhawatiran, maka membangun bangunan tersebut hukumnya boleh.
Jika bangunan makam, baik kubah atau yang lain, sudah ada sedari dulu tanpa diketahui apakah dulunya dibangun dengan benar, artinya dibangun di atas tanah yang bukan wakaf atau musabbal atau dibangun dengan tidak benar seperti di bangun di atas tanah wakaf atau musabbal, maka bangunan kuburan tersebut tidak boleh dirobohkan karena kita tidak yakin jika bangunan tersebut adalah maksiyat. Dan ketetapan hukum ini yang seyogyanya di buat pijakan untuk menyikapi kubah-kubah makam wali-wali di tanah jawa.

Menurut sebagian ulama Syafi’iyyah, membangun kuburan nabi, wali dan orang-orang saleh di atas kuburan musabbal atau wakaf diperbolehkan.
Sedangkan pendapat yang laen mengatakan haram mutlak tanpa terkecuali, artinya baik nabi, wali atau orang biasa hukumnya sama.

Kemudian hukum makruh membangun bangunan di atas tanah pribadi seperti keterangan di atas adalah jika mayit yang dikubur tersebut bukan seorang Nabi, wali atau orang shaleh. Jika mayit yang dikubur adalah seorang Nabi, wali atau orang saleh, maka membangun bangunan di atasnya adalah termasuk qurbah (sesuatu yang di nilai ibadah). Sebab, dapat menghidupkan makam untuk diziarahi dan untuk tabarruk (mendapatkan berkah) sebagaimana dikatakan oleh Zakariyya al-Anshari dan ulama-ulama lain.

Dalam kitab Asna al-Mathalib bab washiyat disebutkan:
)وَتَصِحُّ ) مِنْ مُسْلِمٍ وَكَافِرٍ ( بِعِمَارَةِ الْمَسَاجِدِ ) لِمَا فِيهَا مِنْ إقَامَةِ الشَّعَائِرِ ( وَقُبُورِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِينَ ) لِمَا فِيهَا مِنْ إحْيَاءِ الزِّيَارَةِ وَالتَّبَرُّكِ بِهَا . قَالَ صَاحِبُ الذَّخَائِر : وَلَعَلَّ الْمُرَادَ أَنْ يُبْنَى عَلَى قُبُورِهِمْ الْقِبَابُ وَالْقَنَاطِرُ كَمَا يُفْعَلُ فِي الْمَشَاهِدِ إذَا كَانَ فِي الدَّفْنِ فِي مَوَاضِعَ مَمْلُوكَةٍ لَهُمْ أَوْ لِمَنْ دَفَنَهُمْ فِيهَا لاَ بِنَاءُ الْقُبُورِ نَفْسِهَا لِلنَّهْيِ عَنْهُ وَلاَ فِعْلُهُ فِي الْمَقَابِرِ الْمُسَبَّلَةِ فَإِنَّ فِيهِ تَضْيِيقًا عَلَى الْمُسْلِمِينَ .

“Sah wasiyat membangun masjid baik dari orang muslim atau kafir karena termasuk dari bagian untuk menjunjung syiar-syiar Islam. Termasuk juga makam para nabi, wali dan orang-orang shalih karena termasuk menghidupkan ziarah dan tabarruk di kuburan tersebut. Pengarang kitab Dzakha’ir berkomentar: ‘Mungkin maksudnya boleh membangun kubah, bangunan tinggi seperti yang dilakukan di tempat-tempat terhormat dan bersejarah itu baik adalah jika mayit dikuburkan di tanah milik pribadi dan bukan kuburan musabbal. Sebab, hal tersebut dapat menjadikan sempit bagi muslim yang akan dimakamkan di situ.”

Sedangkan menanggapi hadits riwayat Muslim yang sering juga dibuat dalil oleh pengikut faham yg mengharamkan mutlak membangun bangunan di atas kuburan, yaitu hadits berikut:

لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat orang Yahudi dan Nashrani yang membuat masjid di kuburan-kuburan para nabinya.”

Al-Allamah Abdurrauf Al-Munawi menguraikan bahwa hadits di atas berbicara tentang perilaku orang Yahudi dan Nashrani yang membuat makam para nabinya sebagai arah kiblat dengan iktikad yang bathil. Mereka juga bersujud di kuburan para nabi tersebut karena ta‘zhim (mengagungkan), menghadapkan shalat mereka ke arah makam tersebut dan membuat berhala-berhala yang menjadi sebab Allah melaknat mereka. Dan hal inilah yang dilarang oleh Allah kepada kaum muslim untuk mengikuti perilaku mereka.

Adapun membangun masjid di samping makam orang shalih atau shalat di kuburan dengan tujuan pahalanya disampaikan kepada mayit yang dikubur di makam tersebut dengan tidak ada niat mengagungkan tempat tersebut atau shalat menghadap makam-makam tersebut maka itu tidak ada dosa baginya. Bukankah makam Nabiyullah Isma’il berada di Hathim (tembok Ka’bah) di dalam Masjidil Haram? ( Faidh al-Qadir juz 4 hlm. 591 (hadits no. 5995).)
------------------------------------------------------------------------------------
Rujukan:
Hasyiyah asy-Syarwani juz 3 hlm. 216.
Ibid juz 3 hlm. 217.
Hasyiyah al-Bajuri juz 1 hlm. 257.
Hasyiyah asy-Syarwani juz 3 hlm. 216.
Tarikh al-Hawadits hlm 54. —

Maksud Menjadikan Kuburan Sebagai Mesjid

Di antara hujjah wahabi dalam mensyirikan dan mengharamkan pembutan masjid dekat quburan orang orang shalih adalah hadis Daripada aisyah r.a "Laknat Allah kepada orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan Nabi mereka sebagai masjid" (Riwayat bukhari dan muslim)

Memang Betul, hadis itu sohih...Tapi bagaimana maksud hadis itu... Orang-orang orientalis pun pandai membaca dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, tetapi salah faham dan memahaminya dengan salah, lalu menolak umat Islam dengan dalil-dalil tersebut. Perbuatan itu juga terlaknat dalam Islam.

Persoalan pertama,  banyak mereka yang salah faham atau buruk sangka. Buruk sangka itu dosanya amat besar. bahkan, fitnah itu lebih besar dari membunuh, dari sudut kemudarathannya, dan semoga Allah s.w.t. memberi hidayah kepada mereka

Adapun hukum ziarah kubur, itu jelas dibolehkan dalam Islam, kecuali sebagian golongan ghulluw dari kalangan Wahhabi yang mengharamkan ziarah kubur karena buruk sangka terhadap sesama muslim. Hal ini sama seperti mengharamkan apa yang halal dalam Islam, sama seperti para rahib Yahudi yang mengharamkan apa yang halal dalam syariat yang diturunkan oleh Allah s.w.t. kepada mereka.

Kita jelaskan makna hadis itu, SUPAYA memberi pemahaman bagi orang-orang yang jahil dan ingin belajar. Adapun terhadap orang yang jahil tetapi tidak mau belajar, melainkan  ta'asub dan sebagainya, maka hanya Allah s.w.t.-lah yang Maha Memberi Hidayah.
Pertama: Hadis ini menerangkan tentang laknat Allah s.w.t. terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani yang "menyembah" para Nabi mereka, bukan larangan membanguun tempat ibadah di sekitar kuburan para Nabi a.s.. 
Kedua: Kalau benar orang-orang Yahudi dan Nasrani membangun tempat ibadah (lafazd hadis, masjid) di atas kuburan para nabi a.s., maka dimanakah tempat-tempat ibadah tersebut sekarang ?

Adapun kaum Yahudi, Allah s.w.t. menceritakan kejahatan mereka dengan membunuh para Nabi a.s.. Jadi secara umum mereka yang membunuh para Nabi a.s., tak akan mau membangun masjid-masjid atau tempat ibadah (menurut terjemahan wahabi) di atas kuburan mereka?

Adapun perihal kaum Nasrani, mereka hanya mempunyai satu Nabi yang menjadi panutan mereka, dan membedakan mereka dengan Muslim dan Yahudi, iaitu Nabi Isa a.s.. Persoalannya, dimanakah kubur Nabi Isa a.s.? Dimanakah masjid yang mereka bangun di atas kuburan Nabi Isa a.s. tersebut?

Jelaslah bahwa, hadis ini tidak berkaitan dengan kuburan para Nabi a.s. itu sendiri, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak pernah membangun tempat ibadah (lafaz hadis: masjid) di atas kubur para Nabi mereka, karena nabi orang-orang Nasrani sendiri tidak mempunyai kubur (iaitu Nabi Isa a.s). Adakah gereja-gereja dibangun atas kubur Nabi Isa a.s.?

Jadi, secara jelas, hadis ini tidak menceritakan tentang kubur itu secara fizikal, dan tidak pula menceritakan tentang perihal membangun tempat ibadah di kawasan kubur. Hanya orang-orang jahil saja yang memahami hadis tersebut dengan terjemahan textual..

Lebih jelas lagi, dalam hadis tersebut, Rasulullah s.a.w. menggunakan perkataan: "membangun masjid". Secara jelas, orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak pernah menamakan tempat ibadah mereka sebagai masjid.  dalam Al-Qur'an  di sebutkan bahwa tempat ibadah yahudi dan nasrani  iaitu "sowa'iq" dan sebagainya. Tempat ibadah Orang-orang Nasrani bukan masjid, tetapi kanisah (gereja). Hanya orang-orang jahil saja yang tidak faham isyarat Rasulullah s.a.w. dalam hadis tersebut, lalu cepat melatah.

Jadi, Rasulullah s.a.w. tidak pernah merujuk perkataan "masjid" dalam hadis tersebut sebagai tempat ibadah (di atas wazan isim makan) tetapi menceritakan tentang hal pengabdian orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap Nabi-nabi mereka, walaupun tanpa membangun tempat ibadah di atas kuburan mereka.

Orang-orang Yahudi menyembah Uzair (dikatakan sebagai anak Tuhan) dan Nasrani menyembah Nabi Isa a.s. yang dikatakan sebagai anak Tuhan juga. Tetapi, mereka tidak pernah membangun tempat ibadah di atas kubur-kubur para Nabi a.s. tersebut. Bahkan, mereka (Yahudi dan Nasrani) juga tidak pernah membangun mesjid masjid seperti lafaz asal dalam hadis tersebut.

Jadi, Hadis ini tidak menceritakan tentang membangun tempat ibadah di kawasan kubur, tetapi menceritakan tentang penyembahan orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap para nabi mereka, walaupun tanpa kuburan.  Itu "point" pertama untuk hadis di atas yang mana tidak ada kaitan dengan membangun mesjid dekat qubur
===========================================
Untuk lebih jelasnya kita lihat fatwa ulama yang ada kaitannya dengan hadis di atas;

1. SHOLAT DI DALAM tanah PEKUBURAN
Al qobru adalah tempat dimana manusia dikebumikan sedangkan Al makbaroh berarti pekuburan. Alqobru maupun Al makbaroh adalah tempat yang dimuliakan berdasarkan syariat dikarenakan memuliakan mayyit yang di dalamnya. Oleh karena itu para fuqoha sepakat bahwa menginjak kuburan itu hukumnya makruh sesuai dengan hadist riwayat At tirmidzi juz 1 halaman 123 dan imam At thobroni di kitab Al Ausath halaman 153 Artinya : bahwasannya nabi saw melarang untuk menginjak kuburan . Namun ulama madzhab Malikiyah mengkhususkan kemakruhan tersebut atas kuburan yang menonjol (tidak rata dengan tanah) sebagaiman para ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah mengecualikan (hilangannya kemakruhan) bila menginjak kuburan dikarenakan ada keperluan misalkan bila seseorang tidak bisa mencapai kuburan tertentu kecuali dengan manginjak kuburan yang lain.

Adapun hukum sholat dikuburan maka para ulama madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa sholat tersebut dihukumi dengan makruh sesuai dengan pendapat imam Sufyan Atsauri,imam Al Auza’ie dikarenakan pekuburan adalah tempat terduaganya berbagai najis (madzon An najasah) dan juga menyerupai perbuatan orang yahudi. Maka kemakruhan tersebut akan hilang dan menjadi mubah bila di pekuburan tersebut terdapat tempat yang disediakan untuk sholat sehingga tidak ada najis disana dan bersih dari kotoran.

Para ulama Malikiyah berpendapat dibolehkan untuk melakukan sholat di pekuburan baik pekuburan yang ramai/dipakai maupun yang tidak terpakai (sudah usang) sudah tergali maupun tidak,pekuburan muslim maupun non muslim.

Para ulama madzhab Syafi’iyah memberi perincian (tafsil) sabagai berikut:
1. Tidak sah sholat di pekuburan yang tanahnya tergali dengan tanpa khilaf (sepakat) dikarenakan tanah galian tersebut menjadi mutanajjis bercampur dengan nanah orang-orang yang telah mati. Tidak sah tersebut apabila ia tidak menggelar hamparan di bawahnya,adapun apabila ia menggelar hamparan di bawahnya (tikar dan sebagainya) maka menjadi makruh.
2. Namun bila pekuburan tersebut tidak tahaqquq (nyata,jelas) tidak tergali sehingga aman dari najis maka sholatnya sah dengan tanpa khilaf dikarenakan kesucian tempat yang muttasil dengannya. Namun tetap dihukumi makruh tanzih dikarenakan pekuburan adalah tempat timbunan dari najasah.
3. Bila diragukan apakah kuburan tersebut tergali apa tidak?maka ada dua qoul (pendapat) yang paling shohih adalah sholat tersebut sah disertai makruh karena yang ashal adalah kesucian tanah tersebut sehingga tidak bisa dihukumi najis yang disebabkan keraguan. Sedangkan qoul yang menjadi muqobilnya adalah sholat tersebut tidak sah dikarenakan sesuai dengan kaidah: yang ashal adalah ketetapan kefardluan atas dzimmahnya sedangkan dia ragu-ragu dalam pengguguran kefardluan sholat itu padahal kefardluan tidak bisa menjadi gugur disebabkan keraguan.

Para ulama madzhab Hanbaliyah sholat di pekuburan itu hukumnya tidak sah baik pekuburan yang sudah lama maupun yang masih baru,sering digali maupun tidak. Namun demikian tidak boleh dilarang melakukan sholat di tempat yang terdapat satu sampai dua buah kuburan dikarenakan tidak dinamakan pekuburan karena yang dimaksud Al makbaroh adalah nama bagi pekuburan yang mencakup tiga buah kuburan atau lebih. Mereka (Hanabilah) meriwayatkan bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam kategori Al makbaroh maka sekalilingnya tidak bisa dipakai untuk tempat sholat. Mereka menyatakan bahwa: BOLEH MELAKUKAN SHOLAT dirumah atau bangunan yang dikubur dirumah tersebut tiga buah kuburan atau lebih sebab yang demikian TIDAK BISA DINAMAKAN AL MAKBAROH (PEKUBURAN). Inilah pernyataan para fuqoha (ulama ahli fiqih) tentang masalah SHOLAT DI PEKUBURAN. Mereka tidak menyinggung-nyinggung masalah sholat DI MASJID YANG ADA KUBURAN DI SAMPINGNYA.

2. SHOLAT DI MASJID YANG ADA KUBURAN DI DALAMNYA

Ada pun melakukan sholat di masjid yang di dalamnya terdapat seorang nabi AS atau orang-orang yang saleh maka sholat tersebut dipandang shah dan legal menurut syari’at bahkan terkadang mencapai derajat kesunnahan. Hal ini berkenaan dengan berbagai dalil dari Al qur’an,As sunnah,perbuatan para sohabat dan IJMA’ FI’LI dari kalangan umat islam.

* SUMBER DARI AL QUR’AN
Dalil yang diambil dari Al qur’an tersebut terdapat dalam firman Allah SWT surat Al kahfi ayat 21: Artinya: maka mareka berkata segolongan diantara penduduk kota :Dirikanlah bangunan dimuka pintu gua”. Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka berkatalah orang yang dapat mengalahkan golongan pertama Demi Allah kami akan menjadikan di atas tempat mereka sebuah masjid (untuk mendapatkan berkah mereka).(Terjemah Al qur’an Al bayan oleh prof.TM Hasby As shiddiqi).

Wajah istidlal dari ayat ini adalah bahwa ayat tersebut memberi isyarat tentang kisah Ashabul kahfi ketika orang-orang menemukan gua pembaringan mereka sehingga orang-orang ada yang mengatakan kita buat bangunan ada juga yang mengatakan sungguh akan kami jadikan tempat ini sebagai masjid untuk mengenang dan mencari keberkahan dari mereka.
- Siyaq (konotasi) dari ayat tersebut menunjukkan bahwa ucapan yang pertama adalah ucapan orang-orang musyrikin sedangkan ucapan yang kedua adalah ucapan orang-orang yang bertauhid (muwahhidin). Namun ayat tadi mencampakkan kedua perkataan dengan tanpa pengingkaran. kalau saja ada hal yang bathil maka tentu yang pantas dan sesuai adalah ayat tersebut memberi tanda atau isyarat dengan sebuah qorinah.
Adapun penetapan kedua macam ucapan dari kedua ayat tersebut itu menunjukkkan bahwa adanya keberlangsungan syari’at bagi kedua glongan tersebut,yakni sayri’at musyrikin dan sayri’at muwahhidin. Namun kita perhatikan bahwa statemen ayat menyebutkan ucapan-ucapan muwahhidin dengan sebuah siyaq (konotasi bahasa) yang memberikan faidah pujian
dengan indikasi diperbandingkannya dengan ucapan orang-orang musyrik yang berkonotasi keraguan, sedangkan ucapan Al muwahhidin berkonotasi kepastian (menggunakan la ibtida’ dan nun taukid: LANATAKHIDZANNA ) sebagai pancran dari pandangan keimanan,yakni mereka bukan sekedar hanya mau mendirikan bangunan namun mereka akan mendirikan masjid tempat beribadah dan menyembah Allah SWT. Ucapan semacam ini bahwa mereka adalah kaum atau kelompok yang mengenal Allah SWT dan mengetahui cara beribadah dan melakukan sholat:

Imam Al Razi dalam tafsirnya mengatakan:…..Artinya kami menyembah Allah dan beribadah kepadanya dan kami membangun masjid ini untuk mengenang petilasan Ashabul kahfi.(tafsir Al Razi juz 11 halaman 106 daar el- fikr).

* Al imam As syaukani berkata: dalam ayat tersebut memberi isyarat bahwa penyebutan mereka menjadikan masjid menunjukkan ucapan atau perkataan orang-orang muslim dari glongan yang dapat mengalahkan golongan pertama. Ada pula yang mengatakan mereka itu adalah kerabat penguasa dan para pejabat dikarenakan mereka mengalahkan pendapat dari
selain mereka. Namun pendapat yang pertama itulah yang lebih tepat (tafsir fath Al qodir juz 2 halaman 277).

Dan juga pendapat ahli tafsir lain lihat:

  فقد روى ابن أبي حاتم في تفسيره عن السدي فقال الملك : لأتخذن عند هؤلاء القوم الصالحين مسجدا فلأعبدن الله حتى أموت فذلك قوله ( قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَّسْجِدًا ) ( تفسير ابن أبي حاتم - ج7 ص2353) .

وقال الطبري في تفسيره : " وقد اختلف في قائلي هذه المقالة أهم الرهط المسلمون أم هم الكفار ؟ وقد ذكرنا بعض ذلك فيما مضى … " ثم نقل قول عبد الله بن عبيد بن عمرو : " عمّي الله على الذين أعثرهم على أصحاب الكهف مكانهم فلم يهتدوا فقال المشركون : نبني عليهم بنيانا فإنهم آباء أبنائنا ونعبد الله فيها ، وقال المسلمون : بل نحن أحق بهم هم منا نبني عليهم مسجدا نصلي فيه ونعبد الله فيه " ( تفسير الطبري - ج9 ص281)

..وقال الواحدي في ( الوسيط ) : " ( قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ ) وهم المؤمنون الذين لم يشكوا في البعث الملك وأصحابه ( لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَّسْجِدًا ) " ( الوسيط - ج3 ص141 ) .

.وقال ابن الجوزي في ( زاد المسير ) : " قوله تعالى : ( قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ ) قال ابن قتيبة : يعني المطاعين والرؤساء قال المفسرون : هم الملك وأصحابه المؤمنون اتخذوا عليهم مسجدا " ( زاد المسير - ج5 ص91) .

  وقال البغوي في تفسيره : " ( إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ ) قال ابن عباس : يتنازعون في البنيان ، فقال المسلمون : نبني عليهم مسجدا يصلى فيه الناس لأنهم على ديننا ، وقال المشركون : نبني عليهم بنيانا لأنهم من أهل ديننا " ( تفسير البغوي - ج3 ص129 ) .

وقال الشوكاني في ( فتح القدير
( قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَّسْجِدًا ) ذكر اتخاذ المسجد يشعر بأن هؤلاء الذين غلبوا على أمرهم هم المسلمون ، وقيل هم أهل السلطان والملك من القوم المذكورين فإنهم الذين غلبوا على أمر من عداهم ، والأول أولى قال الزجاج : هذا يدل على أنه لما ظهر أمرهم غلب المؤمنون بالبعث والنشور لأن المساجد للمؤمنين " ( فتح القدير - ج3 ص329)

SUMBER DARI AS SUNNAH

Sumber dari As sunnah yaitu hadits Abu busheir r.a yang di riwayatkan oleh Al hafidz Abdurrozaq:bahwa Abu busheir membelot dari tangan orang-orang musyrik setelah Suluh Al hudaybiah,kemudian dia berangkat menuju Saif Al bahr dan Abu jandal ibn Suheil menyusulnya kemudian sehingga orang-orang berbondong- bondong menyusul mereka berdua sampai berjumlah 300 orang. Abu busheir lah yang mengimami sholat mereka beliau pernah mengatakan : Allah adalah dzat yang maha luhur dan maha agung # barang siapa membela Allah maka ia akan ditolong Maka ketika Abu jandal menyusul Abu busheir,Abu jandal lah yang mengimami kaum tersebut Diceritakan apabila rombongan kafir quraisy melintasi meraka pastilah mereka menyandra dan membunuh mereka. Pada akhirnya kafir quraisy mengutus delegasi ke nabi SAW memohon perdamaian dan hubungan persahabatan mereka menyatakan siapapun dari kaum Abi busheir yang tunduk kepada nabi SAW (berkaitan dengan perdamaian Al hudaibiyah) maka dia aman dan dilindungi. Kemudian nabi SAW manulis sepucuk surat untuk Abi jandal dan Abi busheir supaya mendatangi beliau beserta orang-orang islam anak buah mereka berdua. Ketika surat nabi SAW sampai kepada Abi jandal Abu busheir pun meninggal dunia dalam keadaan membaca dan surat dari nabi SAW itu berada di genggangaman tangannya MAKA KEMUDIAN ABU JANDAL MENGUBURKANNYA DAN MEMBANGUN MASJID DIATAS KUBURANNYA. (Riwayat Ibnu Abdil bar di kitab Al isti’ab juz 4 halaman 1614,Ar roudhul Al unf juz 4 halaman 59,Ibnu Sa’ad di kitab At tobakot Al kubro juz 4 halaman 134,As siroh Al halabiyah juz 2 halaman 270,Musa ibn Uqbah di kitab Al maghozi,Ibnu Ishaq di kitab As siroh).(Imam Malik ibn Anas mengatakan hendaklah kalian berpegangan kepada kitab Al maghozi seorang laki-laki yang saleh yaitu Musa ibn Uqbah karena kitab tersebut adalah kitab yang paling shohih diantara kitab Maghozi yang lainnya,Yahya ibn Ma’in berkata kitab Musa ibn Uqbah adalah kitab yang paling shohih).

Adapun perbuatan para shohabat r.a sangat jelas kita dapati ketika merekabersikap atas kejadian penguburan rasulillah SAW dan perbedaan pendapat mereka,yakni apa yang diriwayatkan imam Malik ibn Anas r.a beliau berkata: orang-orang berkata sebaiknya nabi di kubur di samping MIMBAR,sedangkan yang lain berkata di kubur di BAQI saja,tiba-tiba Sayyidina Abu bakar As siddiqh datang dan seraya berkata: aku mendengar nabi SAW bersabda tidak di kubur seorang nabi melainkan ditempat dimana ia meninggal ……pada akihrnya nabi pun di kebumikan di tempat itu (Kamar aisyah r.ha). (kitab Al muatto’ juz 1 haaman 231).

Wajah istidlal dari hadits di atas adalah:

1. bahwa para shohabat Nabi SAW mengusulkan bahwa hendaknya Nabi SAW di kebumikan di samping mimbar dimana mimbar tersebut bagian dari dalam masjid nabawi,dan usulan ini tidak diingkari oleh serang shohabat pun.

2.Sayyidina Abu bakar r.a tidak menyetujui usulan ini BUKAN KARENA KEHARAMAN MENGUBUR NABI SAW DI DALAM MASJID,namun karena beliau menyesuaikan sendiri dengan perintah Nabi SAW untuk di kebumikannya ditempat dimana beliau meninggal.

Kalau kita pikirkan tentang pemakaman Nabi SAW di tempat itu di mana tempat tersebut bersambung langsung dan berhubungan langsung dengan masjid yang digunakan untuk sholat begitu pula tidak jauh dengan kejadian mendirikan masjid disamping ruangan yang terdapat kuburan orang-orang solih atau para aulia di zaman kita sekarang ini,yang berarti kuburan tersebut nyambung dengan masjid sedangkan orang-orang melakukan sholat di pelataran/ruangan di luar ruangan makam tersebut.

Memang ada yang menentang pendapat ini,si penentang tersebut mengatakan bahwa: hal ini khusus bagi Nabi SAW. Padahal itu tidak benar sebab khususiah bagi nabi SAW membutuhkan dalil yang menyatakan khususiah,maka hukum pun berlaku sesuai dengan asalnya yakni hukum sesuai dengan asal yang menyeluruh bagi siapapun selagi tidak ada dalil yang menyatakan khususiah.

Sehingga jelaslah bahwa pendapat yang menyatakan hal tersebut adalah khususiah bagi Nabi SAW itu pendapat yang BATHIL…!. Apalagi di samping nabi dikubur juga dua orang sahabatnya yang terkemuka yaitu Sayyidina Abu bakar r.a dan Sayyidina Umar ibn Khottob r.a. Apakah itu khususiah juga?? sedangkan kita pun tahu bahwa siti Aisyah r.ha selalu melakukan sholat baik sholat fardhu maupun sholat sunnah di kamar tersebut…..bukan kah ini perbuatan shohabat yang disepakati/diijma’ atas kebolehannya….???

SUMBER DARI IJMA’ FI’LY (KONSENSUS)

Hal ini adalah termasuk perkara yang telah disepakati akan keboehan melakukan sholat baik oleh kalangan salaf maupun kholaf bahwa kaum muslimin melakukan sholat di masjid Nabi SAW maupun di masjid-masjid yang terdapat kuburan-kuburan para sholihin dengan TANPA DIINGKARI. Begitu juga iqror para ulama yang tujuh orang di madinah yang telah sepakat untuk memasukkan Al hujroh As syarifah (kamar yang mulia) kedalam masjid nabawi,dimana di dalamnya terdapat tiga buah kuburan. Para fuqoha As sab’ah (tujuh ahli fiqih kalangan tabi’in) tidak ada yang menentang hal ini kecuali IMAM SA’ID IBNUL MUSAYYIB. Beliau menentang bukannya memadang keharaman melakukan sholat di masjid itu dikarenakan ada kuburan akan tetapi dikarenakan beliau berkeinginan agar supaya kamar yang mulia itu tetap utuh dan bisa dilihat oleh orang-orang islam sehingga orang-orang islam dapat mengetahui bagaimana perihidup baginda Nabi SAW agar mereka dapat melakukan kezuhudan dari dunia............

MENJADIKAN KUBURAN MENJADI MASJID (TEMPAT BERSUJUD) BUKAN BERARTI MASJID YANG TERDAPAT KUBURAN DISAMPINGNYA

Adapun menjadikan kuburan sebagai masjid yang laranganya terdapat dalam hadits Nabi SAW riwayat imam bukhori muslim (muttafaq alaih) juz 1 halaman 446,shohih muslim juz 1 halaman 376 Artinya: Allah melaknat orang- orang yahudi dan nasrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan Nabi mereka sebagai tempat sujud,imam muslim menambahkan dan orang-orang sholih mereka.
Para ulama ummat islam ini tidak mengartikan dan memahami bahwa hadits tersebut adalah sebuah larangan untuk membangun masjid yang bersambung atau menempel dengan kuburan Nabi atau orang sholih,para ulama mengartikan menjadikan kuburan menjadi masjid DENGAN PEMAHAMAN YANG BENAR yaitu dengan menjadikan kuburan itu sendiri sebagai tempat sujud sehingga bersujud DI ATAS QUBUR UTK MENSUJUDI PENGHUNINYA ATAU menghadap kuburan itu dijadikan ibadah seperti yang dilakukan orang Yahudi dan Nasrani seperti apa yang dikatakan Allah SWT dalam Al qur’an surat At taubah ayat 31:
Artinya: Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah juga Al masih putra maryam,padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah tuhan yang satu tidak ada tuhan selain DIA maha suci DIA dari apa yang mereka sekutukan (QS.At taubah ayat 31).

Inilah makna dari sujud yang dilaknat dari Allah SWT atau menjadikan kuburan sebagai kiblat bukan kiblat yang sesungguhnya yang telah disyari’atkan sebagaimana yang dilakukan oleh kafir ahli kitab ketika mereka melakukan sholat dengan menghadap kuburan-kuburan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka. Itulah pemahaman para ulama dari larangan tersebut.
Maka hendaknya bagi kaum muslimin supaya mengetahui bentuk larangan dari hadits tersebut,objek larangannya terletak yang bagaimana? bukan lantas memandang perbuatan orang-orang islam di masjid-masjid mereka kemudian dikatakanlah bahwa hadits di atas adalah ditujukan untuk orang-orang islam dimana perbuatan yang semacam ini adalah perbuatan kaum KHOWARIJ… …naudzu billahi min dzalik…… sebagimana yang dikatakan oleh sohabat ibnu umar r.a bahwa kaum KHOWARIJ menggunakan ayat yang diturunkan untuk orang-orang musyrik kemudian menjadikan ayat tersebut ditujukan untuk orang-orang islam.
Padahal kita tahu dimanapun tidak ada gereja orang Kristiani maupun sinagog orang Yahudi daLam bentuk masjid milik kaum muslimin dimana masjid tersebut bersambung dengan Nabi atau orang-orang sholih sampai zaman sekarang ini.
Para ulama memahami murod hasits diatas dengan pandangan yang tajam sesuai dengan apa yang terlihat jelas dari komentar-komentar mereka disyarah-syarah kitab hadits diantaranya adalah
1. As Syeikh As Sindi berkata: Maksud hadits ini adalah Nabi SAW memberi peringatan kepada ummatnya agar jangan sampai menjadikan kuburannya seperti apa yang diperbuat oleh orang Yahudi dan Nasrani yang mereka menjadikan kuburan-kuburan Nabi mereka sebagai tempat sujud,adakalanya bersujud menghadap kuburan itu dengan ta’dzim atau menjadikan kuburan itu sebagai kiblat dalam sholat mereka. Lain halnya sekedar membangun masjid disamping kuburan orang sholih karena tabarruk (mencari keberkahan) maka hal ini tidak dilarang.
2. Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolany dan para ulama lain yang mensyarahi kitab SUNAN menukil perkatan Al qodhi Al baidhowi beliau mengatakan: ketika orang Yahudi bersujud kepada kuburan para Nabi karena ta’dzim atas keluhuran mereka dan menjadikan kuburan mereka sebagai kiblat sehingga mereka menghadap para Nabi mereka di dalam shalat pada akhirnya Mereka menjadikan kuburan-kuburan itu menjadikan berhala sesembahan maka Allah SWT MELAKNAT MEREKA DAN ORANG-ORANG ISLAM PUN DILARANG UNTUK MELAKUKAN YANG SEMACAM INI.
Adapun orang menjadikan masjid atau membangunnya disamping kuburan orang sholih atau melakukan sholat di samping pekuburannya dengan tujuan istidzhar dengan ruhnya dan tersampaikan efek ibadah orang tersebut bukan dengan tujuan ta’dzim DGN menghadap kuburan tersebut (di dalam sholatnya) maka tidak mengapa dan tidak berdosa,bukan kah Nabi Ismail As dikuburkan di masjidil harom di tempat yang bernama AL HATHIM?! kemudian kita tahu bahwa masjid tersebut adalah tempat yang paling afdhol untuk melakukan sholat dan beribadah kepada Allah SWT dan berdo’a di tempat itu. Adapun larangan sholat dikuburan itu khusus untuk kuburan yang telah tergalitanahnya dikarenakan bahwa pekuburan itu terdapat banyak najis.(FATHUL BARI syarah SHOHIH AL BUCHORI juz 1 halaman 524,sayrah AL ZARQONI juz 4 halaman 290,FAIDLUL QODIR juz 4 halaman 466)
3. Al Mubarok Fury berkata: At Turbasyty berkata: Hadits tersebut dapat diartikan dengan dua wajah:
• Mereka bersujud kepada kuburan Nabi mereka karena ta’dzim dan beribadah
• Mereka bersengaja untuk melakukan sholat di kuburan para Nabi dengan menghadapkan diri mereka ke kuburan tersebut ketika sholat padahal ibadah (menyembah) hanya kepada Allah SWT,mereka berfikirkan bahwa perbuatan tersebut itu lebih diakui oleh Allah SWT.(TUHFATUL AHWADZI SYARAH SUNAN AT TIRMIDZI juz 2 halaman 226)

Dari statemen-statemen di atas dapat kita simpulkan bahwa melakukan sholat di masjid yang terdapat kuburan di sampingnya itu sah dan tidak makruh apalagi haram. Adapun bila kuburan itu berada di masjid maka tidak sah menurut madzhab imam Ahmad ibn Hanbal namun sah menurut tiga madzhab yang lainnya dan boleh dilakukan. Puncak dari permasalahan mereka semua berkata: makruh melakukan sholat dengan kuburan di depan tempat sholat mereka dikarenakan menyerupai sholat kepada mereka seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi

Pentingnya Disiplin Ilmu Ushul Fiqh

Pohon mudah tumbang jika akarnya tak kuat, rumah akan roboh jika pondasinya tidak kokoh. Begitu juga bangunan fiqih, akan sangat rapuh jika ushulnya juga lemah. Ushul fiqih sesuai namanya adalah pokok, landasan dan acuan dalam penentuan hukum fiqih.

Banyak yang beranggapan, sangat mudah menggali hukum dari apa yang telah diwariskan Nabi; al-Quran dan Sunnah. Jika sudah tahu arti dan tafsir dari suatu ayat, maka itulah hukum fiqih. Jika sudah shahih suatu hadits, maka kenapa kita cari dalil-dalil yang lain, cari-cari pendapat ulama’. Secara teori memang semua hukum fiqih dikembalikan kepada dua hukum asal itu. Tapi apakah sesederhana itu?

Jika hanya sesederhana itu, ternyata tidak semua orang arab yang sangat paham bahasa arab lantas bisa menjadi mujtahid. Bahkan tidak semua shahabat Nabi yang dikenal dengan salaf shalih itu menjadi fuqaha’. Kita juga temukan beberapa kekurang tepatan ijtihad para shahabat yang diluruskan oleh Nabi sendiri, sebagai contoh ijtihad mereka atas fatwa mandi junub bagi shahabat yang kepalanya luka.

Mengingat nash-nash agama yang terbatas dan kehidupan manusia cenderung dinamis, maka setelah nabi dan para shahabatnya wafat, ulama’ menyusun sebuah sistematika berpikir yang benar untuk meminimalisir kesalahan-kesalahan dalam ijtihad. Itulah yang kita kenal dengan ilmu Ushul Fiqih.

Pokok Bahasan Ushul Fiqih

Secara bahasa, ushul fiqih berarti dasar dari fiqih. Adapun secara istilah, pengertian yang cukup bagus terhadap ushul fiqih adalah:

معرفَة دَلَائِل الْفِقْه إِجْمَالا، وَكَيْفِيَّة الاستفادة مِنْهَا، وَحَال المستفيد

Mengetahui dalil-dalil fiqih secara ijmal, cara memanfaatkan dalil tersebut, dan keadaan orang yang memanfaatkan dalil. [Nihayat as-Suul, 1/10, at-Tahbir syarh at-Tahrir, 1/180, al-Ushul min ilmi al-Ushul, 8].

Pertama, mengetahui dalil-dalil fiqih ijmal. Para ulama’ menetapkan bahwa dalil hukum fiqih terdiri dari beberapa hal; baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan. Mulai dari al-Quran, hadits, ijma’, qiyas, qaul shahabi, mashlahah mursalah, istihsan, bara’at ad-dzimmah, ‘urf, syar’u man qablana, sadd ad-dzari’ah.

Dalam kajian ushul fiqih, jika tidak ditemukan dalilnya dari al-Quran maka akan dicari di hadits nabi. Jika tidak ada, maka masih banyak lagi dalil-dalil lain. Bukan jika tidak ditemukan dalam al-Quran dan hadits, maka bid’ah. Bukan hanya dalil; jika baik pasti para salaf sudah melaksanakan.

Kedua, cara memanfaatkan dalil itu. Ulama kadang menggunakan istilah istifadah, atau istinbath, sedangkan al-Ghazali (w. 505 H) menggunakan istilah istitsmar [al-Muastashfa, 180]. Sungguh orang yang belajar ushul fiqih, akan tahu betapa beratnya proses ijtihad itu sehingga menghasilkan suatu hukum fiqih.

Bukankah Allah telah memudahkan al-Quran untuk dipahami setiap ummatnya, Nabi juga telah menjelaskan segala sesuatu terkait agamanya, Islam juga telah sempurna?

Semua itu benar, justru adanya ushul fiqih itu untuk mengawal kesempurnaan Islam, dengan menghindari kesalahan-kesalahan ijtihad dalam penggalian hukum dari al-Quran maupun hadits. Tak jarang, cara memahami nash-nash agama bisa lebih penting daripada nash itu sendiri.

Dalam ushul fiqih, dibahas tentang kaidah kebahasaan dalam memahami nash, shighat amar, shighat nahyi, umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad, dalil khitab, mafhum mukhalafah, nasihkh dan mansukh dan lain sebagainya.

Nabi Mengajarkan Ushul Fiqih

Apakah Nabi pernah mengajari ushul fiqih? Atau ilmu ushul fiqih hanya buatan ulama’ saja?

Teori hukum grafitasi ditemukan oleh Isac Newton pada tahun 1687, tapi bukan berarti gaya grafitasi belum ada sebelum ditemukan oleh Isac Newton. Imam Syafi’i (w. 204 H) memang terkenal ulama yang pertama menuliskan kitab ushul fiqih, tapi ilmu ijtihad telah diajarkan Nabi kepada para shahabatnya.

Nabi Muhammad selain meninggalkan dua hal; al-Quran dan hadits juga meninggalkan sistematika berpikir dalam berijtihad memahami dua peninggalan itu. Itulah yang menjadi cikal bakal ushul fiqih sebagai ilmu pengetahuan saat ini.

Sebagai contoh:
Ketika turun surat al-An’am: 82:

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Ketika turun ayat ini, para shahabat bertanya: Apakah ada diantara kami, orang yang tidak pernah dzalim? Nabi menjawab: Apakah kalian tidak membaca ayat [إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ]; [Q.S Luqman: 13], sesungguhnya syirik adalah dzalim yang paling besar. [Tafsir Ibnu Katsir, 3/263].

Sebelumnya para shahabat menyangka makna dzalim diayat pertama sebagaimana pemahaman umum tentang dzalim. Ternyata maksud dzalim disitu adalah syirik. Pengertian ini diambil dari ayat lain.

Ketiga, keadaan mustafid atau mujtahid atau mustatsmir. Agar hasil ijtihad terhindar dari kesalahan, maka tidak semua orang layak menggali hukum dari al-Quran maupun hadits. Maka disusunlah beberapa kriteria mujtahid. Mulai dari adab mujtahid, pengetahuan yang luas terhadap objek ijtihad, mengerti bahasa arab secara mendalam, dan masih banyak syarat lagi.

Bukankah syarat itu yang menciptakan manusia? Pertanyaan ini sering terdengar dari para pegiat ‘free ijtihad’, siapa saja boleh berijtihad dengan cara seenaknya. Jika daftar menjadi satpam saja ada syaratnya, maka dalam urusan halal dan haram agama pun sangat dibutuhkan syarat-syarat bagi penggali hukum.

Buah Ushul Fiqih

Setelah mengetahui semua dalil, cara memahami dalil tersebut dan terpenuhi syarat mujtahid maka akan muncul buahnya. Buah dari ushul fiqih adalah hukum fiqih. Kebanyakan para ulama’ membagi hukum menjadi dua; taklify dan wadh’i. [Raudhatu an-Nadzir, 1/97-193].

Secara umum, hukum taklify terbagi menjadi 5; wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Meskipun nanti ada beberapa ulama’ yang menambahi pembagiannya, seperti makruh tanzih dan tahrim. Sedangkan hukum wadh’i berupa syarat, sebab, rukhshah, azimah. Dalam pembahasan ushul fiqih, tidak dikenal ‘ini hukumnya bid’ah’. Karena bid’ah bukan hukum.

Kebanyakan para ulama’ ushul dalam mengarang kitabnya, diawali dengan membahas buahnya dahulu, yaitu hukum.

Puber Religi

Pada masa puber, seorang anak sudah ‘merasa’ bisa lepas diri dari orang tuanya. Emosi yang bergejolak, sangat peka dan menunjukkan reaksi yang kuat pada berbagai peristiwa dan situasi sosial, mempertanyakan dan menggugat segala sesuatu bahkan terhadap hal yang sudah mapan, kadang emosinya ketika sedang meledak menjadi tidak proporsional. Inilah beberapa ciri masa puber yang biasa terjadi, masa dimana seseorang mencari jatidiri untuk menghadapi kedewasaan kelak.

Dalam beragama pun, sepertinya ada kecenderungan seseorang melewati masa puber religi ini, usianya bermacam-macam. Biasa terjadi pada seseorang yang baru semangat belajar agama.

Hampir setiap kejadian dia ikut berkomentar, menulis, mengkritisi. Mempertanyakan kembali hal-hal yang baru dia ketahui, mana dalilnya, dalilnya shahih atau tidak, menggugat banyak hal. Jika sudah berafiliasi kepada suatu kelompok, dengan buta dia akan membela kelompoknya, tak segan menyalahkan kelompok lain yang tidak sependapat, emosinya meledak jika ada orang yang mengkritisi apa yang diyakininya.

Seorang dalam masa puber religi, merasa tak butuh dengan pendapat orang lain, bahkan orang lain itu ulama’ sekalipun. Dia menggugat, mengapa tidak kembali kepada Quran saja? jika sudah shahih suatu hadits kenapa masih butuh pendapat ulama’?

Akhirnya dengan sedikit pengetahuan terhadap bahasa arab dan terjemah, dia mengambil hukum sendiri dari Quran maupun hadits yang dianggap shahih. Kadang juga, mengutip pendapat ulama’ yang sesuai dengan kemauannya. Bahkan tak jarang, mengolok-olok beberapa hasil ijtihad ulama’ terdahulu karena dianggap menyelisihi sunnah menurut versi mereka, hudatsa’ al-asnan sufaha al-ahlam.

waAllahu a'lam

Kamis, 24 Oktober 2013

البدعة بدعتان عند أهل السنة والجماعة

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين له النعمة وله الفضل وله الثناء الحسن صلوات الله البر الرحيم والملائكة المقربين على سيدنا محمد وعلى جميع إخوانه النبيين والمرسلين وعلى ءال كل وصحب كل وسائر الصالحين، أما بعد فهذا

بيان أن
البدعة بدعتان عند أهل السنة والجماعة
وحديث: وكل بدعة ضلالة، عام مخصوص
تعريف البدعة:

لغةً ما أُحدث على غير مثال سابق، يقال: جئت بأمر بديع أي محدث عجيب لم يعرف قبل ذلك. وفي الشرع: المـحدَث الذي لم ينصَّ عليه القرءان ولا جاء في السنة، كما ذكر ذلك اللغوي المشهور الفيومي في كتابه "المصباح المنير" مادة "ب د ع"، وذكر ذلك أيضا الحافظ اللغوي محمد مرتضى الزبيدي في "تاج العروس" مادة "ب د ع".
ففي "المصباح المنير" (ص/138) : أبدع الله تعالى الخلق إبداعا خلقهم لا على مثال وأبدعت وأبدعته، استخرجته وأحدثته ومنه قيل للحالة المخالفة بدعة وهى اسم من الابتداع كالرفعة من الارتفاع ثم غلب استعمالها فيما هو نقص في الدين أو زيادة لكن قد يكون بعضها غير مكروه فيسمى بدعة مباحة وهو ما شهد لجنسه أصل في الشرع أو اقتضته مصلحة يندفع بـها مفسدة "اهـ.
وفى المعجم الوجيز (ج1/ص45) : "هي ما استحدث فى الدين وغيره تقول بدعه بدعا أي أنشأه على غير مثال سابق"اهـ

أقسام البدعة:

قال ابن العربي: " ليست البدعة والمحدَث مذمومين للفظ بدعة ومحدث ولا معنييهما، وإنما يذم من البدعة ما يخالف السنة، ويذم من المحدثات ما دعا إلى الضلالة"اهـ.

وقال النووي في كتاب تـهذيب الأسماء واللغات، مادة (ب د ع ) ج3/22 ما نصه: "البدعة بكسر الباء في الشرع هي: إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله صلّى الله عليه وءاله وسلم، وهي منقسمة إلى حسنة وقبيحة، قال الإِمام الشيخ الـمجمع على إمامته وجلالته وتمكّنه في أنواع العلوم وبراعته أبو محمّد عبد العزيز بن عبد السلام رحمه الله ورضي عنه في ءاخر كتاب القواعد: "البدعة منقسمة إلى واجبة ومحرّمة ومندوبة ومكروهة ومباحة. قال: والطريق في ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة، فإن دخلت في قواعد الإِيجاب فهي واجبة، أو في قواعد التحريم فمحرّمة، أو الندب فمندوبة، أو المكروه فمكروهة، أو المباح فمباحة".انتهى كلام النووي.

فالبدعة تنقسم إلى قسمين:
بدعة ضلالة: وهي المحدثة المخالفة للقرءان والسنة.
وبدعة هدى: وهي المحدثة الموافقة للكتاب والسنة.
وهذا التقسيم مفهوم من حديث البخاري ومسلم عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " مَن أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد". ورواه مسلم بلفظ ءاخر وهو: "من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد". فأفهم رسول الله صلى الله عليه وسلم بقوله:"ما ليس منه" أن المحدَث إنما يكون ردًّا أي مردودًا إذا كان على خلاف الشريعة، وأن المحدَث الموافق للشريعة ليس مردودًا.

وهو مفهوم أيضًا مما رواه مسلم في صحيحه من حديث جرير بن عبد الله البجلي رضي الله عنه أنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شىء، ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شىء ".
وفي صحيح البخاري في كتاب صلاة التـراويح ما نصه: " قال ابن شهاب: فتوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم والناس على ذلك"، قال الحافظ ابن حجر: " أي على ترك الجماعة في التراويح". ثم قال ابن شهاب في تتمة كلامه: " ثم كان الأمر على ذلك في خلافة أبي بكر وصدرًا من خلافة عمر رضي الله عنه".

وفي البخاري أيضًا تتميمًا لهذه الحادثة عن عبد الرحمن بن عبدٍ القاريّ أنه قال: خرجت مع عمر بن الخطاب رضي الله عنه ليلة في رمضان إلى المسجد، فإذا الناس أوزاع متفرقون يصلي الرجل لنفسه ويصلي الرجل فيصلي بصلاته الرهط، فقال عمر: إني أرى لو جمعت هؤلاء على قارىء واحد لكان أمثل، ثم عزم فجمعهم على أُبيّ بن كعب، ثم خرجت معه ليلة أخرى والناس يصلون بصلاة قارئهم قال عمر: "نعم البدعة هذه".اهـ
وفي الموطأ بلفظ:"نِعمت البدعة هذه"اهـ.

فإن قيل: أليس قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما رواه أبو داود عن العرباض بن سارية: "وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة".

فالجواب: أن هذا الحديث لفظه عام ومعناه مخصوص بدليل الأحاديث السابق ذكرها فيقال: إن مراد النبي صلى الله عليه وسلم ما أحدث على خلاف الكتاب أو السنة أو الإجماع أو الأثر.
هذا وأما من حيث التفصيل فالبدعة منقسمة إلى الأحكام الخمسة وهي الواجب والمندوب والمباح والمكروه والحرام كما نص علماء المذاهب الأربعة:

المذهب الحنفي:

1- قال الشيخ ابن عابدين الحنفي في حاشيته (1/376): "فقد تكون البدعة واجبة كنصب الأدلة للرد على أهل الفرق الضالة، وتعلّم النحو المفهم للكتاب والسنة، ومندوبة كإحداث نحو رباط ومدرسة، وكل إحسان لم يكن في الصدر الأول، ومكروهة كزخرفة المساجد، ومباحة كالتوسع بلذيذ المآكل والمشارب والثياب"انتهى.

2- قال بدر الدين العيني في شرحه لصحيح البخاري (ج11/126) عند شرحه لقول عمر ابن الخطاب رضي اللّه عنه: "نعمت البدعة" وذلك عندما جمع الناس في التراويح خلف قارىءٍ وكانوا قبل ذلك يصلون أوزاعًا متفرقين: "والبدعة في الأصل إحداث أمر لم يكن في زمن رسول الله صلى الله عليه وسلم، ثم البدعة على نوعين، إن كانت مما تندرج تحت مستحسن في الشرع فهي بدعة حسنة وإن كانت مما يندرج تحت مستقبح في الشرع فهي بدعة مستقبحة"انتهى.

المذهب المالكي:

1- قال محمد الزرقاني المالكي في شرحه للموطأ (ج1/238) عند شرحه لقول عمر بن الخطاب رضي اللّه عنه: "نعمت البدعة هذه" فسماها بدعة لأنه صلى اللّه عليه وسلم لم يسنّ الاجتماع لها ولا كانت في زمان الصديق، وهي لغة ما أُحدث على غير مثال سبق وتطلق شرعًا على مقابل السنة وهي ما لم يكن في عهده صلى اللّه عليه وسلم، ثم تنقسم إلى الأحكام الخمسة. انتهى

2- قال الشيخ أحمد بن يحيى الونشريسي المالكي في كتاب المعيار المعرب (ج1/357-358) ما نصه: "وأصحابنا وإن اتفقوا على إنكار البدع في الجملة فالتحقيق الحق عندهم أنها خمسة أقسام"، ثم ذكر الأقسام الخمسة وأمثلة على كل قسم ثم قال: "فالحق في البدعة إذا عُرضت أن تعرض على قواعد الشرع فأي القواعد اقتضتها ألحقت بـها، وبعد وقوفك على هذا التحصيل والتأصيل لا تشك أن قوله صلى الله عليه وسلم:" كل بدعة ضلالة"، من العام المخصوص كما صرح به الأئمة رضوان الله عليهم".اهـ

المذهب الشافعي:

1- الإمام الشافعي:
أ- قال الشافعي رضي الله عنه: المحدثات من الأمور ضربان أحدهما ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه البدعة الضلالة، والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة. رواه البيهقي في (مناقب الشافعي) (ج1/469)، وذكره الحافظ ابن حجر في (فتح الباري): (13/267).
ب- روى الحافظ أبو نعيم في كتابه حلية الأولياء ج 9 ص76 عن إبراهيم بن الجنيد قال: حدثنا حرملة بن يحيى قال: سمعت محمد بن إدريس الشافعي رضي الله عنه يقول: البدعة بدعتان، بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم، واحتج بقول عمر بن الخطاب في قيام رمضان: نعمت البدعة هي" اهـ

2- قال أبو حامد الغزالي في كتابه إحياء علوم الدين، كتاب ءاداب الأكل ج2/3 ما نصه: "وما يقال إنه أبدع بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم فليس كل ما أبدع منهيا بل المنهي بدعة تضاد سنة ثابتة وترفع أمرا من الشرع مع بقاء علته بل الإبداع قد يجب في بعض الأحوال إذا تغيرت الأسباب" اهـ

3- قال العز بن عبد السلام في كتابه "قواعد الأحكام" (ج2/172-174) : البدعة منقسمة إلى واجبة ومحرّمة ومندوبة ومكروهة ومباحة ثم قال: والطريق في ذلك أن تُعرض البدعة على قواعد الشريعة، فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، أو في قواعد التحريم فهي محرمة، أو الندب فمندوبة، أو المكروه فمكروهة، أو المباح فمباحة، انتهى.

4- قال النووى فى شرحه على صحيح مسلم"(6/154-155): قوله صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: (وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ) هذا عامٌّ مخصوص، والمراد: غالب البدع. قال أهل اللُّغة: هي كلّ شيء عمل عَلَى غير مثال سابق. قال العلماء: البدعة خمسة أقسام: واجبة، ومندوبة، ومحرَّمة، ومكروهة، ومباحة. فمن الواجبة: نظم أدلَّة المتكلّمين للرَّدّ عَلَى الملاحدة والمبتدعين وشبه ذلك. ومن المندوبة: تصنيف كتب العلم وبناء المدارس والرّبط وغير ذلك. ومن المباح: التّبسط في ألوان الأطعمة وغير ذلك. والحرام والمكروه ظاهران، وقد أوضحت المسألة بأدلَّتها المبسوطة في (تـهذيب الأسماء واللُّغات) فإذا عرف ما ذكرته علم أنَّ الحديث من العامّ المخصوص، وكذا ما أشبهه من الأحاديث الواردة، ويؤيّد ما قلناه قول عمر بن الخطَّاب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ في التّـَراويح: نعمت البدعة، ولا يمنع من كون الحديث عامًّا مخصوصًا قوله: (كُلُّ بِدْعَةٍ) مؤكّدًا بـــــــ كلّ، بل يدخله التَّخصيص مع ذلك كقوله تعالى: {تُدَمّرُ كُلَّ شَىءٍ} [الأحقاف،ءاية 25]اهـ
وقال النووي أيضا "في شرحه على صحيح مسلم"(16/226-227) : قوله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا...) إلى ءاخره. فيه: الحث على الابتداء بالخيرات، وسن السنن الحسنات، والتحذير من اختراع الأباطيل والمستقبحات، وسبب هذا الكلام في هذا الحديث أنه قال في أوله: "فجاء رجل بصرة كادت كفه تعجز عنها فتتابع الناس". وكان الفضل العظيم للبادي بـهذا الخير والفاتح لباب هذا الإحسان. وفي هذا الحديث: تخصيص قوله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة"، وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة.اهـ

4-قال الحافظ أحمد بن حجر العسقلاني في الفتح (ج4/298): قوله قال عمر: "نعم البدعة" في بعض الروايات "نعمت البدعة" بزيادة التاء، والبدعة أصلها ما أحدث على غير مثال سابق، وتطلق في الشرع في مقابل السنة فتكون مذمومة، والتحقيق إن كانت مما تندرج تحت مستحسن في الشرع فهي حسنة، وإن كانت مما تندرج تحت مستقبح في الشرع فهي مستقبحة وإلا فهي من قسم المباح وقد تنقسم إلى الأحكام الخمسة.انتهى
وقال الحافظ ابن حجر في فتح الباري، شرح صحيح البخاري، المـجلد الثاني، كِتَاب الْجُمُعَةِ، باب الأَذَانِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ:" وكل ما لم يكن في زمنه- صلى الله عليه وسلم -يسمى بدعة، لكن منها ما يكون حسنا ومنها ما يكون بخلاف ذلك"اهـ.

المذهب الحنبلي:

قال الشيخ شمس الدين محمد بن أبي الفتح البعلي الحنبلي في كتابه "المطلع على أبواب المقنع" (ص334) من كتاب الطلاق: "والبدعة مما عُمل على غير مثال سابق، والبدعة بدعتان: بدعة هدى وبدعة ضلالة، والبدعة منقسمة بانقسام أحكام التكليف الخمسة"اهـ.

فوائد متعلقة بالموضوع

1-قال ابن الأثير فى "النهاية فى غريب الحديث"(1/106- 107): وفي حديث عمر رضي اللَه عنه في قيام رمضان: نِعْمَت البِدْعة هذه، البدعة بِدْعَتَان: بدعة هُدًى، وبدعة ضلال، فما كان في خلاف ما أمَر اللّه به ورسوله صلى اللّه عليه وسلم فهو في حَيّز الذّم والإنكار، وما كان واقعا تحت عُموم ما نَدب اللّه إليه وحَضَّ عليه اللّه أو رسوله فهو في حيز المدح، وما لم يكن له مثال موجود كنَوْع من الجُود والسخاء وفعْل المعروف فهو من الأفعال المحمودة، ولا يجوز أن يكون ذلك في خلاف ما وَردَ الشرع به؛ لأن النبي صلى اللّه عليه وسلم قد جَعل له في ذلك ثوابا فقال:" من سَنّ سُنة حسَنة كان له أجْرها وأجرُ من عَمِل بها "، وقال في ضِدّه:" ومن سنّ سُنة سيّئة كان عليه وزْرُها وَوِزْرُ من عَمِل بها"، وذلك إذا كان في خلاف ما أمر اللّه به ورسوله صلى اللّه عليه وسلم. ومن هذا النوع قولُ عمر رضي اللّه عنه: نِعْمَت البدعة هذه. لـمـَّــا كانت من أفعال الخير وداخلة في حيز المدح سماها بدعة ومدَحها؛ لأن النبي صلى اللّه عليه وسلم لم يَسَنَّها لهم، وإنما صلاّها لَياليَ ثم تَركَها ولم يحافظ عليها، ولا جَمع الناسَ لها، ولا كانت في زمن أبي بكر، وإنما عمر رضي اللّه عنه جمع الناس عليها ونَدَبـهم إليها، فبهذا سمّاها بدعة، وهي على الحقيقة سُنَّة، لقوله صلى اللّه عليه وسلم: عليكم بسُنَّتي وسنَّة الخلفاء الراشِدين من بعْدي، وقوله: اقتدُوا باللذين من بعدي أبي بكر وعمر، وعَلَى هذا التأويل يُحمل الحديث الآخر: كل مُحْدَثة بدعةٌ، إنما يريد ما خالف أصول الشريعة ولم يوافق السُّنَّة.اهـ
2- قال في روح البيان في تفسير القرءان ج 9 ص 2:"ومن تعظيمه- صلى الله عليه وسلم - عمل المولد إذا لم يكن فيه منكر قال الإمام السيوطي قدس سره يستحب لنا إظهار الشكر لمولده عليه السلام. انتهى وقد اجتمع عند الإمام تقي الدين السبكي رحمه اللـه جمع كثير من علماء عصره فأنشد منشد قول الصرصري رحمه اللـه في مدحه عليه السلام:
قليلٌ لمدحِ المصطفى الخطُّ بالذهَبْ ... على وَرِقٍ مِن خَطِ أحسنِ مَن كتبْ
وأن تَنْهضَ الأشرافُ عندَ سَماعِهِ ... قيامًا صفوفًا أو جُثِيًّا على الرُكبْ
فعند ذلك قام الإمام السبكي وجميع من بالمجلس فحصل أنس عظيم بذلك المجلس ويكفي ذلك في الاقتداء وقد قال ابن حجر الهيتمي إن البدعة الحسنة متفق على ندبـها وعمل المولد واجتماع الناس له كذلك أي بدعة حسنة قال السخاوي لم يفعله أحد من القرون الثلاثة وإنما حدث بعد ثم لا زال أهل الإسلام من سائر الأقطار والمدن الكبار يعملون المولد ويتصدقون في لياليه بأنواع الصدقات ويعتنون بقراءة مولده الكريم ويظهر من بركاته عليهم كل فضل عظيم قال ابن الجوزي من خواصه أنه أمان في ذلك العام وبشرى عاجلة بنيل البغية والمرام وأول من أحدثه من الملوك صاحب أربل وصنف له ابن دحية رحمه الله كتابًا في المولد سماه التنوير بمولد البشير النذير فأجازه بألف دينار وقد استخرج له الحافظ ابن حجر أصلاً من السنة وكذا الحافظ السيوطي"اهـ

3- قال الحطاب المالكي في مواهب الجليل ج 2ص 9: وقال السخاوي في القول البديع: أحدث المؤذنون الصلاة والسلام على رسول اللـه عقب الأذان للفرائض الخمس إلا الصبح والجمعة فإنـهم يقدمون ذلك قبل الأذان، وإلا المغرب فلا يفعلونه لضيق وقتها، وكان ابتداء حدوثه في أيام الناصر صلاح الدين يوسف بن أيوب وبأمره. وذكر بعضهم أن أمر الصلاح ابن أيوب بذلك كان في أذان العشاء ليلة الجمعة، ثم إن بعض الفقراء زعم أنه رأى رسول اللـه وأمره أن يقول للمحتسب أن يأمر المؤذنين أن يصلوا عليه عقب كل أذان فسر المحتسب بـهذه الرؤيا فأمر بذلك واستمر إلى يومنا هذا. وقد اختلف في ذلك هل هو مستحب أو مكروه أو بدعة أو مشروع؟ واستدل للأول بقوله: {وافعلوا الخير} ومعلوم أن الصلاة والسلام من أجل القرب لا سيما وقد تواترت الأخبار على الحث على ذلك مع ما جاء في فضل الدعاء عقبه والثلث الأخير وقرب الفجر. والصواب أنه بدعة حسنة وفاعله بحسب نيته. انتهى

4- قال في حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح ج1 ص 103: وأول ما زيدت الصلاة على النبي بعد الأذان على المنارة في زمن حاجي بن الأشرف شعبان بن حسين بن محمد بن قلاوون بأمر المحتسب نجم الدين الطنبدي، وذلك في شعبان سنة إحدى وتسعين وسبعمائة كذا في الأوائل للسيوطي، والصواب من الأقوال أنـها بدعة حسنة"اهـ

5- قال في اللباب في شرح الكتاب ج1 ص 684:" قال في الدر: وعلى هذا لا بأس بكتابة أسامي السور وعد الآي، وعلامات الوقف ونحوها، فهي بدعة حسنة، درر وقنية".اهـ

6- قال الإمام المحدث الفقيه المفسر اللغوي الشيخ عبد الله بن محمد الهرري الشيبي في كتابه صريح البيان ج1/280: قال الله تبارك وتعالى في كتابه العزيز: [وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا] {الحديد:27}. فهذه الآية يستدلّ بـها على البدعة الحسنة، لأن معناها مدح الذين كانوا مسلمين مؤمنين من أمّة عيسى متبعين له عليه السلام بالإِيمان والتوحيد، فالله تعالى مدحهم لأنـهم كانوا أهل رأفة ورحمة ولأنـهم ابتدعوا رهبانية، والرهبانية هي الانقطاع عن الشهوات، حتى إنـهم انقطعوا عن الزواج رغبة في تجرّدهم للعبادة. فمعنى قوله تعالى: مَا كَتَبْنَاهَا، أي نحن ما فرضناها عليهم إنما هم أرادوا التقرّب إلى الله، فالله تعالى مدحهم على ما ابتدعوا مما لم ينصَّ لهم عليه في الإِنجيل ولا قال لهم المسيح بنص منه، إنما هم أرادوا المبالغة في طاعة الله تعالى والتجردّ بترك الانشغال بالزواج ونفقة الزوجة والأهل، فكانوا يبنون الصوامع أي بيوتًا خفيفة من طين أو من غير ذلك على المواضع المنعزلة عن البلد ليتجرّدوا للعبادة.اهـ ثم بدأ بذكر أمثلة على البدعة الحسنة:
ومما يدلّ على أنه ليس كل ما أحدث بعد رسول الله أو في حياته مما لم ينصّ عليه بدعة ضلالة إحداث خبيب بن عدي ركعتين عندما قُدّم للقتل، كما جاء ذلك في صحيح البخاري...ومما يدلّ أيضًا على ذلك أن الصحابة الذين كتبوا الوحي الذي أملاه عليهم الرسول، كانوا يكتبون الباء والتاء ونحوهما بلا نقط، ثم عثمان بن عفّان لما كتب ستة مصاحف وأرسل ببعضها إلى الآفاق إلى البصرة ومكّة وغيرهما واستبقى عنده نسخة كانت غير منقوطة. وإنما أوّل مَن نقط المصاحف رجل من التابعين من أهل العلم والفضل والتقوى، يقال له يحيى بن يعمر. ففي كتاب المصاحف لابن أبي داود السجستاني ص/158 ما نصّه: "حدّثنا عبد الله، حدّثنا محمّد بن عبد الله المخزوميُّ، حدّثنا أحمد بن نصر بن مالك، حدّثنا الحسين بن الوليد، عن هارون بن موسى قال: أوّل مَن نقط المصاحف يحيى بن يعمر".اهـ وكان قبل ذلك يكتب بلا نقط، فلما فعل هذا لم ينكر العلماء عليه ذلك، مع أن الرسول ما أمر بنقط المصحف، فمن قال كل شىء لم يُفعل في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم بدعة ضلالة فليبدأ بكشط النقط من المصاحف حتى ابن تيمية زعيمهم ذكر في فتاويه (3/402) ما نصه: "قيل: لا يكره ذلك لأنه بدعة، وقيل: لا يكره للحاجة إليه، وقيل: يكره النقط دون الشكل لبيان الإعراب، والصحيح أنه لا بأس به".اهـ

7-قال أبو الفضل عبد الله الصديق الغماري في كتابه إتقان الصنعة ص/14: يعلم مما سبق أن العلماء متفقون على انقسام البدعة إلى محمودة ومذمومة وأن عمر رضى الله عنه أول من نطق بذلك ومتفقون على أن قول النبي صلى الله عليه وسلم "كل بدعة ضلالة" عام مخصوص ولم يشذ عن هذا الاتفاق إلا " الشاطبي" صاحب الاعتصام فإنه أنكر هذا الانقسام.."اهـ

ملاحظة: إلى هؤلاء الذين يوافقون ابن تيمية في بدع الضلالة كالتجسيم، ويخالفونه في تقسيم البدعة إلى حسنة وسيئة، نقول لهم:
يقول ابن تيمية في مجموع الفتاوى ج1/161-162 وفي كتابه المسمى قاعدة جليلة في التوسل والوسيلة ج2/28 ما نصه:
وكل بدعة ليست واجبة ولامستحبة فهي بدعة سيئة، وهي ضلالة باتفاق المسلمين. ومن قال في بعض البدع إنها بدعة حسنة فإنما ذلك إذا قام دليل شرعي على أنها مستحبة، فأما ما ليس بمستحب ولا واجب فلا يقول أحد من المسلمين إنها من الحسنات التى يتقرب بها إلى الله.اهـ
ويقول ابن تيمية في كتابه اقتضاء الصراط المستقيم ص/297: فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم.اهـ

وسبحان الله والحمد لله رب العالمين.