Jumat, 28 Februari 2014

Al-quran Tulisan Anak Sunan Bonang Dari Pelapah Daun Pisang

Nama Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman yang terletak di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ini menjadi sangat terkenal hingga penjuru dunia karena memiliki dan menyimpan Kitab Suci Alquran dalam ukuran besar dan juga berat.

Sejak 1998, Pesantren yang didirikan oleh Habib Saggaf bin Mahdi ini telah menyimpan satu Alquran terbuat dari baja stainlees dengan ukuran raksasa serta Alquran dari bahan pelepah pisang yang berukuran sangat besar.

"Keberadaan Al-Quran ini menjadi kebanggan buat kami para santri, kami termotivasi untuk menghafal Alquran dan juga mengamalkannya," kata staf Humas Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Syaiffudin, saat ditemui, Minggu (14/7/2013).

Syaifuddin menjelaskan Al-Quran terbuat dari baja stainlees ini memiliki berat 1,2 ton. Terdiri dari 306 lebar lempengan baja dimana satu lempeng memiliki berat sampai 4 kg, dengan ukuran lebaran bajanya 100x140 cm.

Alquran terberat di dunia itu dibuat oleh Habib Saggah bin Mahdi pada tahun 1985 hingga 1990. Pembuatan Alquran ini memiliki sejarah.  "Pembuatan Alquran besi ini digagas oleh sembilan orang ulama Indonesia, salah satunya Habib Saggaf," katanya.

Proses pembuatan Alquran cukup lama, karena ditulis dengan tangan pada kertas cetakan dan dicetak menggunakan cat yang berkualitas tinggi sehingga huruf Alquran tahan hingga ratusan tahun.

Pembuatan Alquran dilakukan sendiri oleh Habib Saggaf, setelah mencetak, Habib menghabiskan waktu 40 hari untuk mengecek kebenaran dalam Al-Quran tersebut. Alquran tersebut dibawa ke Pondok Pesantren Al-Ashriyyah oleh Habib Saggaf pada 1990. Sejak saat itu Al-Quran koleksi Habib berada di pondok pesantren hingga saat ini.

Syafuddin menyebutkan kegemaran Habib Saggaf terhadap Al-Quran hingga mengkoleksi Al-Quran dengan bentuk yang tidak pernah ada sebelumnya.

Pada 2009, Habib Saggaf mendapat kiriman Al-Quran berukuran besar yang terbuat dari pelepah batang pisang yang dikirim dari kelompok muslim Moro-Filipina. "Almarhum Habib Saggaf pernah menyebutkan Al-Quran ini ditulis oleh anak dari Sunan Bonang. Tidak tahu kenapa Al-Quran ini ada pada kelompok Moro. Tetapi setelah itu dikirim ke pesantren ini," katanya.

Terdapat delapan koleksi Al-Quran berukuran raksasa, satu Alquran berisikan surat lengkap 30 dzus. Ukuran Al-Quran juga berbeda-beda yakni 1,8 meter x 2,60 meter, 1,80 m x 2,40 m, 1,50 m x 2,40 m, dan 2 m x 3,8 m. "Diperkirakan usia Al-Quran ini sudah lebih dari 1 abad," katanya.

Selain menyimpan Alquran terberat dan terbesar di dunia, Pondok Pesantren Habib Saggaf ini juga menyimpan Al-Quran ukiran yang terbuat kayu jati karya seniman Jepara.

Dikatakannya, keberadaan Alquran tersebut telah menarik perhatian banyak orang, sejumlah pihak tertarik ingin memilikinya. "Pernah ada pengusaha yang mau menawar Rp500 juta, bahkan Gusdur juga sempat menawarkan mau membeli, tapi Habib tidak menjualnya, sampai kapanpun Al-Quran ini tetap akan di sini," katanya.

Syaifuddin menambahkan keberadaan Al-Quran raksasa dan terberat tersebut menjadi penyemangat para santri di pondok pesantren tersebut untuk menghafalkan Al-Quran. "Dengan adanya Alquran ini memotifasi anak-anak untuk menghafal Alquran dan menjadi khafidz. Karena salah satu tujuan utama pelajaran agama disini adalah melahirkan santri yang hafal Al-Quran," katanya.

Pemalsuan Quran Digital

Walaupun masih tidak banyak pengguna telefon pintar(smart phone) yang tahu akan hal ini. Satu versi baru al-Quran yang dikeluarkan oleh Apple App Store telah mengiris hati kaum Muslimin.

The Holy Qur’an – Satu Versi baru Al- Qur’an telah di keluarkan Apple APP STORE. Nama aplikasinya adalah “The Holy Quran, Arabic text and English translation”. Diterjemahkan oleh Maulvi Sher Ali, kumpulan Ahmadiyyah dan Qadiani.

Aplikasi ini tersedia di Google Play dan iPhone App Store. Umat Islam perlu peka untuk tidak membeli dan mengunduh aplikasi ini!

Produk ini wajib diboikot karena ia menyelewengkan ayat-ayat suci al-Quran yang asal. Kami memohon anda mau bekerja sama dengan semua rekan-rekan anda tentang perkara ini.

Sekiranya mereka bukan pengguna android atau iPhone, sekurang-kurangnya mereka memberi memberitahu orang lain akan hal ini

Untuk lebih jelasnya buka aplikasi yang kami maksud di QS Ali Imran ayat 6 dan silahkan dicocokkan PER HURUF dengan Al Qur’an yang Asli atau untuk menuju detail masalanya check kolom yang kami beri lingkaran merah pada gambar (Ust Yusuf Mansur)

GOKIL - Qurãn Terberat di Dunia Ternyata Ada Di Parung :)

Al Quran terberat di dunia ternyata ada Indonesia. Kitab suci yang terbuat dari alumunium dengan berat 1,2 ton itu, saat ini ada di Pondok Pesantren Al-ShiryyahNurul Iman, di Kampung Waru, Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Al Quran terberat ini dibuat oleh pendiri Ponpes Al-Shiryyah,Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abu Bakar bin Salim, bersama delapan temannya yang hafal Al Quran. Kitab suci tersebut dibuat di daerah Bintaro, Tangerang Selatan dan memakan waktu sampai 5 tahun, yaitu sejak 1985 sampai 1990. Biaya yang dikeluarkan untuk membuatnya mencapai Rp500 juta.

Saat proses pembuatan, seluruh ulama pembuatnya melaksanakan ibadah puasa penuh selama 5 tahun dan suci berwudhu.

Kitab suci itu terdiri dari 30 juz, 6.666 ayat dan 114 surat dan saat ini masih tersimpan rapih di perpustaan ponpes dan biasa digunakan santri untuk belajar.

Ayat-ayat suci di dalam Al Quran itu ditulis dengan cat khusus dengan kualitas tinggi dan tahan hingga ratusan tahun. Al Quran berwarna hijau, terdiri dari 270 lempeng alumunium dengan ukuran 1,2 meter x 1,5 meter dengan ketebalan 3 milimeter.

Menurut Habib SaggafAl Quran terberat di dunia itu dibuat untuk memudahkan para santri yang jumlahnya mencapai 18 ribu orang untuk belajar menghafal Al Quran.

Sejumlah pejabat tinggi negeri ini banyak yang menawarkan diri untuk memiliki Al Quran tersebut. Salah satunya adalah almarhum Presiden RI KH. Abburrahman Wahid atau Gus Dur. (Viva)

Toleransi Beragama

Masih membekas dalam memori kita, di pengujung tahun 2012, Dunia sempat geger dengan beredarnya film yg berjudul Innocence of muslims. Film yang disutradarai oleh seorang yahudi ini ditengarai berisi adegan-adegan yang melecehkan nabi dan menghina agama Islam. Tak ayal, reaksi keras mengecam film tersebut terjadi di berbagai negara terutama yang berpenduduk mayoritas muslim. Bahkan, insiden pengeboman yang menewaskan konsulat Amerika Serikat (di Libya) dan demonstrasi keras hingga bentrok dengan aparat tidak bisa terhindarkan akibat pukulan telak rasa kekecewaan dan kemaharan dari  umat Islam sendiri.

Peristiwa berbau SARA ini hanyalah sebagian kecil yang terekam meluas dalam kancah Internasional, tentu masih banyak kasus-kasus serupa yang memicu keretakan hubungan muslim-non muslim. Penistaan Agama, entah itu dengan melecehkan Tuhannya, Utusannya, ajarannya atau bahkan pengikutnya hampir pernah terjadi diberbagai belahan dunia. Termasuk juga di Indonesia, masih ingat berita-berita yang sering muncul di media tentang peristiwa pembakaran gereja, penyerbuan jama’ah dimasjid, pengusiran dan pembunuhan adalah beberapa misal yang kesemuanya berawal dari pelecehan dan penghinaan terhadap satu agama.

Dengan tanpa bermaksud mengkambing hitamkan, lantas siapakah yang harus disalahkan? Merekakah atau barangkali kita? Patutlah memulai intropeksi dari diri kita sendiri, Ibarat asap dan api, pastilah ada faktor yang memantik mereka untuk melakukan aksi penistaan sebagaimana diatas. Entah disengaja atau tidak mulai dari sikap, tingkah laku, dan ucapan terkadang dipandang negatif dan provokatif sehingga tanpa disadari menimbulkan isu-isu miring yang dapat memanaskan tensi hubungan muslim-non muslim. Akibatnya, baik secara individu maupun kelompok merekapun menggalang misi “balas dendam” sebagai bentuk menumpahkan kemarahan dan ketidak terimaan mereka. Inilah sedari dulu yang telah diwanti-wanti Allah swt. kepada umat islam, dalam al-Qur`an diesbutkan:

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (108) [الأنعام/108]

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan” (QS. Al-An`am (6): 108).

Imam al-Suyuti menjelaskan dalam kitabnya; Abdurrazaq meriwayatkan dari Ma`mar dari Qotadah, bahwa kaum muslim pada waktu itu suka mencaci berhala kaum kafir sehingga kaum kafir pun membalasnya dengan mencaci orang-orang Islam, maka Allah swt. menurunkan ayat ini sebagai larangan mencaci-maki orang-orang kafir.

Refleksi

Membangun budaya damai muslim-non muslim harus dimulai dari diri kita, dengan menunjukkan sikap dan tutur kata yang tidak menyinggung pihak lain, sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad saw., tetapi ingat, ini bukan berarti kita ridho dan rela dengan agama dan kepercayaan yang mereka anut, sebab kita yakin bahwa agama yang menunjukkan kebenaran dan sebagai rahmatan lil `alamin adalah Islam. Sikap ini adalah bentuk toleransi kita kepada mereka. Dan harus menjadi catatan, toleransi hanya terbatas pada keduniawiaan semata, jangan sampai kran kebebasan berekspresi mencampur adukkan setiap ajaran agama dilegalkan dengan dalih “ini adalah toleransi”.  Allah swt. berfirman:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6) [الكافرون/1-6[

“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. Al-Kafirun (109): 1-6).

Well, dengan memberikan mereka kewenangan dan tidak mengganggu aktifitas-aktifitas keagamaan mereka, itu sudah dikatakan sikap toleransi, tanpa harus mengikuti budaya mereka, ikut berbaur dan merayakan bersama setiap efen perayaan yang diselenggarakan mereka·. wallahu a`lam

Kehendak Allah = Soal Ujian Pilihan Ganda

Pertanyaan-pertanyaan yang kadang menyesatkan

Ada yang bertanya dengan penuh kebimbangan, “Kenapa Allah menciptakan keburukan atau kejelekan jika memang tidak disukai?” atau “Kenapa Allah membuat hamba-Nya menjadi orang yang jahat atau bejat jika orang yang seperti itu tidak diterima di sisi-Nya?” “Kenapa Allah menciptakan neraka jika keberadaannya dibenci?”

Ada yang bertanya sebaliknya, “Kenapa Allah tidak meciptakan kebaikan saja, jika hanya itu yang disukai” atau “Kenapa Allah tidak membuat hamba-Nya menjadi orang yang baik semuanya, jika orang yang seperti itu yang akan diterima di sisi-Nya?” atau “Kenapa Allah tidak mencukupkan surga saja jika surga adalah tempat yang diridoi?”

Pertanyaan-pertanyaan di atas memang membuat kita sering kali bimbang. Bahkan, jika dilanjutkan lebih dalam akan menjadikan kita nyaris meragukan Allah. Begitulah jika dinalar dengan kemampuan seorang hamba yang sangat terbatas. Tidak jarang seorang hamba menjadi kufur karena dia mengejar pertanyaan di atas untuk mencari jawabannya yang pas menurut logikanya.

Seseorang yang memaksa mencari jawaban dari pertanyaan di atas, dikhawatirkan dia terjebak ke dalam kesesatannya sendiri, karena dia menilai pertanyaan tersebut dengan mengukur rasionalisasi seorang manusia. Semisal seseorang berkata, “jika aku tidak suka barang itu, maka aku tidak akan memilihnya untuk aku miliki” atau “jika aku benci pada barang itu, maka aku akan membuangnya” atau “buat apa aku menaruh barang itu jika aku tidak menyukainya”.

Pemahaman seperti itulah yang menjadi pola pikir untuk dijadikan landasan dalam berusaha mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Seorang hamba yang memiliki kemampuan berpikir yang sangat terbatas, jangan pernah bermimpi untuk memahami keluasan ilmu Allah. Hal itu laksana setetes air ingin membandingi air di lautan luas.

Kehendak Allah; antara rido dan benci

Tentang kebaikan dan keburukan, orang yang saleh dan orang yang jahat, atau surga dan neraka,keberadaan semua itu adalah atas kehendak Allah. sementara kehendak Allah berdimensi antara keridoan dan kebencian. Hal inilah yang banyak orang tidak memahaminya. Mereka hanya memahami bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti diridoi. Sementara yang tidak diridoi tidak mungkin dikehendaki keberadaannya.

Semua apa yang ada di dunia ini pasti atas kehendak Allah, namun apa yang dikehendaki Allah belum tentu keberadaannya diridoi. Artinya, apa yang ada di dunia ini ada yang diridoi dan ada pula yang dibenci. Untuk memahami hal ini harus memahami bahwa antara kehendak, rido, dan benci Allah itu merupakan sesuatu yang berbeda; kehendak Allah lain dengan rido dan benci-Nya.

Berbeda denga pemahaman Mu’tazilah, mereka memahami bahwa kehendak, keridoan, dan kebencian Allah itu satu.

Letak kesamaan Kehendak Allah dan soal ujian pilihan ganda

Memang, secara logika, siapa yang berkehendak pada sesuatu yang tidak disukai atau dibenci? Pasti tidak ada. Siapa yang berharap sesuatu yang disukai dan selain itu berharap sesuatu yang dibenci? Pasti hanya berharap sesuatu yang disukai. Begitulah logika seorang manusia yang sekedar mampu membandingkan dua hal yang berlawanan. Seorang manusia tidak akan mampu menelusuri lebih dalam untuk memahami itu kecuali dengan cara menyadari dan meyakini.

Namun, tentang kehendak, keridoan, dan kebencian Allah dapat kita pahami dengan soal ujian pilihan ganda. Dalam soal ujian pilihan ganda, ada pilihan A, B, C, D, dan E. Kelima pilihan tersebut merupakan sesuatu yang sama-sama dikehendaki keberadaannya oleh si pembuat soal. Namun, dari lima pilihan tersebut, si pembuat soal hanya menyukai satu pilihan, sementara yang lain dibenci. Arti disukai adalah pilihan yang benar. Seseorang yang memilih pilihan yang benar dia akan disukai dengan cara diberi nilai yang positif. Sebaliknya, jika seseorang memilih yang tidak disukai, artinya salah memilih, maka dia akan dibenci dengan cara diberi nilai negatif.

Begitu juga tentang kebaikan dan keburukan atau neraka dan surga. Semua itu keberadaannya sama-sama dikehendaki, namun dari salah satunya ada yang disukai dan yang lain dibenci. Seorang hamba yang memilih kebaikan dia akan mendapatkan nilai positif dari Allah, karena itu yang Allah sukai. Sebaliknya, jika seseorang memilih keburukan, maka dia akan mendpatkan nilai negatif dari Allah.

Jadi, semua apa yang ada di dunia ini adalah pilihan. Seorang hamba yang beruntung dialah yang benar pilihannya dari dua pilihan dari Allah. Seorang hamba yang celaka bila dia salah memilih dari dua pilihan Allah tersebut.

Kesimpulan

Di dunia ini yang berkaitan dengan ketuhanan ada dua hal. Pertama, sesuatu yang bisa dijangkau dengan logika sehingga bisa dipahami. Kedua, sesuatu yang tidak mungkin dijangkau dengan logika tapi harus dijangkau dengan hati dengan cara meyakini. Agama memang sering kali bertentangan dengan logika, namun pada akhirnya harus diterima dengan iman.

Cyber Dakwah

Pluralisme Agama ; Toleransi bukan Justifikasi

“Pluralisme, Sekualarisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama islam”

Demikianlah salah satu fatwa MUI tentang beberapa paham yang berkembang di tengah-tengah umat islam belakangan ini. Sebuah fatwa yang tentunya akan menimbulkan pro-kontra. Mengingat paham ini sudah menjadi paham yang diikuti tidak sedikit umat islam di masa sekarang ini, khususnya di indonesia. Fatwa ini diputuskan pada tahun 2005.

Khusus untuk yang pertama, pluralisme, makin banyak dikenal setelah sang guru bangsa, Gus Dur meninggal. Beliau mendapat julukan “Bapak Pluralisme”. Memang penyematan gelar “Bapak Pluralisme” tidaklah salah, karena Gus Dur selalu mendengungkan pentingnya hidup berdampingan dengan orang yang tidak sepaham atau seagama. Beliau tidak pernah sedikitpun menyinggung-nyinggung masalah agama. Agama bagi beliau adalah pilihan masing-masing orang, sehingga biarkan saja orang-orang menentukan sendiri pilihannya, tanpa disuruh atau dilarang. Beliau pernah berkata “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah bertanya apa agama dan sukumu”. Kata-kata ini sungguh menyiratkan bahwa pluralisme ini bagi beliau sudah mendarah daging. Maka tak heran kalau beliau dekat dengan orang-orang dari berbagai agama. Beliau tidak pernah gentar menolong yang tertindas, walaupun yang ditolong adalah non muslim.

Lalu apa sebenarnya pluralisme agama ini sampai-sampai MUI memfatwakan bahwa paham ini bertentangan dengan Islam?. Adakah sisi kesesatannya?. Atau hanya salah dalam memahami saja?. Pertanyaan ini penting untuk dijawab agar apa yang diperdebatkan itu diketahui akar masalahnya. Hawatirnya, antara yang melarang pluralisme dan yang mendukung pluralisme memiliki pemahaman yang berbeda, sehingga sesungguhnya mereka bukan sedang berbeda pendapat.

Untuk mengawali hal ini, perlu kita bahas terlebih dahulu apa yang disebut dengan pluralisme agama. Secara bahasa, dalam KBBI, kata pluralisme berarti keadaan masyarakat yang majemuk. Maka yang dimaksud dengan pluralisme agama adalah paham yang mengakui bahwa agama yang ada ini majemuk/plural, lebih dari satu. Tapi adanya pengakuan bahwa agama yang ada bersifat majemuk, bukan lantas mengakui semua agama benar. Yang diakui sebagai agama yang benar hanyalah agama yang dipilih, misalnya Islam. Jadi seorang muslim mengakui agama bersifat majemuk bukan lantas berfikir bahwa agam kristen, hindu, budha, konghuchu atau yang lain memiliki nilai kebenaran yang sama dalam islam. Yang diyakini keberannya tetap islam. Namun penting juga untuk mengakui bahwa ajaran dari semua agama itu benar menurut pemeluknya masing-masing. Penting juga meyakini bahwa ada beberapa ajaran dari agama lain yang mengandung kebenaran.

Pluralisme seperti yang dipahami ini sudah ada penegasan dalam Qur’an. Misalnya seperti firman Allah berikut ini,

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآَمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya”

Melalui ayat ini, Allah hendak menegaskan bahwa sejak awal memang tidak berkehendak menjadikan manusia semua beriman kepada-Nya. Terbukti masih banyak yang orang tidak beriman, bahkan lebih banyak daripada yang beriman. Seandainya saja Allah berkehendak untuk menjadikan semua manusia beriman, maka niscaya semuanya akan beriman. Maka secara tidak langsung Allah memerintahkan manusia untuk mengetahui tentang kemajmukan kepercayaan ini.

Kalau memang yang demikian adanya, mengapa MUI menyebutkan pluralisme sebagai paham yang bertentangan dengan islam?. Ternyata MUI, dalam memahami pluralisme berbeda dengan pemahaman di atas. Menurut MUI, pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga. Ketika ini yang dimaksud dengan pluralisme, maka bisa diterima fatwa MUI ini. Hanya saja, pengertian pluralisme yang disebut MUI ini sesungguhnya bukan pluralisme, melainkan inklusivisme, karena dalam inklusivisme itulah ada pengakuan bahwa keyakinan orang lain juga benar. Sedangkan pengertian yang tepat dari kata pluralisme agama adalah yang di atas.

Dengan asumsi bahwa pluralisme agama adalah paham yang mengakui adanya kemajemukan agama, tanpa meyakini bahwa semua agama benar, maka perlu adanya sikap toleransi. Mengingat, apalah artinya pengakuan adanya kemajemukan agama kalau tanpa ada sikap toleran pada pemeluk agama lain. Sama halnya ketika mengakui kemajemukan sukubudaya, maka sebuah suku harus bersikap toleran pada suku yang lain. Dari sinilah lalu akan timbul adanya kehidupan bersama yang damai, berdampingan tanpa ada pertikaian. Dan inilah yang mulai dulu dibangun oleh Nabi Muhammad saw. Lebih khususnya sejak beliau hijrah ke Madinah.

Allah Menghendaki Pluralitas Agama

Apakah kita masih gerah karena banyak orang yang tidak memeluk agama Islam?. Apakah kita masih emoh berhubungan dengan non muslim?. Apakah kita berharap mereka semua beriman?. Apakah kita tetap ngotot agar mereka berkeyakinan seperti apa yang kita yakini. Mari perhatikan ayat berikut,

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآَمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya”[1] (QS: Yunus: 99)

Segala sesuatu yang terjadi pasti akan sesuai dengan kehendak Allah. Begitu juga dalam masalah keyakinan, sejak awal Allah memang tidak berkehendak menjadikan manusia semua beriman kepadanya. Terbukti masih banyak yang orang tidak beriman, bahkan lebih banyak daripada yang beriman. Seandainya saja Allah berkehendak untuk menjadikan semua manusia beriman, maka niscaya semuanya akan beriman.[2] Tidak sulit bagi Allah untuk menjadikan mereka beriman. Allah tidak perlu menciptakan orang yang inkar pada-Nya. Allah tidak perlu nyuruh para Rasul-Nya. Toh semua ada pada kehendak Allah bukan pada usaha para Rasul. Allah berfirman,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al-)

Oleh karen itu, sudah menjadi keharusan untuk tidak memaksa orang lain untuk memeluk Islam. Sebab walaupun dipaksa bagaimanapun, dengan berbagai cara, tetap tidak akan beriman kalau Allah tidak menghendaki mereka beriman. Bahkan kalau sampai menginginkan semua manusia berimana termasuk melangkahi keinginan Allah, karena Allah sendiri tidak menginginkannya. Maka dari itu, nabi menyebarkan Islam tidak menggunakan kekerasan. Melainkan menggunakan cara-cara yang santun. Mengingat nabi tidak bisa membuat orang lain beriman. Yang menjadikan mereka beriaman adalah Allah. Tugas nabi hanya menyampaikan saja, sebaimana pesan Allah berikut ini,

…إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ…

“…Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah)…”.[3] (QS. Syuro: 48)

Makanya dalam ayat di atas Allah bertanya “Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya”. Substansi pertanyaan sindiran kepada nabi bahwa walaupun nabi memaksa semua manusia untuk berimana niscaya tidak akan beriman. Sebab allah memang menginginkan tidak semuanya beriman. Dan kata لو  dalam kajian kebahasaan disebut harfu imtināʻin li imtināʻin, dalam arti apa yang diandaikan tidak akan terjadi karena syaratnya tidak terjadi, bahkan yang terjadi sebaliknya.[4]

[1] Departemen Agama RI, h. 221

[2] Abu Muhammad Abdul Haq Bin Ghalib Bin Abdurrahman Bin Tamam Bin Athiyyah al-Dalusy, al-Muharrar al-Wajīz, (Maktabah Syamilah), j.3, h.392

[3] Departemen Agama RI, h.489

[4] Tājuddin al-Subkiy, Jam’ul Jawāmi’, (Beirut: Dar al-Kutb al-Islmiyyah), j.1, h.557

Menyikapi Fitnah

Korelasi fitnah dengan komunikasi

Sebagai manusia yang sehari-hari tidak akan pernah lepas dari komunkiasi dengan orang-orang di sekitar, tentu -kadang – terjadi komunikasi yang tidak baik dan sportif. Hidup di tengah-tengah suatu komunitas, lingkungan, atau masyarakat, yang di dalamnya beraneka ragam karakter manusia, sudah pasti terjadi komunikasi yang sering diselewengkan. Dari karakter manusia yang bermacam-macam dan tidak akan lepas dari kmunikasi dengan orang-orang, di saat itulah fitnah timbul ke permukaan dan merambah di tengah-tengah komunitas, lingkungan, dan masyarakat.

Ketika fitnah muncul dan menyebar dari satu mulut ke banyak telinga, lalu menjadi menu pebicaraan sehari-hari di kerumunan orang-orang, di saat itu seseorang yang menjadi korban akan mengalami komunikasi yang buruk. Dia sulit berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, seolah-seolah dirinya telah menjadi orang yang hina atau menjadi sampah masyarakat. Merasa tidak nyaman menjalin komunikasi dengan orang-orang sekitarnya.

Fitnah memang lebih kejam dari pada pembunuhan. Mungkin, pembunuhan hanya menghilangkan nyawa seseorang, kemudian orang yang dibunuh –fisik dan segala yang berhubungan dengan dirinya- tidak ada, hilang seiriang nafas terakhirnya berhembus. Namun, kekejaman fitnah akan menghilangkan kehormatan, nama baik, martabat, dan kemuliaan seseorang. Orang yang menjadi korban fitnah memang tidak kehilangan nyawa, namun baginya, dia merasa kehilangan nafas kehidupan di tengah-tengah masyarakat, dia merasa ditelanjangi di hadapan banyak orang, dia merasa wajahnya dilempari kotoran, bahkan –jika hatinya tidak kuat- dia merasa putus asa. Sesuatu yang berhubungan dengan dirinya, semuanya menjadi buruk.

Memahami faktor dan orang-orang yang menyebarkan fitnah

Fitnah yang tersebar pasti muncul dari mulut orang-orang yang ada di sekitar. Bahkan, –kadang tidak disangka- orang yang menjadi dalang tersebarnya fitnah adalah orang-orang terdekat. Namun, sebelum merasa ruwet dan mengvonis siapa yang menjadi dalang penyebaran fitnah, perlu dan penting untuk diketahui dan memahami faktor dan karakter orang-orang tersebut.

Orang-orang yang berada di sekitar kita, masing-masing memiliki karakter yang bermacam-macam. Ada orang yang berkarakter iseng membicarakan kejelekan orang lain dan ada orang yang hobi menjelek-jelekkan dan bahkan membuat isu untuk menfitnah.  Orang yang berkarakter seperti ini, sebenarnya tidak perlu dihiraukan, karena jika dihiraukan kita akan menjadi ruwet. Biarkan saja, toh nanti dia akan berhenti sendiri. Orang lain yang mendengarnya pun akan memaklumi dan tidak percaya dengan omongannya. Orang lain akan menganggap orang tersebut memang karakternya begitu.

Ada juga orang yang sangat tidak perlu dihiraukan, yaitu orang-orang yang ikut-ikutan menyebarkan fitnah. Orang yang seperti ini biasanya terpengaruh oleh kondisi atau orang-orang di sekitarnya. Tentu, dia ikut-ikutan menfitnah tanpa tahu tentang apa dan siapa yang difitnah. Jadi, untuk apa menghiraukan orang yang melakukan sesuatu tanpa dasar apa-apa? Cukup maklumi saja.

Salah satu juga yang harus dipahami ketika fitnah muncul adalah orang-orang yang memiliki kepentingan. Tidak jarang ada orang menfitnah karena ada kepentingan, baik kepentingan untuk dirinya atau kepentingan untuk menjatuhkan orang yang difitnah. Fitnah semacam ini yang rawan sangat kejam. Fitnah yang muncul karena memang karakter sebagaimana di atas, mugkin tidak terlalu bahaya. Fitnah yang membayakan adalah fitnah karena kepentingan. Fitnah ini biasanya menggunakan strategi jitu untuk menyebarkannya, sehingga seolah fitnah yang menyebar benar-benar nyata.

Selain itu, ada faktor yang tidak kalah penting untuk dipahami. Yaitu kondisi atau posisi seseorang yang difitnah. Semisal kondisi seseorang yang sedang beruntung, sukses, atau bahagia. Ketika ada orang yang tidak suka atau benci pada orang yang beruntung, sukses atau bahagia tersebut, orang yang benci akan menghilangkan dan menghancurkan keburuntungan, kesuskesan dan kebahagiaan itu, dengan berbagai cara termasuk menfitnah.

Semisal juga, seseorang yang memiliki posisi strategis, kedudukan yang mapan, atau martabat yang tinggi. Ketika ada orang yang tidak suka atau benci, dia akan berusaha menjatuhkan juga dengan berbagai cara, tidak lain termasuk menfitnah. Lebih-lebih orang yang benci itu berkepentingan untuk menggati kedudukan orang yang difitnah, tentu akan lebih semangat menyebarkan fitnah.

Sikap bijak ketika fitnah muncul dan menyebar

Memang terasa geram, telinga panas, hati mendidih ketika ada orang menfitnah. Jika tidak kuat maka kemarahan akan memuncak lalu menjadi tindakan yang ganas untuk membalas orang yang menfitnah. Namun, bagi bagi orang yang memiliki hati yang kuat, sebesar apapun fitnah yang menimpa dirinya, keistiqamahan untuk bersikap bijak tidak akan berubah menjadi  kemarahan yang kemudian bertindak keras dan kasar.

Sebaiknya, ketika ada orang membicarakan kejelekan kita ataupun menfitnah kita, kita jangan sampai mencari-cari atau menyelidiki siapa yang berbicara demikian, karena hal itu akan mengakibatkan kita menjadi su’uzhan pada orang-orang. Akibatnya, orang-orang yang ada di sekitar kita menjadi obyek penyelidikan kita, sehingga pikiran kita menjadi sensitif-negatif. Di saat bertemu dengan orang-orang, dalam pikiranna menduga seraya berkata, “Mungkin orang ini yang menjelek-jelekkan saya”, atau “Jangan-jangan orang ini yang menfitnah saya”. Setelah orang yang diselidiki ditemukan, -jika hati kita lemah-, kita akan benci atau malah bisa dendam pada orang tersebut.

Lebih baiknya lagi, ketika ada orang membicarakan kejelekan kita atau menfitnah kita, kita sikapi dengan bijak, dengan cara jadikan pembicaraan itu sebagai koreksi bagi diri kita. Mungkin saja sikap atau ucap yang timbul dari kita memang ada yang salah, sehingga orang-orang membicarakannya. Jika memang sikap atau ucap kita tidak salah, kita jadikan sebagai ajang belajar –atau ujian- untuk lebih bersabar menahan emosi dan menerima sikap orang-orang dalam berkomunikasi dan berinteraksi.

Kita jangan sibuk menyelidiki orang yang membicarakan kejelekan kita atau yang menfitnah kita. Karena hal itu akan hanya membuat diri kita menyimpan benci dan dendam. Kita sibukkan saja dengan menyelidiki sikap atau ucap kita, kira-kira sikap dan ucap yang mana yang salah atau jelek. Jika memang ada, kita sadari lalu perbaiki. Jika memang tidak ada, anggap saja itu sebagai ujian dalam menjalani hidup. Orang-orang yang menjadi mulia di sisi Allah, semuanya pasti melalui atau menempuh ujian berupa fitnah. Jadi, ketika kita difitnah, -insyaallah- kita calon orang yang mulia di sisi Allah, asal kita menyikapi dengan bijak dan ikhlas menjalaninya.

Dan, kita jangan merasa heran dengan orang yang benci pada kita, dan dia menjelek-jelekkan atau menfitnah kita. Karena mata (orang) yang benci pada kita, setiap apa yang muncul dari diri kita, semuanya tampak terlihat jelek baginya, apalagi memang ada yang salah dari diri kita, justru itu yang dicari-cari oleh mata yang benci untuk kemudian disebarluaskan. Orang yang benci pada kita akan senang jika kita salah. Jika kita benar, dia akan semakin benci pada kita. Begitulah orang yang memelihara kebenciannya. Na’udzubillah

Bait-bait Kepasrahan terhadap fitnah

Jika ada yang mencari orang yang paling bejat

Maka tak perlu ke mana-mana

Akulah orang yang paling bejat

Jika ada yang menanyakan siapa orang yang paling bodoh

Maka tak perlu bingung untuk mencari jawabannya

Karena hanya akulah orang yang paling bodoh

Jika ada yang merasa berdosa

Maka buang saja perasaan itu

Karena tidak ada selain diriku yang paling berdosa

Jika ada yang merangkai kata untuk menjelek-jelakkan diriku

Maka percuma saja kata-kata itu diucapkan padaku

Karena tak ada kata yang mampu mengungkapkan kejelekanku

Aku lebih jelek dari semua kata yang bermakna jelek

Jika ada yang bersemangat menghina diriku

Maka percuma saja semangat itu diwujudkan

Karena sekuat apapun hinaan itu,

masih tetap kalah dengan kehinaan diriku sendiri

Jika ada yang hobi menfitnahku

Maka percuma saja fitnah itu disebarkan

Karena siapa saja sudah tahu siapa diriku

Jika masih ada yang memujiku

Berarti itu omong kosong

Jika masih ada yang menganggap diriku baik

Berarti itu kesalahpahaman

Jika ada yang bertanya tentangku

Lebih baik aku mengakusetan

Dari pada mengaku siapa aku sebenarnya

Rabu, 26 Februari 2014

Menahan Amarah Dan Memaafkan

……. وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ } [آل عمران: 134]

“……. dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.

Berangkat dari pemahaman ayat di atas, dijelaskan bagaimana seorang muslim yang baik, seorang muslim yang berpegang teguh pada prinsip Islam. Mereka adalah orang-orang yang berkriteria mampu menahan amarahnya dan mudah memaafkan. Pemahaman Sayyid Alawi bin Sayyid Abbas al-Maliki al-Hasani tentang orang yang menahan amarahnya dan memaafkan –berdasarkan ayat di atas-, orang yang menahan amarahnya adalah orang yang menahan diri untuk tidak menunjukkan amarahnya padahal dia mampu untuk melakukan itu (ma’a al-qudrati ‘ala dzalika). Sementara orang yang memaafkan adalah orang yang meninggalkan pembalasan kepada orang yang menzhalimi dirinya (at-tarikina ‘uqubah).

Menggarisbawahi pemahaman Sayyid Alawi

[Tentang ungkapan “padahal dia mampu melakukan itu”]

Pemahaman Sayyid Alawi tersebut, ada yang perlu dan penting digarisbawahi, yaitu tentang “padahal dia mampu melakukan itu” dan “meninggalkan pembalasan”. Ungkapan “padahal dia mampu melakukan itu” merupakan titik tekan untuk seseorang yang benar-benar mampu menahan amarahnya atau emosinya. Karena ada orang yang seolah mampu menahan amarahnya atau emosinya, padahal karena dia tidak mampu untuk menunjukkan itu. Ketidakmampuannya mungkin karena posisi atau kapasitas dirinya ataupun kondisi sekitar. Semisal karena dia sebagai bawahan, sehingga untuk menunjukkan emosinya dia masih berpikir dua kali. Andai saja dia seorang atasan atau orang yang memiliki posisi yang tinggi, dia pasti akan dengan gampang menunjukkan amarah atau emosinya, kemudian disusul dengan tindakan yang sesuai dengan emosi dan amarahnya.

Atau, mungkin karena kondisi sekitar. Semisal karena tempatnya bukan wilayahnya sendiri atau karena ada orang yang membuat dirinya tidak nyaman untuk menunjukkan amarah atau emosinya. Sehingga, ketika amarah atau emosinya memuncak, dia tahan karena mempertimbangkan kondisi sekitar. Andai saja kondisinya memungkinkan dirinya gampang menunjukkan amarah atau emosinya, dia pasti langsung menunjukkannya dengan seenaknya saja, sesuai tingginya amarah dan emosinya.

Padahal yang dimaksud orang yang benar-benar mampu menahan amarah atau emosi adalah orang yang mampu mengontrol atau mengendalikannya, meski dalam kapasitas atau posisi apapun dirinya atau kondisi sekitar. Dia mampu menahan amarah atau emosinya bukan karena faktor X, melainkan karena memang dari diri sendiri (faktor in). Sesuatu yang kuat dari dalam akan tetap kokoh ketika diterjang oleh sesuatu yang datang dari luar (faktor X).

Cirri-ciri orang yang tak mampu menahan amarah atau emosinya, selain gampang menunjukkan kemarahannya, juga mudah cepat-cepat melakukan tindakan, tanpa memikirkan atau mempertimbangkan resiko, akibat, atau konsekwensinya. Dengan kata lain, gegabah. Orang yang gegabah melakukan sesuatu sesuai amarah atau emosinya, tidak berhati-hati, seenaknya sendiri.

Suatu usaha, upaya, atau aktifitas yang didorong oleh perasaan gegabah, akibatnya rawan tidak maksimal, tidak baik, bahkan bisa gagal dan hancur. Oleh sebab itu, ketika usaha, uapaya, atau aktifitas gagal atau hancur, jangan sampai menyalahkan orang lain, salahkan diri sendiri yang tidak mau berpikir dua kali dalam melakukan sesuatu. Tapi, terkadang orang yang berkarakter tidak bisa menahan amarah atau emosi, lebih sering menyalahkan orang lain ketika dia gagal melakukan sesautu.

[Tentang ungkapan “meninggalkan pembalasan”]

Memaafkan merupakan salah satu sifat mulia dalam Islam. Sebagai seorang muslim yang baik tentu harus memiliki sifat pemaaf. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ayat di atas, bahwa salah satu prinsip Islam gampang memaafkan kesalahan orang lain. Menurut pemahaman Sayyid Alawi, ‘memaafkan’ adalah meninggalkan pembalasan kepada orang yang berbuat zhalim pada diri kita.

Arti meninggalkan pembalasan, seseorang yang memaafkan tidak hanya sekedar kata saja, tetapi juga ada wujud konkrit dari suatu sikap, yaitu tidak membalas dengan tindakan serupa yang telah dilakukan. Memang berat sekali memaafkan kesalahan orang lain, labih-lebih ketika kesalahan orang telah membuat emosi memuncak tinggi. Sehingga, tidak jarang orang begitu saja memaafkan, meski memaafkan dengan ungkapan, masih saja emosi berkorbar. Akibatnya rasa dendam untuk melakukan reaksi tetap membara dan kemudian diwujudkan dengan tindakan yang sama atau bahkan lebih parah.

Dari pemahaman Sayyid tersebut, sebenarnya maksud utama dalam memaafkan adalah menghilangkan rasa benci dan melupakan kesalahan orang lain yang telah terjadi. Kebencian yang muncul karena kesalahan orang lain, jangan sampai dipelihara dengan cara mengincar orang tersebut untuk melakukan reaksi. Melupakan kesalahan orang lain merupakan solusi ketika hidup ini terasa tidak nyaman karena kesalahan orang lain. Salah satu sebab kenapa seseorang kadang hidupnya terasa tidak nyaman, selalu saja ada masalah yang muncul, adalah karena sulit memaafkan kesalahan orang lain.

Memaafkan sebenarnya kunci utama untuk menjalani hidup dengan tenang, baik, dan indah. Kenapa hidup ini kadang tak pernah damai, karena kita sendiri tidak mau damai dengan orang lain. Atau lebih tepatnya, karena tidak mau mengajak hati sendiri untuk berdamai. Sehingga, hati yang seharus damai, tapi tidak merasakan itu, karena dalam hati masih ada rasa benci dan dendam pada orang lain. Hati yang damai itu lepas dari rasa benci dan dendam.

Dan juga, kenapa ada seseorang yang hidupnya seolah sempit dan sesak? Karena ketika ada orang yang berbuat salah padanya, dia tidak mau memaafkan. Semisal, ketika si B melakukan kesalahan pada si A, si A tidak mau memaafkan. Karena tidak mau memaafkan, tentu dalam hatinya ada rasa benci atau bahkan dendam. Ketika si A benci pada si B, pasti si A ada rasa ketidaknyamanan pada si B yang membuat si A kadang enggan untuk bertemu dengan si B. Sehingga si A selalu saja berupaya menghindar dari si B.

Coba bayangkan, andai saja dalam suatu lingkungan yang kita tempati ada beberapa orang yang tidak dimaafkan karena suatau kesalahan. Selalu menghindar atau tidak ingin bertemu dengan orang-orang tersebut karena benci. Ketika hendak keluar rumah atau menghadiri suatau acara, pikirannya enggan mau keluar atau hadir karena takut bertemu dengan orang-orang yang tidak dimaafkan. Sehingga, hanya bisa terdiam di dalam ruangan bersama rasa benci yang menggegoti hati yang kemudian menjadikan hidup ini terasa sempit dan sesak.

Demikian itu sebatas rasa benci, bagaimana jika kemudian rasa dendam kepada orang yang melakukan kesalahan dipelihara, sehingga ada rencana untuk melakukan reaksi? Jika hal ini yang terjadi di suatu lingkungan atau masyarakat, maka hidup ini menjadi tidak hanya tidak nyaman bahkan bisa hancur. Bayangkan saja jika setiap orang yang melakukan kesalahan dibalas juga dengan tindakan yang serupa. Andai saja ada beberapa orang yang melakukan kesalahan, lalu semua orang tersbut dibalas, atau orang yang dibalas juga tidak memaafkan sehingga saling membalas. Kira-kira apa yang terjadi di lingkungan atau masyarakat tersebut?

Jika di suatu lingkungan, komunitas, organisasi, bahkan Negara, tidak ada kenyamanan atau kedamaian yang bisa dirasakan, mungkin karena orang-orang yang ada di dalamnya masih memelihara kebencian atau menwujudkan dendam kepada orang yang melakukan kesalahan pada dirinya. Saling menjelekkan, saling menjatuhkan, saling sikut, dan saling serang merupakan contoh konkrit dari tidak mau memaafkan.

Kenali Calon Pasangan Lebih Dalam

Jika hubungan pernikahan tanpa didasari cinta, maka ketentraman dalam rumah tangga sulit diraih. Menjalani hidup bersama orang yang tidak dicintai hanya akan membuat kita merasakan hampa, gersang, dan usang. Sedikit pun rasa bahagia tak dapat dirasakan, justru penyesalan yang terus menyala.

Rasanya memang sulit, jika harus menikahi seseorang sedangkan kita tidak ada perasaan cinta atau kecenderungan yang membuat kita ingin menikahinya, meskipun kriteria yang lain sudah terpenuhi.

Tentang hal tersebut dapat direnungkan dalam penyataan hadits berikut,

قَالَ مُسَدَّدٌ : حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ ، حَدَّثَنَا عَاصِمٌ الأَحْوَلُ ، عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الله ، عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ ، قَالَ : خَطَبْتُ جَارِيَةً مِنَ الأَنْصَارِ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم ، فَقَالَ لِي : رَأَيْتَهَا فَقُلْتُ : لاَ فَقَالَ : اذْهَبْ فَانْظَرْ إِلَيْهَا ، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَوَالِدَيْهَا ، فَنَظَرَ أَحَدُهُمَا إِلَى صَاحِبِهِ ، فَقُمْتُ ، فَخَرَجْتُ ، فَقَالَتِ الْجَارِيَةُ : عَلَيَّ بِالرَّجُلِ قَالَ : فَرَجَعْتُ ، قَالَ : فَرَفَعَتْ نَاحِيَةَ خِدْرِهَا ، وَقَالَتْ : إِنْ كَانَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم أَمَرَكَ أَنْ تَنْظُرَ فَانْظُرْ ، وَإِلاَّ فَإِنِّي أُحَرِّجُ عَلَيْكَ أَنْ تَنْظُرَ قَالَ : فَنَظَرْتُ إِلَيْهَا فَتَزَوَّجْتُهَا ، فَمَا تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً كَانَتْ أَحَبَّ إِلَيَّ ، وَلاَ أَكْرَمَ عَلَيَّ مِنْهَا.

Hadits di atas menjelaskan, suatu saat pernah ada sahabat Rasulullah yang ingin menikahi seorang wanita dan Rasulullah menanyakan kepadanya, “Apakah kamu sudah melihatnya” dan ketika sahabat itu mengatakan belum, maka Rasulullah menyuruhnya kembali dan melihat dulu wanita tersebut.

Dari peristiwa tersebut, ada satu pertanyaan, mengapa Rasulullah meminta sahabat itu untuk melihat wanita yang akan dinikahinya? Jawaban yang memungkinkan adalah untuk menumbuhkan perasaan yakin dan tak ada penyesalan setelahnya.

Artinya memiliki kecenderungan hati kepada wanita yang akan dinikahi juga dapat menjadi salah satu faktor yang mendukung pernikahan itu sendiri. Saya sendiri setuju akan hal itu, meskipun di sini bukan selalu bermakna rasa cinta tapi memiliki alasan lain yang menguatkan untuk menikahi seseorang, seperti perasaan nyaman atau suka dan cocok dengan pasangan yang akan dinikahi memang hal yang penting.

Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa ada seorang wanita yang menolak dikawinkan ayahnya. Lalu ia mengadukan hal itu kepada Nabi. Setelah Nabi mendengar aduan perempuan tersebut, Nabi menginginkan ia merelakan apa yang dilakukan ayahnya (mengawinkan dia dengan laki-laki yang ia tidak kehendaki). Beberapa kali Nabi memujuk ia sampai tiga kali. Ketika Nabi melihat ia masih tetap pada pendiriannya (tidak mau kepada laki-laki yang dipilih ayahnya), Nabi bersabda, “lakukanlah apa yang engkau kehendaki”. Tetapi kemudian wanita itu berkata, “saya perkenankan apa yang dilakukan ayah, tetapi saya ingin agar para ayah itu tahu bahwa mereka tidak punya hak apa-apa dalam masalah ini”

Hadits di atas menceritakan tentang seorang perempuan dan ayahnya yang sama-sama memiliki kehendak. Perempuan itu berkehendak untuk memilih cinta sesuai kehendak hatinya. Sementara ayahnya berkehendak agar anaknya menikah dengan laki-laki yang menjadi pilihannya. Memang sulit bahkan mustahil menentukan pilihan yang sama-sama berkehendak, apalagi kehendak cinta yang berlawanan dengan kehendak orang tua. Begitulah tradisi yang sering kali terjadi dalam percintaan, khususnya percintaan ala Siti Nurbaya.

Pemahaman lain dari hadits tersebut, Rasulullah tidak memaksa seseorang yang memang sama sekali tidak memiliki keinginan (suka, cinta, dan sayang) untuk menikah dengan orang yang tidak dikehendakinya. Artinya, Rasulullah juga mempertimbangkan perasaan seseorang yang kosong dari rasa suka dan cinta. Karena itu, Rasulullah bersada:

اذْهَبْ فَانْظَرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

Pernyataaan Rasulullah di atas menjelaskan, bahwa ketika ada orang hendak menikah, maka dia harus mengetahui siapa seseorang yang akan dia nikahi. Karena hal demikian itu lebih patut mengekalkan hubungan pernikahan.

Rasulullah menyuruh orang yang hendak menikah untuk mengetahui seseorang akan dinikahi dengan menggunakan fi’il amar “انظر” tidak menggunkan fi’il amar “ر”. Kedua fi’il amar tersebut –secara umum- memiliki makna yang sama, yaitu melihat. Tapi –secara khusus- kedua lafad tersebut memiliki perbedaan yang signifikan. Fi’il amar “ر” digunakan untuk makna melihat sesuatu untuk diketahui, tapi upaya mengetahuinya tidak dituntut untuk lebih dalam. Artinya, yang penting tahu. Sementara, fi’il amar “انظر”. Upaya mengetahui sesuatu itu dituntut agar lebih dalam. Artinya, obyek yang dilihat harus benar-benar diketahui secara dtail.

Dengan demikian, pemahaman hadits tersebut, menjelaskan bahwa kita harus benar-benar-benar mengetahui, memahami dan mengerti seseorang yang hendak kita nikahi, demi mencari kecocokan yang kemudian menumbukan rasa suka, cinta bahkan sayang.

Untuk memahami seseorang, tentu tidak hanya sekedar melihatnya saja, apalagi mencukupkan satu kali perjumpaan. Oleh sebab itu, hadits di atas menggunakan fi’il amar “انظر”. Makna lafad tersebut tidak hanya melihat, tapi juga berpikir dan merenungkan. Tentu ketika kita berpikir dan merenungkan membutuhkan waktu yang cukup lama, guna memperoleh hasil yang maksimal dan meyakinkan. Lebih-lebih dalam hal menumbuhkan rasa suka, cinta dan sayang. Itu sangat membutuhkan proses yang lebih lama.

Proeses penjajakan pada seseorang untuk memahami dirinya (kepribadiannya) dan lalu menumbuhkan rasa cinta. Bukti adanya cinta bisa diketahui dari komentmen untuk setia sampai jenjang pernikahan dan bahkan sampai mati. Jika hanya sekedar bersenang-senang sesaat, itu tindakan birahi yang bejat.

Jika ada yang mengatakan menjalin cinta itu haram, maka sebenarnya yang dihukumi bukan cintanya, tetapi menghukumi aktifitas yang dilakukannya. Aktifitas birahi yang dibungkus seolah didasari rasa cinta dan sayang. Padahal tidak. Karena dengan adanya jalinan cinta bisa menumbuhkan kasih sayang, akan menjadikan orang yang akan menjalani rumah tangga tidak memiliki beban hati, batin dan pikiran, karena dengan cinta semuanya menjadi pasrah. Jika sudah pasrah, apapun yang terjadi pada keluarganya akan dijalani dengan sabar dan bersukur.

Dengan begitu, ibadahnya tidak akan terganngu, justru akan lebih istiqamah dan khusyuk. Begitulah yang dikehendaki Nabi, kenapa beliau menuyuruh sahabat yang hendak menikah harus melihat lalu memperthatikan perempuan itu, karena agar setelah menikah tidak ada penyesalan yang mengakibtakan kehidupannnya tertekan dan kemudian pernikahan itu tidak menjadi ladang pebuatan dosa.

Karena, jika pernikahan itu membuat seseorang menyesal, hidupnya akan penuh dengan kebimbangan yang kemudian mengakibatkan rawannya pertengkaran, penganiyaan, pengkhianatan, penyiksaan, dan perselingkuhan. Na’udzubillah.

Selasa, 25 Februari 2014

MARAH DAN PUTUS ASA

Alkisah, seekor ular memasuki gudang tempat kerja tukang kayu di sore hari. Kebiasaan si tukang kayu, membiarkan sebagian peralatan kerjanya masih berserakan dan tidak merapikannya.

Nah ketika ular itu berjalan kesana kemari di dalam gudang, tanpa sengaja ia merayap di atas gergaji.

Tajamnya mata gergaji, menyebabkan perut ular terluka. Tapi ular beranggapan gergaji itu menyerangnya.

Ia pun membalas dengan mematuk gergaji itu berkali-kali.

Serangan itu menyebabkan luka parah di bagian mulutnya.

Marah & putus asa, ular berusaha mengerahkan kemampuan terakhirnya untuk mengalahkan musuhnya.

Ia pun membelit kuat gergaji itu. Maka tubuhnya terluka amat parah dan akhirnya ia pun mati..

Kadangkala, di saat kita marah, kita ingin melukai orang lain. Tapi sesungguhnya tanpa disadari, yang dilukai adalah diri kita sendiri.

Mengapa? Karena perkataan dan perbuatan di saat marah adalah perkataan dan perbuatan yang biasanya akan kita sesali di kemudian hari..

Mari, kita sama-sama belajar untuk tidak marah (atau setidaknya mampu meredakan marah) terhadap situasi buruk yang mungkin kita alami.

Minggu, 23 Februari 2014

حقيقة الإيمان

اخرج البخاري ومسلم عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال بينما نحن عند رسول الله صلى الله عليه وسلم إذ طلع علينا رجل شديد بياض الثياب شديد سواد الشعر لايرى عليه أثر السفر ولا يعرف منا احد حتى جلس الى رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنسد ركبتيه الى ركبتيه ووضع يديه على فخذيه فقال اخبرني عن الإيمان فقال الإيمان ان تؤمن بالله وملآئكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره فقال صدقت قال اخبرني عن الإسلام قال الإسلام ان تشهد ان لاإله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت ان استطعت اليه سبيلا قال صدقت فأخبرني عن الإحسان قال الاحسان أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك قال صدقت قال فأخبرني عن الساعة قال ماالمسئول عنها بأعلم من السائل قال فأخبرني عن أماراتها قال ان تلد الأمة رتبها وان ترى الحفاة العراة العالة رعاء الشاء يتطاولون فى البنيان قال عمر رضي الله عنه ثم انطلق ذالك الرجل فلبثت مليا اي طويلا قال لي صلى الله عليه وسلم ياعمر أتدري من السائل فقلت الله ورسوله اعلم قال انه جبريل عليه السلام اتاكم ليعلمكم دينكم كذا فى المصابح .
ثم اعلم ان الإيمان ثنائي عند ابي حنيفة رحمه الله تعالى تصديق بالجنان واقرار باللسان وهو الركن الأعظم كالدليل عليه وأما العمل ليس بجزء لا من مطلق الإيمان ولا من الايمان الكامل فلا يقبل الإيمان الزيادة والنقصات أصلا ويكون تارك العمل مؤمنا ولكن يكون فاسقا
وثلاثي عند الشافعي والعلماء المحدثين واهل التصوف رحمهم الله تعالى تصديق بالجنان واقرار باللسان وعمل الاركان لما اخرجه الشيرازي عن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الإيمان بالله الاقرار باللسنا وتصديق بالقلب وعمل بالأركان كذا في الجامع الصغير
والعمل جزء من حقيقة الايمان عند المعتزلة والخوارج حتى يكون مرتكب الكبيرة خارجا عن الايمان عندهما ويدخل فى الكفر عند الخوارج ولا يدخل فى الكفر عند المعتزلة فيثبتون منزلةً بين الايمان والكفر .
وعند الشافعي واهل الحديث واهل التصوف الأعمال جزء من الايمان الكامل لما اخرجه ابن حبان عن ابن عمر رضي الله قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يقبل ايمان بلا عمل ولا عمل بلا ايمان كذا فى الجامع الصغير لا مِن حقيقتِه فباخلال العمل يكون ايمانه ناقصا لا كاملا فيكون الايمان عنده قابلا للزيادة والنقصان بزيادة العمل ونقصانه .
فان قيل قبول الزيادة والنقصان مقطوع به نقلا وعقلا ، اما نقلا فلقوله تعالى واذا تليت عليهم آياته زادتهم ايمانا ولقوله صلى الله عليه وسلم لو وزن ايمان ابي بكر بايمان جميع الخلائق لرجح بهم ، واما عقلا فللزوم التساوي حينئذ بين ايمان نبيّنا محمد صلى الله عليه وسلم وبين ايمان واحد من امته وبداهة العقل تحكم بخلافه قُلنا الايمان هو التصديق والناس مستوية الاقدام فيه والزيادة والنقصان انما هي في ثمرات الايمان لا في حقيقة الايمان الذي هو التصديق القلبي وقيل مَن شهِد وعمل واعتقد فهو مخلص ومن شهد وعمل ولم يعتقد فهو منافق ومن شهد واعتقد ولم يعمل فهو فاسق ومن أخل بالشهادتين فهو كافر .

اه‍ خزينة الاسرار للسيد محمد حقى النازلى

Rabu, 19 Februari 2014

Wujudku sebagaimana Kataku

Telah lama aku merangkai kata

Telah banyak kata yang kutata

Telah sekian lembar yang kutulis dengan kata

Aku selalu berusaha memperindah kata

Aku senantiasa berupaya memberi makna dengan kata

Aku semakin asyik menulis kata

Namun

selama kata yang kurangkai

aku sendiri tak seindah kataku

sebanyak kata yang kutata

aku sendiri tak bermakna sebanyak kataku

sekian lembar yang kutulis dengan kata

aku sendiri tak menulis kata pada hatiku

Mungkinkah…?

aku hanya mampu merangkai kata

tidak mampu merangkai hidup agar indah

aku hanya mampu menata kata

tidak mampu menata hari untuk lebih bermakna

aku hanya mampu menulis kata pada lembaran

tidak mampu menulis kata pada hati agar merubah diri

sehingga

aku tegolong KABURA MAQTAN

(hanya sekedar perkataan

tak pernah menjadi kenyataan)

Allah-ku

Kepada siapa lagi aku akan mengadu

Jika bukan pada-Mu

Aku ingin berwujud sebagaimana kataku

Du'a sebelum membaca sholawat


اللهم إني نويتُ بصلاتي على النبيّ صلى الله عليه وسلم إمتثالا لأمرك وتصديقا لنبيّك محمّد صلى الله عليه وسلم ومحبّةً فيه وشوقاً اليه وتعظيماً لقدره ولكونه اهلا لذالك فتقبّلها منّي بفضلك واحسانك واَزِلْ حجابَ الغفلةِ عن قلبي واجعلني مِن عبادِك الصالحين ووفقني لقرائتها على الدوام بجاهه عندك . اللهم زِدْهُ شَرَفاً على شَرَفِه الذي اَوْلَيْتَه وعِزًّا على عزّه الذي اعطيتَه ونورا على نوره الذي منه خلقتَه واعلِ مقامَه في مقاماتِ المرسلين ودرجته في درجات النبيّين واسألك رضاك ورضاه يارب العالمين مع العافيةِ الدائمةِ والموتِ على الكتابِ والسنةِ والجماعةِ وكلمتي الشهادة على حقيقتها مِن غيرِ تبديلٍ ولا تغييرٍ واغفر لي ما ارتكبتُه بفضلك وجودك وكرمك ياارحم الراحمين . وصلى الله على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين