Korelasi fitnah dengan komunikasi
Sebagai manusia yang sehari-hari tidak akan pernah lepas dari komunkiasi dengan orang-orang di sekitar, tentu -kadang – terjadi komunikasi yang tidak baik dan sportif. Hidup di tengah-tengah suatu komunitas, lingkungan, atau masyarakat, yang di dalamnya beraneka ragam karakter manusia, sudah pasti terjadi komunikasi yang sering diselewengkan. Dari karakter manusia yang bermacam-macam dan tidak akan lepas dari kmunikasi dengan orang-orang, di saat itulah fitnah timbul ke permukaan dan merambah di tengah-tengah komunitas, lingkungan, dan masyarakat.
Ketika fitnah muncul dan menyebar dari satu mulut ke banyak telinga, lalu menjadi menu pebicaraan sehari-hari di kerumunan orang-orang, di saat itu seseorang yang menjadi korban akan mengalami komunikasi yang buruk. Dia sulit berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, seolah-seolah dirinya telah menjadi orang yang hina atau menjadi sampah masyarakat. Merasa tidak nyaman menjalin komunikasi dengan orang-orang sekitarnya.
Fitnah memang lebih kejam dari pada pembunuhan. Mungkin, pembunuhan hanya menghilangkan nyawa seseorang, kemudian orang yang dibunuh –fisik dan segala yang berhubungan dengan dirinya- tidak ada, hilang seiriang nafas terakhirnya berhembus. Namun, kekejaman fitnah akan menghilangkan kehormatan, nama baik, martabat, dan kemuliaan seseorang. Orang yang menjadi korban fitnah memang tidak kehilangan nyawa, namun baginya, dia merasa kehilangan nafas kehidupan di tengah-tengah masyarakat, dia merasa ditelanjangi di hadapan banyak orang, dia merasa wajahnya dilempari kotoran, bahkan –jika hatinya tidak kuat- dia merasa putus asa. Sesuatu yang berhubungan dengan dirinya, semuanya menjadi buruk.
Memahami faktor dan orang-orang yang menyebarkan fitnah
Fitnah yang tersebar pasti muncul dari mulut orang-orang yang ada di sekitar. Bahkan, –kadang tidak disangka- orang yang menjadi dalang tersebarnya fitnah adalah orang-orang terdekat. Namun, sebelum merasa ruwet dan mengvonis siapa yang menjadi dalang penyebaran fitnah, perlu dan penting untuk diketahui dan memahami faktor dan karakter orang-orang tersebut.
Orang-orang yang berada di sekitar kita, masing-masing memiliki karakter yang bermacam-macam. Ada orang yang berkarakter iseng membicarakan kejelekan orang lain dan ada orang yang hobi menjelek-jelekkan dan bahkan membuat isu untuk menfitnah. Orang yang berkarakter seperti ini, sebenarnya tidak perlu dihiraukan, karena jika dihiraukan kita akan menjadi ruwet. Biarkan saja, toh nanti dia akan berhenti sendiri. Orang lain yang mendengarnya pun akan memaklumi dan tidak percaya dengan omongannya. Orang lain akan menganggap orang tersebut memang karakternya begitu.
Ada juga orang yang sangat tidak perlu dihiraukan, yaitu orang-orang yang ikut-ikutan menyebarkan fitnah. Orang yang seperti ini biasanya terpengaruh oleh kondisi atau orang-orang di sekitarnya. Tentu, dia ikut-ikutan menfitnah tanpa tahu tentang apa dan siapa yang difitnah. Jadi, untuk apa menghiraukan orang yang melakukan sesuatu tanpa dasar apa-apa? Cukup maklumi saja.
Salah satu juga yang harus dipahami ketika fitnah muncul adalah orang-orang yang memiliki kepentingan. Tidak jarang ada orang menfitnah karena ada kepentingan, baik kepentingan untuk dirinya atau kepentingan untuk menjatuhkan orang yang difitnah. Fitnah semacam ini yang rawan sangat kejam. Fitnah yang muncul karena memang karakter sebagaimana di atas, mugkin tidak terlalu bahaya. Fitnah yang membayakan adalah fitnah karena kepentingan. Fitnah ini biasanya menggunakan strategi jitu untuk menyebarkannya, sehingga seolah fitnah yang menyebar benar-benar nyata.
Selain itu, ada faktor yang tidak kalah penting untuk dipahami. Yaitu kondisi atau posisi seseorang yang difitnah. Semisal kondisi seseorang yang sedang beruntung, sukses, atau bahagia. Ketika ada orang yang tidak suka atau benci pada orang yang beruntung, sukses atau bahagia tersebut, orang yang benci akan menghilangkan dan menghancurkan keburuntungan, kesuskesan dan kebahagiaan itu, dengan berbagai cara termasuk menfitnah.
Semisal juga, seseorang yang memiliki posisi strategis, kedudukan yang mapan, atau martabat yang tinggi. Ketika ada orang yang tidak suka atau benci, dia akan berusaha menjatuhkan juga dengan berbagai cara, tidak lain termasuk menfitnah. Lebih-lebih orang yang benci itu berkepentingan untuk menggati kedudukan orang yang difitnah, tentu akan lebih semangat menyebarkan fitnah.
Sikap bijak ketika fitnah muncul dan menyebar
Memang terasa geram, telinga panas, hati mendidih ketika ada orang menfitnah. Jika tidak kuat maka kemarahan akan memuncak lalu menjadi tindakan yang ganas untuk membalas orang yang menfitnah. Namun, bagi bagi orang yang memiliki hati yang kuat, sebesar apapun fitnah yang menimpa dirinya, keistiqamahan untuk bersikap bijak tidak akan berubah menjadi kemarahan yang kemudian bertindak keras dan kasar.
Sebaiknya, ketika ada orang membicarakan kejelekan kita ataupun menfitnah kita, kita jangan sampai mencari-cari atau menyelidiki siapa yang berbicara demikian, karena hal itu akan mengakibatkan kita menjadi su’uzhan pada orang-orang. Akibatnya, orang-orang yang ada di sekitar kita menjadi obyek penyelidikan kita, sehingga pikiran kita menjadi sensitif-negatif. Di saat bertemu dengan orang-orang, dalam pikiranna menduga seraya berkata, “Mungkin orang ini yang menjelek-jelekkan saya”, atau “Jangan-jangan orang ini yang menfitnah saya”. Setelah orang yang diselidiki ditemukan, -jika hati kita lemah-, kita akan benci atau malah bisa dendam pada orang tersebut.
Lebih baiknya lagi, ketika ada orang membicarakan kejelekan kita atau menfitnah kita, kita sikapi dengan bijak, dengan cara jadikan pembicaraan itu sebagai koreksi bagi diri kita. Mungkin saja sikap atau ucap yang timbul dari kita memang ada yang salah, sehingga orang-orang membicarakannya. Jika memang sikap atau ucap kita tidak salah, kita jadikan sebagai ajang belajar –atau ujian- untuk lebih bersabar menahan emosi dan menerima sikap orang-orang dalam berkomunikasi dan berinteraksi.
Kita jangan sibuk menyelidiki orang yang membicarakan kejelekan kita atau yang menfitnah kita. Karena hal itu akan hanya membuat diri kita menyimpan benci dan dendam. Kita sibukkan saja dengan menyelidiki sikap atau ucap kita, kira-kira sikap dan ucap yang mana yang salah atau jelek. Jika memang ada, kita sadari lalu perbaiki. Jika memang tidak ada, anggap saja itu sebagai ujian dalam menjalani hidup. Orang-orang yang menjadi mulia di sisi Allah, semuanya pasti melalui atau menempuh ujian berupa fitnah. Jadi, ketika kita difitnah, -insyaallah- kita calon orang yang mulia di sisi Allah, asal kita menyikapi dengan bijak dan ikhlas menjalaninya.
Dan, kita jangan merasa heran dengan orang yang benci pada kita, dan dia menjelek-jelekkan atau menfitnah kita. Karena mata (orang) yang benci pada kita, setiap apa yang muncul dari diri kita, semuanya tampak terlihat jelek baginya, apalagi memang ada yang salah dari diri kita, justru itu yang dicari-cari oleh mata yang benci untuk kemudian disebarluaskan. Orang yang benci pada kita akan senang jika kita salah. Jika kita benar, dia akan semakin benci pada kita. Begitulah orang yang memelihara kebenciannya. Na’udzubillah
Bait-bait Kepasrahan terhadap fitnah
Jika ada yang mencari orang yang paling bejat
Maka tak perlu ke mana-mana
Akulah orang yang paling bejat
Jika ada yang menanyakan siapa orang yang paling bodoh
Maka tak perlu bingung untuk mencari jawabannya
Karena hanya akulah orang yang paling bodoh
Jika ada yang merasa berdosa
Maka buang saja perasaan itu
Karena tidak ada selain diriku yang paling berdosa
Jika ada yang merangkai kata untuk menjelek-jelakkan diriku
Maka percuma saja kata-kata itu diucapkan padaku
Karena tak ada kata yang mampu mengungkapkan kejelekanku
Aku lebih jelek dari semua kata yang bermakna jelek
Jika ada yang bersemangat menghina diriku
Maka percuma saja semangat itu diwujudkan
Karena sekuat apapun hinaan itu,
masih tetap kalah dengan kehinaan diriku sendiri
Jika ada yang hobi menfitnahku
Maka percuma saja fitnah itu disebarkan
Karena siapa saja sudah tahu siapa diriku
Jika masih ada yang memujiku
Berarti itu omong kosong
Jika masih ada yang menganggap diriku baik
Berarti itu kesalahpahaman
Jika ada yang bertanya tentangku
Lebih baik aku mengaku “setan”
Dari pada mengaku siapa aku sebenarnya